Selasa, 04 Januari 2011

Tidak Sekedar Menjual Kemiskinan


Hampir setiap jenjang pendidikan dalam kehidupan, saya selalu berusaha untuk mendapatkan beasiswa. Mulai dari jenjang pendidikan terendah yaitu sekolah dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi. Entahlah, mungkin sudah menjadi jalan hidup bagi saya untuk bersekolah dengan biaya tidak murni dari kocek orang tua saya. Dari jenjang pendidikan dasar saya ingat bahwa saya mendapatkan beasiswa sebesar 25 ribu perbulan, di jenjang sekolah menengah pertama saya mendapatkan beasiswa sekitar 50 ribu perbulan. Pada jenjang yang lebih tinggi, sekolah menengah atas, saya mendapatkan beasiswa sekitar 133 ribu rupiah dan kesemuanya bersumber dari Dinas Pendidikan. Yang cukup berbeda adalah saat kuliah. Pada waktu kuliah, saya mendapatkan beasiswa dari dua tempat yaitu Beasiswa Etos dan PBUTM dari UGM (untuk biaya pendidikan gratis selama 4 tahun). Ada satu ciri kesamaan dari semua beasiswa yang pernah saya dapatkan. Kesemuanya mensyaratkan bahwa penerima beasiswa harus berasal dari keluarga yang secara ekonomi “kurang mampu”, dengan parameter yang mungkin berbeda antara panitia beasiswa yang satu dengan yang lainnya. Mafhum, bahwa beasiswa memang ditujukan untuk membantu siswa atau mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Di satu waktu saya merasa bersyukur atas bantuan yang diberikan kepada saya. Akan tetapi di waktu yang lain saya mencoba untuk menilik diri saya lebih jauh. Apakah saya memang benar-benar pantas untuk mendapatkan beasiswa tersebut? Tentu bukan dari sudut pandang “kemiskinan” seperti yang saya ungkapkan di awal, akan tetapi dari sudut pandang kemampuan memacu potensi dengan adanya beasiswa tersebut. Artinya, mampukah beasiswa itu memberikan dorongan bagi penerimanya untuk berkembang dan mengubah pola hidup kemandirian dari si penerima? Sebuah kasus saya dapatkan di kampus yang sama dengan tempat studi saya. Seorang mahasiswa dapat menerima beasiswa dari beberapa institusi sekaligus dengan persyaratan surat penghasilan orang tua. Sayangnya, ada hal yang saya lihat cukup mencolok dari gaya hidup yang ditampilkan oleh mahasiswa tersebut. Teman-temannya mengetahui bahwa dia mendapatkan beasiswa, akan tetapi gaya hidupnya kok seperti mahasiswa yang mampu? Semisal naik motor yang cukup bagus, mempunyai HP dan Laptop yang harganya tidak murah. Tentu justifikasi ini bukan tanpa dasar. Apakah ia menggunakan beasiswa itu untuk membeli barang-barang itu? Atau dia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang tersebut dari orang tuanya? Jika menggunakan uang beasiswa untuk membeli barang tersebut tentu ini merupakan tindakan yang tidak amanah dalam menggunakan beasiswa. Pun bila mendapatkan uang dari orang tuanya. Berarti ia bukan benar-benar berasal dari keluarga yang kurang mampu. Akan sedikit berbeda ceritanya jika ia mempunyai penghasilan lain di samping menerima uang beasiswa. Tapi ternyata ia juga tidak memiliki usaha yang lain. Tentu permasalahan ini menimbulkan kecemburuan antara mahasiswa yang sama tingkat ekonomi keluarganya, akan tetapi yang satu mendapatkan beasiswa sedangkan yang lain tidak.
Tentu saja masalah ini tidak semata-mata karena kesalahan gaya hidup penerima beasiswa, akan tetapi juga manjadi kewajiban bagi pemberi beasiswa untuk mengawasi penggunaan beasiswa tersebut (melakukan audit kepada penerima beasiswa). Model audit ini tentu tidak menjadikan pemberi beasiswa menjadi berkurang keikhlasannya dalam memberikan beasiswa. Ini untuk kemaslahatan antara kedua belah pihak.
Saya melihat satu contoh system beasiswa yang bagus yang diterapkan oleh Beastudi Etos yang mendapatkan dana dari dana zakat yang disalurkan kepada Dompet Dhuafa Republika. Di sini penerima beasiswa akan mendapatkan uang saku sebesar 400 ribu perbulan dengan fasilitas tambahan berupa asrama pendidikan selama tiga tahun, uang kuliah gratis pada tahun pertama, dan beberapa pelatihan untuk meningkatkan kemandirian bagi penerima beasiswa. Penerima beasiswa ini akan diaudit keuangannya setiap bulan dan juga harta yang dimiliki (termasuk HP, laptop, dan yang lainnya). Artinya, penerima beasiswa dituntut untuk transparan pada kekayaan yang dimilikinya. Selain itu, penerima beasiswa tidak hanya dikasih uang mentah saja akan tetapi diwajibkan untuk mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan selama tiga tahun. Dengan prinsip “Hari ini Mustahiq, Besok Muzakki” akan mendorong penerima beasiswa untuk menjadi orang-orang yang mampu memberikan zakat yang akan digunakan oleh ummat yang lebih banyak lagi. Artinya, kemanfaatan tidak hanya terputus pada penerima beasiswa saat ini saja, akan tetapi investasi kemanfaatan untuk kemanfaatan yang lebih besar lagi. Uang kuliah hanya diberikan pada tahun pertama dengan maksud agar penerima beasiswa berfikir untuk mampu membiayai pendidikannya sendiri selepas dari tahun pertama. Entah dari bekerja, berwirausaha, atau pengelolaan keuangan yang dimiliki setiap bulannya. Dengan model ini, tentu para penerima beasiswa akan berfikir ulang untuk menggunakan uang beasiswa untuk dibelanjakan untuk kebutuhan yang tidak selayaknya menjadi kebutuhan. Tentu ada yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal. Tapi minimal memang menjadi pemicu yang cukup hebat agar jiwa kemandiriannya tumbuh. Dengan model pembinaan harian, pekanan , dan bulanan, para penerima beasiswa didorong untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas sosialnya. Tentu dengan perencanaan yang berkualitas akan memberikan output yang berkualitas pula.
Masih ada beberapa program beasiswa yang serupa dengan Beastudi Etos tersebut. Yang tidak hanya mendorong calon penerima beasiswa untuk “menjual kemiskinan” orang tuanya semata demi mendapatkan uang beasiswa akan tetapi memberikan kesadaran bahwa kemiskinan orang tuanya kini akan berubah perlahan seiring dengan kemanfaatan yang timbul karena beasiswa yang didapatkan.
Setidaknya bagi kita yang sudah mendapatkan beasiswa akan terdorong untuk menyalurkan kemanfaatan beasiswa yang kita peroleh untuk kemanfaatan yang lebih besar. Bukan tindakan instant yang kita perlukan, tapi tindakan terencana dan berkualitas.
Paiton, 5 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar