Sabtu, 22 Januari 2011

Ayah Biasa

Alhamdulillah, enam hari di Suralaya sudah terlewati. Sedikit yang saya faham dari sekian banyak pelajaran yang terberi. Sedikit pula hikmah yang teringat dari sekian banyak hikmah tersirat. Ah, shalih itu masih jauh.
Bukan merupakan kebetulan saya ditempatkan satu rumah dengan Bapak itu, tapi ini cara Allah menyampaikan hikmah. Beliau memang bukan siapa-siapa. Beliau bukan pejabat di perusahaan tempat dia bekerja. Beliau bukan juga seorang ahli yang mempunyai kemampuan spesifik untuk perusahaan karena memang dia hanya seorang lulusan SMA. Beliau masih 45 tahun, tapi menurut saya beliau terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya.
“Maaf ya dik saya sambil merokok”, kata beliau. “Iya pak, monggo”, tak enak juga saya melarang beliau merokok. Beliau bisa menghabiskan rokok sehari minimal dua bungkus.
Gila, dua bungkus. Saya sih nggak ngerti harga rokok itu berapa, tapi bisa saya bayangkan bahwa dalam sebulan paling tidak bisa menabung 60 bungkus rokok dalam bentuk uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan lain.
Beliau berkata lagi, “Ini saya sudah menahan dik. Di usia seperti adik sekarang ini saya bisa habis tiga sampai empat bungkus sehari.
Saya sudah berusaha menekan sesedikit mungkin dik rokok yang saya konsumsi. Tapi nggak tahu, ketika berhenti total merokok saya nggak bisa. Badan akan terasa nggak enak ketika nggak merokok”.
“Saya merasa dik kalau bisa lepas dari rokok ini berapa uang yang bisa saya kumpulkan untuk digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Saya sangat sering meminta maaf kepada istri dan anak-anak saya dengan kebiasaan merokok yang saya lakukan sejak masih muda dulu. Alhamdulillah dik, anak dan istri saya cukup faham dengan kondisi saya”, kata beliau lagi.
“Berarti memang ada targetan untuk berhenti total ya pak?” Tanya saya.
“Jelas dik, saya ingin secepatnya lepas dari rokok ini. Saya nggak ingin anak-anak saya seperti ayahnya”, kata beliau. “Alhamdulillah adik tidak merokok. Kalau belum pernah jangan coba-coba, nanti kecanduan kayak saya”, tutur beliau.
“He he, Iya pak. Saya pernah mencoba pak. Dulu sih pengen merasakan saja apa yang dirasakan teman-teman yang merokok. Tapi saya nggak bisa menikmatinya. Lagian saya juga nggak punya uang buat membelinya pak” jawab saya.
“Oya, berapa pak putra-putrinya?” Tanya saya.
Beliau mengambil dompet yang disimpan di saku celana bagian belakang. Sambil mencari-cari selembar kertas di antara lipatan uang, kartu nama, dan ATM. “Nah, ini dik keluarga saya”, sambil menunjukkan sebuah foto keluarga seukuran dompet.
Subhanallah, nggak pernah terfikirkan bagi saya untuk menyimpan sebuah foto keluarga di dalam dompet. Saya yakin tidak setiap ayah melakukan hal yang sama. Sangat jarang pula saya temui yang sebaya dengan saya menyimpan foto ibu, bapak, atau anggota keluarga yang lain.
“Maaf ya dik, saya memang masih seperti orang dulu. Saya biasa menyimpan foto istri dan anak saya di dompet” kata beliau. “Dulu saat masih belum punya anak ya saya menyimpan foto istri saya”, lanjut beliau.
“Saya hanya ingin melihat mereka setiap saat dik. Apalagi kalau bepergian seperti sekarang ini. Apalagi kalau pas mau ke warung untuk membeli makanan atau membeli sesuatu pasti saya akan membuka dompet dan melihat mereka lagi. Dengan begini saya akan ingat dik, saya sudah makan, anak dan istri sudah atau belum ya?” Tutur beliau.
“Setiap hari pasti saya sisihkan waktu untuk menelpon anak saya yang masih sekolah. Maklum dik, tempat sekolahnya jauh dari rumah sehingga anak saya mesti ngekos. Nggak tahu ya dik, saya ini kangenan kalau sama anak-anak. Baru ditinggal sebentar saja sudah kangen” kata beliau dengan senyuman khasnya.
“Berarti anaknya pasti dekat dengan bapak? Selidik saya.
“Alhamdulillah dik, anak-anak saya dekat dengan bapak dan ibunya. Tapi memang beda dik antara saya dan istri saya kalau ngobrol dengan anak-anak. Saya jarang memarahi anak-anak saya. Kasihan dik. Saya ingin anak-anak saya tumbuh bukan karena paksaan atau takut dengan bapaknya. Tapi tumbuh dengan kesadaran dan tanggung jawab dengan apa yang dipilih dan dilakukkannya. Contoh kecil dik, kalau barang di rumah pecah atau rusak. Kebanyakan anak saya pasti melapor ke saya karena saya nggak biasa memarahi. Jadi mereka lebih tenang kalau melapor ke saya. Paling nanti saya tanyakan kenapa rusak atau pecah dan kondisi anak saya sendiri. Kalau bagi saya barang yang rusak bisa diperbaiki atau membeli yang baru dik, tapi kepercayaan diri dan ketenangan hati anak dalam keluarga tidak dapat dibeli dengan mudah”, lanjutnya sambil mematikan sebatang rokonya di asbak.
Singkat memang perbincangan malam itu karena beliau ditelpon anaknya dari pulau seberang. Tidak ada suami sempurna, simpul saya. Banyak profil lelaki dan ayah yang jauh lebih hebat dari beliau. Banyak ayah yang dapat membanggakan keluarganya karena karir yang dicapainya. Banyak pula ayah yang membanggakan keluarganya karena kedudukannya dalam masyarakat. Tetapi saya lebih appreciate terhadap ayah yang dengan berbagai keterbatasannya mampu memberikan ketulusan cinta terhadap keluarganya.

Suralaya, 23 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar