Kamis, 13 Januari 2011

Character Drain


Saya begitu takjub ketika mendengarkan cerita yang dilontarkan salah seorang teman saya tentang seorang anak yang setiap harinya menjajakan asongan di sebuah stasiun kereta. Suatu hari teman saya akan pergi ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Dia harus menunggu selama kurang lebih satu jam karena memang datang jauh lebih awal dari jadwal kereta. Ketika menunggu tersebut, datanglah seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 10 tahunan datang menemui teman saya dan menawarkan Koran. Teman saya ini tertarik dengan cara menjajakan Koran si anak ini. Tidak seperti yang biasa ditemui, anak ini menjajakan Koran sambil membacakan sebagian isi dari Koran tersebut. “Cerdas juga nih anak”, pikir teman saya. Tertarik dengan anak tersebut akhirnya teman saya jadi membeli Koran. Sambil memilih Koran yang akan dibeli iseng-iseng teman saya menanyai anak tersebut. Anak tersebut bercerita bahwa ayahnya baru saja meninggal dunia sehingga terpaksalah ibunya yang harus membiayai keluarganya. Mau tidak mau, dia tentu tidak tega dengan ibunya yang sudah tua harus membiayai kehidupan keluarganya sehingga ia berinisiatif untuk membantu ibunya dengan berjualan Koran di stasiun. Merasa iba dengan kondisi si anak teman saya memberikan uang lebih di luar harga sebuah Koran. Akan tetapi yang membuat terkejut teman saya ternyata dia menolak pemberian sejumlah uang itu. Dia hanya mengambil seharga Koran yang dijualnya. Selebihnya dikembalikan kepada teman saya tersebut. Apa yang dikatakannya? “Maaf mas, saya di sini memang untuk berjualan dan bukan meminta-minta. Ini mas kembaliannya. Permisi ya mas, ini masih banyak dagangannya. Biar segera habis”, kata anak itu.
Trenyuh, sekaligus takjub saya mendengar cerita itu. Seorang anak dengan usia yang masih sangat muda mampu mempertontonkan sebuah karakter yang luar biasa kepada orang dewasa. Karakter kemandirian begitu melekat pada diri si anak sehingga dia mampu mempertanhankan prinsipnya tersebut meskipun kondisinya sebenarnya sangat membutuhkan. Bisa jadi ceritanya akan menjadi lain ketika anak itu menerima pemberian teman saya tersebut. Boleh jadi ia akan berfikir bahwa dengan menjual “kondisi” di tempat yang lainnya ia akan mendapatkan hal yang sama. Jika ini berlangsung secara terus menerus, kemungkinan anak tersebut akan berharap setiap hari bahwa dia akan mendapatkan uang “belas kasihan” yang banyak disamping uang hasil menjual Koran tersebut.
Karakter adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang manusia yang dapat dibentuk dalam jangka waktu tertentu melalui pendidikan dan budaya. Tentu saja pembentukan karakter pada diri setiap orang berbeda dan sangat tergantung pada kondisi seseorang saat pembentukan karakter tersebut. Pembentukan karakter dimulai dari pendidikan yang diterapkan kepada orang tuanya sejak lahir dan inilah yang akan menjadi modal bagi setiap anak untuk menghadapi dunia luar. Bukan berarti sesuatu yang telah dibentuk di dalam keluarga itu akan menetap pada diri si anak dan tidak luntur. Sangat mungkin karakter yang telah terbentuk itu mengalami perkembangan atau bahkan mengalami penurunan alias character drain. Satu kondisi lingkungan boleh jadi akan mengembangkan karakter seseorang akan tetapi tidak bagi orang lain. Seperti contoh yang saya ceritakan di atas. Di satu sisi, tawaran uang banyak merupakan ujian untuk lebih menguatkan karakter kemandirian. Akan tetapi di sisi lain bisa jadi justru akan melemahkan karakter kemandirian pada diri seseorang. Lagi-lagi ini kembali pada konsep yang ada pada diri seseorang dalam menghadapi perubahan lingkungan yang begitu cepat dan kadang-kadang tidak bisa diprediksi.
Dalam lingkungan kerja baik itu di perusahaan ataupun di institusi pelayanan, konsep pembentukan karakter begitu kental. Salah satu contoh yang saya alami sendiri adalah konsep pembentukan karakter karyawan di PT PLN (Persero). Ketika awal masuk, calon karyawan harus melalui serangkaian diklat yang lebih diutamakan pada pembentukan karakter karyawan yang terpercaya, bertanggung jawab, peduli, dan pembelajar. Tidak tanggung-tanggung, PLN menggandeng militer untuk mencoba melakukan pembentukan tersebut. Sadar ataupun tidak sadar, pasti ada sesuatu yang masuk ke dalam diri calon karyawannya meskipun sejauh mana keberhasilannya masing-masing personnel lah yang mengetahui secara pasti. Selain serangkaian diklat, calon karyawan juga dibuatkan sebuah buku saku tentang pedoman perilaku bagi setiap pegawai. Tentu saja cara ini menarik. Buku yang memang didesain simple dan praktis sehingga bisa dibawa di saku dan mudah dibaca. Ada yang pernah mengamati tentang CEO’s note? Ya, catatan yang setiap hari ditulis oleh CEO Dahlan Iskan. Saya melihat bahwa selain menuliskan kondisi terkini PLN, CEO secara tersirat mencoba memberikan motivasi kepada seluruh pegawainya. Saya kira perusahaan lain pun juga menerapkan hal yang serupa dalam pembentukan dan perkembangan karakter pada para pegawainya. Perusahaan menyadari sepenuhnya bahwa SDM bukanlah sekedar administrative expert yang mengerjakan rutinitas pekerjaan yang terdapat pada perusahaan seperti yang disebutkan oleh Dave Ulrich, professor dan pakar SDM dari University of Michigan. Perusahaan menyadari bahwa SDM adalah sebuah asset yang fungsinya lebih kepada partner dalam menjalankan roda perusahaan. Artinya, karakter yang melekat pada SDM nya menjadi modal utama dalam menjalankan roda bisnis. Perusahaan mempunyai standar karakter yang harus dimiliki oleh setiap karyawan. Bertubi-tubi pelatihan atau pertemuan yang dilakukan oleh perusahaan semata-mata adalah penanaman nilai-nilai yang akan terwujud ke dalam sebuah karakter.
Keberhasilan roda bisnis akan sangat dipengaruhi oleh konsistensi perusahaan membentuk dan mempertahankan karakter yang sudah dibentuk. Perusahaan yang mengutamakan efisiensi tentu saja tidak akan bermain-main pada wilayah ini dengan membiarkan para karwayannya dalam berperilaku. Perusahaan berkarakter tentu akan senantiasa mengkondisikan lingkungan sehingga degradasi karakter alias character drain itu mampu diperkecil seminimal mungkin kecepatan alirannya.
Ibarat sebuah aliran air pada pipa, karakter itu adalah siklus tertutup pada sebuah system perpipaan. Kekuatan mempertahankan nilai yang akan membentuk karakter adalah kekuatan menjaga agar valve drain yang menjadi peluang keluarnya nilai-nilai tersebut senantiasa tertutup.
Dan terakhir, karakter adalah sesuatu yang unspoken. Tindakan nyata adalah ejawantah karakter itu sendiri.


Paiton, 13 Januari 2011
~Mumpung lagi semangat ngeblog~

2 komentar:

  1. menginsprirasi... syukron, hasan.

    BalasHapus
  2. Mbak Yaniek, he..he..njih, sami-sami. Blognya mbak Yaniek mana?

    BalasHapus