Senin, 23 Agustus 2010

Beastudi Etos Jogja

Mungkin adalah sebuah angan-angan saja saya bisa melanjutkan pendidikan sampai tingkat S1, bahkan di perguruan tinggi BHMN yang biayanya (menurut orang tua saya) sangatlah mahal. Bagaimana tidak mahal lha wong mau masuk di fakultas teknik saja mesti bayar 5 juta dulu sumbangannya, dan biaya tiap semester rata-rata 2 juta, belum itu untuk kebutuhan makan, kebutuhan kuliah yang lain, kost, dan lain-lainnya. Wuih, kalau dibayangkan pas masa SMA dulu sih nggak kebayang bisa mbayarnya dari mana. Tapi mungkin sudah rejeki dari Allah buat saya kalau saya yang hanya anak petani ini bisa menyelesaikan kuliah sampai tingkat sarjana. Yoh, ini cerita saja mas dan mbak yang membaca blog saya ini. Pas mau lulus SMA kira-kira ya semester awal kelas tiga saya sudah mulai bingung tuh mau ngapain. Mau kuliah, takut biayanya mahal. Mau kuliah di sekolah kedinasan juga nggak semua gratis (masih harus ngeluarin biaya makan, kost, dll. Yang terbilang nggak murah lah *berdasarkan cerita-cerita yang sudah kuliah di sana sih*). Nah, saya memang suka menyingkat cerita. Pas tahun saya masuk kebetulan ada tawaran dari UGM untuk kuliah dengan biaya nol rupiah sampai tahun ke empat. Nah, saya coba deh minta didaftarin sama pihak sekolah. Siapa tahu beruntung. Eh,..tak berselang beberapa lama pengumuman sudah keluar, tepatnya bulan Februari 2010. Alhamdulillah, saya tercatat sebagai penerima beasiswa full 4 tahun dari subsidi silang. Alhamdulillah, harapan untuk kuliah terbuka sangat lebarnya. Padahal masih kira-kira 6 bulan lagi masuknya alias saya belum lulus dari SMA. Efeknya, jadi nggak rajin nih belajarnya (hi..hi..padahal kapan ya rajinnya). Tapi saya tetap berfikir gimana bisa kuliah tanpa merepotkan banyak orang tua. Lama nian berfikirnya. Mau rencana kuliah sambil ngajar privat, atau sambil jualan apa saja, atau sambil ngapain lah, yang penting ada duitnya buat makan dan kost. Eh,.subhanallah, memang pertolongan dari Allah datangnya dari arah yang kadang-kadang nggak pernah kita duga. Pas saat itu pula ada pendaftaran yang namanya Beastudi Etos. Pas saya baca di pamfletnya sih dikasih uang saku 250 ribu per bulan, dapat asrama gratis, plus dapat pembinaan di asrama. Dan tes pun dilakukan. Cukup banyak dan melelahkan. Bahkan saya harus rela meninggalkan satu ujian praktek (mengarang bahasa Inggris) hanya gara-gara ngikutin tes yang dilaksanakan di kota Jogja, tepatnya sih di area kampus UGM. Singkat cerita lagi, tes dan tes terus saya ikuti. Kalo nggak salah ingat, dulu tesnya ada 4 kali dan semuanya mesti dilakuin di kota Jogja. Untung ada temen saya yang setia nganterin tes ke sana kemari (namanya Dani, nanti deh, kalau ada kesempatan nulis lagi tak ceritain). Nah, pengumuman hasil tes beasiswa pun ada kira-kira bulan Agustus dan Alhamdulillah nama saya tercantum di pengumuman yang dimuat di harian Republika itu. So, Allah sungguh memudahkan saya untuk bisa kuliah. Nah, cerita tentang kuliah saya ditunda untuk kesempatan cerita kali ini. Saya akan lebih banyak cerita tentang beasiswanya itu.
Ternyata beasiswa ini memang diperuntukkan untuk mahasiswa yang berprestasi (wuih,.ternyata saya berprestasi juga ya he..he..he..). Artinya sih, secara psikologis punya keinginan untuk maju dan mau bersikap mandiri. So, nggak mudah nggantungin hidup ke orang lain, apalagi jadi benalunya orang lain. Kalau lagunya Aa’ Gym sih bilangnya gini :
Bertekad tidak menjadi beban..
Bertekad jadi suri tauladan..
(terus lupa lanjutannya).
Nah, di sini mahasiswa ini akan dapat fasilitas seperti yang saya sebutin di atas selama tiga tahun (kalau sekarang sih uang sakunya sudah menjadi 400 ribu per bulan. Cukuplah kalau buat hidup di Jogja). Di sini, mahasiswa akan dididik menjadi orang yang mandiri, tidak menjadi beban orang lain, berprestasi, dan bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya selama 3 tahun full. Ternyata beasiswanya ini berasal dari dana zakat yang disumbangkan oleh para muzakki melalui wadah Dompet Dhuafa Republika (DD Republika). Kalau mau gabung, mas atau mbaknya musti mau kuliah di 11 PTN yang direkomendasikan oleh lembaga ini. Rincinya sih dari UNAND di Padang, UI di Jakarta, IPB di Bogor, ITB dan UNPAD di Bandung, UGM di Jogja, UNDIP di Semarang, UB di Malang, ITS dan UNAIR di Surabaya, dan UNHAS di Makassar dengan jurusan yang tertentu. Kalau mau lebih lengkapnya bisa buka di www.lpi-dd.net. Di situ cukup lengkap informasinya. Nah, saya cerita yang di Jogja ya. Rata-rata tiap tahun yang ndaftar di Jogja berkisar antara 250-300 calon mahasiswa. Quota penerimaan rata-rata 15-17 orang. Komposisi putra dan putrinya bebas. Kalau tahun ini sih, putranya ada 5 sedangkan putrinya ada 12 mahasiswa. Yah, di sini kita akan dididik jadi mahasiswa yang baik-baik lah. Tidak hanya cerdas secara akademik akan tetapi juga cerdas di aspek yang lainnya. Akademic is must but character is more. Kalau barusan tak tulis itu slogan saya sendiri. Nah, jumlah asrama yang di Jogja ada 3 buah dengan rincian 2 asrama putrid dan satu asrama putra. Maklum, putrinya kan lebih banyak. Jumlah penerima beasiswa atau biasanya kami sebut dengan Etoser berjumlah 40-an mahasiswa untuk keseluruhan. Setiap sepuluh mahasiswa didampingi oleh satu orang pendamping. Jadi totalnya ada 4 pendamping. Pendamping-pendamping yang pernah mendampingi mahasiswa ini adalah :
1. Budi Santoso (Mantan Presiden BEM MIPA UGM)
2. Romi Ardiansyah (Mantan Presiden BEM KM UGM)
3. Akbar K Setiawan (Dosen FBS UNY)
4. Budiyanto (Mantan Presiden BEM KM UGM dan Koordinator BEM Seluruh Indonesia)
5. Hasanudin (Mantan Presiden BEM Psikologi UGM)
6. Hasan Basri (Mantan Ketua Keluarga Muslim Teknik UGM)
7. Imron Rosyadi (Mantan Presiden BEM Fakultas KH UGM)
Nah, kalau yang putri saya kurang tahu pernah jadi apa di kampus. Rinciannya sebagai berikut :
1. Muslimah (BEM MIPA UGM)
2. Jefi Hamamah (Nggak tahu pernah di mana. Yang jelas sekarang sudah jadi dokter)
3. Yenna Septiani Asri (BEM MIPA UGM)
4. Dwi Widyaningrum (BEM MIPA UGM)
5. Fauziyatul Muslimah (Jamaah Shalahudin UGM)
6. Dunilah (Jamaah Shalahudin UGM)
Nah, itu sekilas orang-orang yang pernah jadi pendamping mahasiswa di Beastudi Etos ini. Kalau dilihat dari yang mendampingi sih berarti etosnya juga mesti ikut organisasi.
Weit, batere sudah low dan malas mau ngetik-ngetik lagi. Oke, cerita akan berlanjut ya, saya matikan laptop saya dulu. Matur nuwun…Besok dilanjut lagi….

23 Agustus 2010
-di sela-sela ngerjakan Telaahan Staff-

Sabtu, 21 Agustus 2010

SMA 1 Wates....

Apa ya yang bisa diceritakan? Saya bingung, mungkin karena sudah terlalu lama tidak berinteraksi dengan orang-orang yang punya hubungan dengan SMA ini. Kata orang, masa-masa SMA itu adalah masa yang paling indah dalam episode kehidupan kita. Hmm..ada benarnya. Kayaknya banyak hal yang indah baik itu yang konyol, menggembirakan atau menyedihkan yang saya alami selama SMA. Barusan tadi chatting sama teman SMA. Katanya beliau mau nulis kenangan indah selama di SMA dan minta saya menceritakan pengalaman indah selama di SMA. Gubrak,.ndak bisa lah mbak kalo mendadak gitu. Nulis tulisan ini saja butuh waktu beberapa hari untuk merenung, apalagi untuk bercerita. Maklum mas dan mbak pembaca, saya termasuk orang yang agak susah bercerita dan mengingat dengan spontan apalagi buat nulis, takutnya bleberan. Butuh waktu khusus untuk membongkar memori yang pernah tersimpan di otak ini. Bentar ya, saya bingung mau nulis ceritanya dari mana. Nah, begini saja. Mulai dari cerita tentang diri saya sendiri saja nggih. Saya dulu pas SD dan SMP adalah orang yang sangat ambisius (menurut saya sendiri sih). Saya lulus dari SD Bojong II (salah satu pelosok di kabupaten Kulon Progo). Nah, saya sangat ingin sekolah di SMP 1 Wates yang kata orang-orang sekitar saya sekolah favorit di Kabupaten ini. Kalau alasan saya masuk SMP 1 Wates sih nggak neko-neko. Saya nggak terlalu ‘ngeh’ dengan yang namanya sekolah favorit atau ndak. Saya pengen aja dekat dengan mbak saya yang sudah duluan sekolah di sana. Itu saja. Nah, berbekal NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang pas-pasan saya coba menggeret Ibu saya untuk memberanikan diri mendaftar di SMP 1 Wates ini. Di hari terakhir pendaftaran saya coba tunggu sampai siang dan memantau NEM terendah yang masuk ke SMP ini. Tercatat NEM terendah dari luar rayon adalah 42 koma sekian-sekian sedangkan saya sendiri cuman 41 koma sekian-sekian (lupa pasnya berapa). Saya ngotot untuk tetap memasukkan NEM saya ini, tapi ibu saya sudah ketir-ketir. Sekali salah langkah,.nggak jadi masuk SMP Negeri (maklum, dulu SMP Negeri masih terkenal murah, jadi ya pengennya orang tua memasukkan di SMP yang biayanya murah alias SMP Negeri). Alhasil, saya diseret ibu saya untuk pindah ke SMP 2 Wates. So, saya nggak jadi sekolah di Wates, cukup sekolah di pelosok saja. Yah,, niatnya pengen ngeliat kota setiap hari, jadinya ngeliat sawah tiap hari. So, saya bertekad SMA saya musti dapat di kota. Singkat cerita, saya lulus SMP dan mau masuk SMA. Dulu keinginan saya berubah dari yang pengen masuk SMA 1 Wates jadinya pengen masuk ke SMA 1 Jogja. Cuman ceritanya nggak setragis pas mau masuk SMP dulu. Sebenarnya sih NEM lulus SMP sudah cukup untuk mendaftar di SMA 1 Jogja (kata orang-orang). Nah, pas mau masukin NEM ke kota Jogja, mbak saya kebetulan masuk kuliah pertama kali juga di Jogja dan itu butuh biaya yang cukup mahal. So, ibu saya bilang, “Wis, sekolah wae neng wates, podho wae”. Nggih mpun, singkat cerita lagi, saya nggak jadi daftar ke Jogja. Jadinya ke Wates saja. Nggak terlalu tragis juga masuk SMA ini, NEM cukuplah untuk mendaftar di sini. Setelah cerita saya singkat lagi, akhirnya saya masuk ke SMA 1 Wates dengan segala kesibukannya. Saya masuk sekolah jam 07.00 sampai jam 14.00. Kalau pas nggak ada gurunya ya ngerjain tugas, kalau tugas sudah selesai ya ngajuin guru yang berikutnya lagi. Alhasil, yang harusnya pulang jam dua siang bisa dipersingkat jadi jam 10 pagi saja. Sisa waktunya buat ngapain? Wah, banyak yang saya lakukan dulu dari mulai melamun, jajan di warung, ikut-ikutan ngeband meskipun nggak bisa main apa-apa, atau jajan batagor di dekat pasar Wates. Tapi hal itu nggak terjadi lagi mulai semester 2 kelas satu, soalnya jam di sekolah saya sudah diganti dengan jarum yang kokoh, nggak bisa diulur dan nggak bisa dipercepat alias nggak bisa ngajuin jam lagi. Lumayan banyak saya kenal orang-orang di sini, mulai dari teman sekelas, teman kelas sebelah, teman kelas di sebelahnya lagi, kakak kelas dua, kakak kelas tiga, alumni, guru, tukang kebun, pegawai perpus, pegawai TU, tukang sapu, penjaga kantin sekolah, dan penjaga sekolah. Tapi kalau diminta nyebutin lagi satu per satu sudah pada lupa. Oke, saya mau mulai menyebutkan teman saya dan profesinya di sini (bagi yang belum kesebut bisa angkat tangan gan) :
~Adhani Zudi S alias Mas Bambang : teman sekelas, kuliah di UAD, sekarang nggak tahu di mana, nggak tahu juga sudah lulus atau belum (atau nggak lulus? =), piss Zud)
~Andhy M Fathoni alias Gondel: teman sekelas juga, tetangga kampung, kuliah di Fisika Teknik UGM, kuliah lagi ngambil S2 di JGSEE KMUTT Thailand. Wong kok pinter Ndhy, mbok bagi-bagi.
~Aprianto Dwi atau Apri: kuliah di AAU, jelas sudah lulus. Nggak tahu rimbanya di mana
~Armanto : kuliah di mana ya? Nggak ngerti, sekarang di mana juga nggak ngerti
~Annisa Ayu Puspitasari : kuliahnya ngambil Farmasi di Solo. Barusan selesai profesinya
~Ariyanti : nah, kalo ini calon Guru soale kuliah di Pendidikan Matematika UNY. Pinter nih gan anaknya, dapat beasiswa pas kuliah. Sekarang jadi guru di ESC Wates.
~Andre Nigo Dolog Saribu : sekarang di Yakuhimo (katanya sih, tetangga dekat dengan Yokohama). Ngocol abis. Sering bermasalah dengan tahi lalatnya.
~Adim Dwi Prasanda : punya account fb yang cukup banyak, jadinya bingung yang aktif yang mana. Kuliah di AAU sama kaya Apri. Kemarin katanya mau jadi komandan upacara 17-an di Istana. Tak tunggu-tunggu kok nggak eneng? Ngeband meneh dim
~Bayu : cah iki kuliah di Pendidikan Matematika UNY. Mbuh, lulus rung kowe ndes.
~Bebek alias Ferdana Femiliona : pak PNS di Semarang, cita-citanya jadi orang kaya.
~Andreas Herbandang : kuliah di pelayaran,.wis jalan-jalan sampai Eropa gan (kepingin mode on  )
~Bima Patma Yudanto : kuliah di Elins UGM bareng Dolog. Orang ini sing suka ngumpulin kita-kita yang sudah merantau di mana-mana. Suka jualan, dan suka promosi. Manstabs gan, suk tak dadekke tukang promosi listrik di tempat saya.
Karena agak susah mengingat teman yang cukup banyak, saya sudahi saja ceritanya. Insya Allah nanti tak lanjutin ngabsennya (kalau sempat). Di sini saya masih susah mengingat kenangan-kenangan pas SMA itu. Ada sih, tapi susah nuanginnya ke tulisan. So, jika ada yang berkenan menyumbang atau mengingatkan cerita lama bisa dikirim via email, chatting, atau bisa telefon ke nomer hp saya. Tulisan ini saya buat semata-mata untuk memenuhi blog saya yang masih baru dan mengingat wajah-wajah kalian menjelang reuninan. Matur nuwun, nyuwun pamit.
Probolinggo, 21 Agustus 2010
-Di sela-sela piket di kantor-

Jumat, 20 Agustus 2010

Apakah Syetan Benar-Benar Dibelenggu Di Bulan Ramadhan?

Ramadhan sudah 11 hari bersama dengan kita. Bagaimanakah dengan kita selama 11 hari ini? Selama Ramadhan kita bisa bercermin untuk melihat hakekat jiwa kita apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang berdasarkan hadits muttafaq 'alaih-dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa keburukan itu berasal dari potensi fujur dalam jiwa kita dan dari nafs amarah bis-su' atau dari nafs musawwilah, dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu, yang berarti sedang nonaktif dari fungsi dan tugas utamanya yakni menggoda. Oleh karena itu penting bagi kita semua untuk memuhasabahi diri kita selama ini dan wajib berusaha dan berdoa untuk menghilangkan hal-hal buruk yang selama ini kita lakukan. Semoga selepas Ramadhan ini bertambah satu kebiasaan baik kita dan berkurang satu kebiasaan buruk kita. Amin

Anak-Anak Yang Melampaui Usianya

Ini cerita yang saya ambil dari Majalah Tarbawi bulan Juli 2010 tentang seorang anak.
Di sebuah ruang sekolah dasar seorang guru berdiri di depan kelas sedang mengajar murid-murid yang masih duduk di kelas tiga. Guru tersebut mencoba menerangkan keistimewaan dan urgensi shalat Shubuh kepada mereka. Dengan bahasa yang tertata dengan baik dan metode penyampaian yang sempurna, sang guru berhasil menanamkan kesadaran ibadah pada diri murid-muridnya. Bahkan ada seorang laki-laki di antara murid-murid itu yang sangat tersentuh setelah mendengar penjelasan indah tentang pentingnya Shalat Shubuh berjama’ah di masjid, sehingga muncul rasa penasaran di hatinya. Terlebih karena anak kecil tersebut memang belum pernah sekalipun melakukan shalat Shubuh selama hidupnya, dan juga tidak melihat keluarganya melakukan itu.
Setelah kembali ke rumahnya, kata-kata gurunya tentang shalat Shubuh terus terngiang di telinganya. Ia kemudian berpikir mencari cara, bagaimana agar bisa bangun pagi untuk melaksanakan Shalat Shubuh. Lama ia berpikir, tapi tak ada solusi yang ia temukan kecuali harus berjaga sepanjang malam. Maka ia pun melakukan itu. Susah payah ia menahan kelopak matanya di malam itu, agar tak terpejam. Tapi dengan usahanya yang sungguh-sungguh akhirnya ia bertemu juga dengan shubuh.
Begitu suara adzan terdengar, segera ia berwudhu dan bersiap menuju masjid. Namun ketika membuka pintu, anak kecil itu terperangah. Kesulitan besar menghadang di depannya. Ia tersadar bahwa masjid ternyata cukup jauh dari rumahnya, sementara di luar sana masih terlihat gelap dan sepi. Ia tak punya keberanian yang cukup untuk menembus kesunyian shubuh yang berselimut kegelapan, dengan usianya yang masih delapan tahun. Akhirnya, ia terduduk di depan pintu dengan rasa kecewa yang dalam, dan dengan suara tangis yang tertahan, karena takut diketahui dan dimarahi orang tuanya.
Dalam balutan sedih dan kecewa, tiba-tiba anak tersebut mendengar suara langkah kaki melintas di jalan depan rumahnya. Buru-buru ia membuka pintu dan berlari pelan mendekati sumber suara. Riang bukan kepalang. Sebab ternyata suara itu adalah langkah kaki dari kakek temannya bernama Ahmad, yang sedang berjalan menuju masjid. Dia pun segera mengikut di belakang kakek itu perlahan dan tanpa suara, agar si kakek tidak mengetahuinya dan mengadukan kepada ayahnya. Hari berikutnya, anak ini selalu melakukan hal yang sama dengan cara yang sama. Setiap pagi ia bangun shubuh, tanpa sepengetahuan seorang pun daru keluarganya, lalu berangkat ke masjid menunaikan Shalat shubuh membuntut si kakek dengan langkah kaki ringan dan pelan agar tidak ketahuan. Akan tetapi kebersamaan abadi adalah hal yang mustahil. Beberapa bulan kemudian si kakek meninggal.
Bocah kecil itupun tahu dan berita kematian si kakek adalah duka yang mendalam baginya. Ia menangis terisak-isak. Sang ayah yang malihat perilaku anaknya merasakan sesuatu yang aneh. Dia lalu bertanya, “Nak, mengapa kamu menangis seperti itu? Kakek si Ahmad kan bukan anak kecil seusiamu yang kamu bisa bermain dengannya. Dia juga bukan kerabat kita, sehingga kamu tidak perlu menangis kehilangan dia”.
Anak itu lalu menatap ayahnya, dengan air mata yang terus mengalir dan wajah yang tampak begitu sedih, seraya berkata, “Andai saja yang mati itu adalah ayah, dan bukan kakek itu”.
Mendengar ucapan anaknya, si ayah seperti tersambar petir. Ia kaget luar biasa. “Kenapa anak sekecil ini bisa berkata-kata seperti itu? Lalu kenapa ia mencintai si kakek sedemikian dalam?” pikirnya dalam hati. Anak itu lalu berkata, “Aku tidak merasa kehilangan karena dia kerabatku, seperti yang ayah katakan.
“Lalu kenapa?” tanya ayahnya penasaran.
“Karena shalat. Karena shalat,”tegas si anak. Dengan suara serak dan berat ia mengajukan tanya, “Kenapa ayah tidak Shalat Shubuh? Kenapa ayah tidak seperti kakek itu dan seperti orang-orang yang aku lihat itu?”
“Di mana kamu melihat mereka?” desak ayahnya. “Di masjid”, jawab anak itu singkat. “Bagaimana caranya kamu bisa melihat mereka?” tanya ayahnya lagi. Si anak pun menceritakan pengalamannya selama ini, yang setiap shubuh selalu membuntuti si kakek. Hampir saja air mata si ayah tumpah mendengarnya. Seketika ia peluk anaknya erat-erat. Cerita anak itu telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi si ayah, dan sejak saat itu, ia tak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu berjama’ah di masjid.

Cerita Monyet

Saya teringat ketika Ust. Rahmat Abdullah bercerita (dalam film Sang Murabbi), “Ada seekor monyet yang naik terus ke pohon sampai di pucuknya. Sesampainya di pucuk pohon itu ternyata ancaman bagi jiwanya menghadang. Monyet itu harus menghadapi tiga macam jenis angin yaitu angin topan, angin bahorok, dan angin puting beliung. Angin yang pertama datang dan wuzz…menghantam monyet itu. Saking takutnya monyet itu semakin erat berpegangan pada tangkai pohon itu. Karena sudah menghadapi angin pertama yang cukup dahsyat itu ia menjadi semakin waspada dan semakin erat pegangannya. Benar apa yang diprediksi monyet itu. Ternyata angin yang kedua dan ketiga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan angin yang pertama menghantam dirinya tanpa ampun. Tapi monyet itu bisa selamat dari bahaya itu karena sudah lebih waspada. Ia cukup senang ketika angin yang kencang itu sudah menghilang, cuaca menjadi lebih cerah, dan angin berubah menjadi bertiup sepoi-sepoi memanjakan dirinya. Karena saking keenakannya, lama kelamaan dia mulai mengantuk. Pelan-pelan matanya terpejam dan ikatan tangannya menjadi semakin lemah dan akhirnya brukk…ia jatuh dengan tragis.
Sahabat, kadang kala kita sangat waspada dengan cobaan ataupun ujian yang itu menyusahkan kita. Kita mati-matian agar segera bisa terlepas dan berhasil lolos dari ujian hidup kita tersebut. Kita akan relatif lebih cepat menyelesaikan cobaan-cobaan kesusahan hidup. Ketika ditimpa kesusahan sangat nikmat rasanya untuk semakin dekat dengan Rabb kita. Tapi tidak jarang ketika kita terkena cobaan yang menyenangkan hidup kita, kita menjadi orang yang lalai.

Hebatnya Orang Berani Hidup

Mungkin kita lebih merasakan kenyamanan ketika tidak ada aturan, tidak ada tatanan, hidup santai , dan tanpa ada beban sedikitpun. Apapun bisa dijalani sesuai dengan kemauan kita. Akan tetapi sesungguhnya tanpa berani untuk menjadi dewasa hidup justru akan kerdil, penuh beban, kesulitan, dan penderitaan yang lain. Hidup harus dilalui karena itu adalah sebuah fakta, sebuah kenyataan yang terjadi saat ini. Berani hidup harus berani dewasa. Belum tentu orang yang berani mati itu lebih hebat daripada orang yang berani hidup. Orang yang sudah mati akan terputus dengan hiruk pikuk dunia dan hanya tinggal urusan dia pribadi dengan Allah. Berbeda dengan orang yang berani hidup yang setiap saat harus mampu untuk menghadapi tantangan kehidupan yang bermacam-macam.
Akan tetapi kedewasaan berpikir tidak lahir secara instant. Dibutuhkan niat untuk menyelami setiap perjalanan hidup yang dialami. Orang yang mau merenung sejenak menyelami perjalanan hidup adalah orang yang berani dewasa. Belum tentu orang yang bisa menyelesaikan permasalahan secara cepat adalah orang yang dewasa. Menurut saya orang yang dewasa adalah orang yang bisa menemukan mutiara dibalik permasalahan yang sedang menimpanya. Menemukan mutiara di penjual perhiasan memang lebih mudah daripada menemukannya sendiri dari cangkang tiram. Akan tetapi lebih membanggakan yang mana? Tentu lebih membanggakan yang menemukan langsung dari tiram mutiara. Begitu pula ketika menemukan mutiara kehidupan. Mutiara yang didapatkan di tengah kesulitan tentu akan lebih berkesan bagi si penemu.

Koligatif Dunia Pendidikan Indonesia

“Jadikan kampus sebagai ladang pembentukan karakter”, kata Drs. Moh. Hatta dalam pidatonya di Universitas Indonesia. Itulah yang dikatakan oleh “syaikh” pendidikan Indonesia menyoroti masalah pendidikan di Indonesia saat itu. Ya, pendidikan adalah tulang punggung, penopang semua aspek kehidupan dalam masyarakat. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah benar-benar pendidikan, bukan “pendogmaan”. Pendidikan bagi masyarakat kita sering disalahartikan. Sering orang bertanya kepada anak SMA, “Sehabis sekolah mau kemana”. Tentu sebagian besar menjawab mau kuliah. Akan tetapi ketika pertanyaan berubah menjadi, “Buat apa kamu kuliah?”. Saya yakin kalau pasti rata-rata mereka menjawab, “Biar dapat pekerjaan yang baik dengan gaji yang layak sehingga bisa hidup dengan bahagia”. Sedikit sekali yang menjawab untuk mencari ilmu. Dan bahkan ketika anak SMU yang menjawab tujuan kuliah mencari ilmu, mereka tidak dapat mendefinisikan manfaat ilmu tersebut. Itulah dogma pendidikan yang muncul di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan hanya diartikan sebagai tempat training calon pekerja, atau bila saya boleh mengatakan yang agak kasar bahwa pendidikan hanya sebagai “Tempat Mencetak Babu”. Bagaimana tidak dikatakan seperti itu? Setiap kali wisuda, maka apa yang mereka cari? Pekerjaan! Hanya sesempit itukah manfaat pendidikan kita? Kapankah kita semua berfikir bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan itu sudah tertuang dalam UUD 1945, dan bahkan setiap saat di upacara pasti dibacakan. Pernahkah kita semua mencermati apa arti mencerdaskan kehidupan bangsa? Kehidupan bangsa yang cerdas banyak sekali indikatornya yang salah satunya adalah terciptanya sistem yang “good” di negara ini. Memang 17 Agustus 1945 yang lalu Indonesia sudah merdeka. Akan tetapi benarkah kemerdekaan itu sudah ada dalam jiwa Indonesia kalau sampai sekarang sistem yang ada di Negara ini masih “sakit”? Ke manakah ahli pemerintahan, ahli ekonomi, ahli hukum, ahli teknik, ahli kedokteran produk perguruan tinggi Indonesia?
Kampus adalah “iron stock”. Artinya, bahwa kampus adalah tempat penyemai kader-kader intelektual dan pemimpin. Kader-kader intelektual tentu adalah orang-orang yang mempunyai karakter, tahu ancaman dan bahkan yang sedang mencengkeram negeri ini, dan tahu bagaimana menciptakan solusi dari permasalahan yang timbul. Kampus bukanlah tempat untuk mencetak tenaga kerja yang bekerja untuk orang-orang yang ingin merampas kemerdekaan. Kampus bukanlah tempat mencetak orang-orang yang punya semangat mencari “laba” sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi real masyarakatnya. Kampus bukanlah tempat mencetak “antek-antek kapitalis-imperialis”. Karakter tak akan bisa dibentuk hanya dengan kepatuhan tok. Akan tetapi dibentuk dengan memahami kenapa mereka harus patuh atau tidak patuh terhadap sesuatu. IPDN (dulu STPDN) meskipun dikatakan tempat mendidik calon-calon pemimpin masyarakat bisa saya katakan tidak mendidik orang-orang agar berkarakter. Berkarakter kok Mas? OK-lah berkarakter, tetapi karakter pemeras, karakter tukang pukul, atau bahkan karakter pembunuh. Kenapa? Di situ tetap dibiarkan kekerasan berlangsung. Bahkan Si Adik pun tak kuasa untuk melawan pukulan dan tendangan yang dilancarkan Sang Kakak kepadanya. Kepatuhan praja terhadap seniornya hanya berdasarkan “lingkaran setan” yang terus menerus terjadi di hamper semua angkatan. Apakah itu kecelakaan? Jelas tidak. Lha wong sudah berulang kali kejadian kok kecelakaan! Sekali lagi, kampus bukanlah tempat untuk menanam benih-benih loyalitas tanpa dasar tersebut. Seseorang matang dan dewasa dalam kehidupan kampus karena dilatih untuk hidup berorganisasi, keberpihakan kepada yang lemah.
Dengan bangga kampus berucap bahwa telah meluluskan ratusan ribu sarjana, puluhan ribu master, dan ratusan doktor. Tapi mereka semua ke mana? Dari ribuan itu, berapakah yang benar-benar ikut aktif, atau paling tidak partisipasif terhadap kondisi masyarakatnya? Itulah potret pendidikan kampus kita. Kampus bersifat koligatif. Apa artinya? Bersemangat untuk mencetak terus-menerus sarjana atau bahkan doktor akan tetapi tidak benar-benar memperhatikan seperti apakah kualitas sarjana Indonesia, doktor Indonesia. Kualitas di sini tidak bisa diartikan hanya kualitas “pintar” saja akan tetapi kecerdasanlah yang dibutuhkan yaitu tidak tinggal diam terhadap kondisi masyarakatnya, bangsanya. Punya niatan yang kuat untuk memperbaikinya. Kita membutuhkan lulusan-lulusan kampus kita yang seperti itu.
Buat apa kalau perguruan tinggi dinamai dengan Gadjah Mada, Jendral Soedirman, atau Hasanuddin hanya bertujuan untuk menciptakan lulusan yang tidak berkarakter. Tujuan penamaan seperti itu adalah mengenang, menghormati, dan mewarisi karakter kepemimpinan Gadjah Mada, Jendral Soedirman, atau Hasanuddin. Jika kampus hanya bertujuan untuk mencetak kader-kader yang punya karakter kapitalis, maka tidak layak nama itu digunakan.
Sekali lagi, kampus bukanlah tempat mencetak kader-kader yang letoy. Saat ini mungkin masih banyak kebijakan yang tidak mendukung proses bersemainya calon terdidik di negeri ini. Bagaimana jika kondisi ini terus bertahan?

1. Kampus akan jadi tempat pembunuhan kader-kader intelektual dan brilian. Kampus akan diisi oleh robot-robot yang patuh tanpa mengerti arti kepatuhan itu sendiri atau siapa yang dipatuhi.
2. Kampus hanya sebagai alat produksi layaknya pabrik. Dengan tersedianya tenaga cakap tapi dingin maka kampus hanya memberikan alumninya yang memiliki kemampuan melihat masalah social dengan “buku”, bukan dengan belajar.
3. Kampus hanyalah musem tua tempat menyimpan orang-orang pintar yang menjauh dari kepentingan massa.
4. Kampus hanya sebagai tempat persemaian orang-orang tolol yang patuh pada ketentuan pasar.

Tentu tidak bijak jika saya hanya mengkritisi tanpa memberikan solusi. Reformasi sistem pendidikan kampus adalah salah satu caranya. Tentu saja reformasi yang membawa visi besar kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu kesadaran mahasiswa sendiri juga sangat menentukan berhasilnya reformasi sistem pendidikan kampus sendiri. Karena itu untuk para mahasiswa, “Teruslah bergerak. Sadarlah bahwa negara ini, bangsa ini membutuhkan sentuhan tangan kita semua. Sentuhan tangan solutif seperti sentuhan tangan Ibu yang memberikan kesembuhan kepada anaknya yang sedang sakit ”. Sebagai penutup akan saya tuliskan syair Pramodeya Ananta Toer, semoga bisa menjadi refleksi bagi kita semua :

…………Zaman baru, anak tak membutuhkan perlindungan orang tuanya……
…..Zaman revolusi, serba berubah dan bergerak! Dan anakku sendiri turut serta dibawa arus zaman.
Moga-moga saja bisa kembali. Insya Allah!

Dark Age Pendidikan Indonesia

Pendidikan tak akan lepas dari peran komponen-komponen penting bangsa. Tak hanya sekedar murid-guru. Memang yang terlibat langsung dan kelihatan tanpa adanya hijab yang membatasi adalah peran siswa dan guru secara langsung. Karena pendidikan merupakan sebuah proses yang akan membawa perbaikan bangsa, maka orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung harus menyadari bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan dengan kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Secara otomatis kualitas pendidikan di negeri ini sangat ditentukan oleh kualitas komponen-komponennya baik itu kualitas pemerintah, kualitas tenaga pendidik, dan otomatis kualitas siswa dan masyarakat yang menjadi objek dan subjek pendidikan tersebut. Ketiganya mempunyai keterkaitan yang serial. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan secara langsung akan mempengaruhi peran tenaga pendidik. Begitu pula tenaga pendidik akan mempengaruhi secara langsung dengan yang dididik. Ketiganya terbungkus dalam sebuah sistem pendidikan. Ketika salah satu mengalami disfungsi, maka yang lain pun akan mengalami abnormalisasi sehingga akan merusak sistem itu sendiri. Sistem diciptakan untuk membuat semuanya sinergis. Layaknya bangunan. Sistem itu adalah perencanaan dan perancangan sehingga dengan perencanaan dan perancangan yang matang komponen-komponen dalam bangunan akan saling mendukung satu dengan yang lain.
Satu hal yang menjadi ingatan bagi kita semua, UN (Ujian Nasional) yang tetap menjadi satu-satunya tolok ukur kelulusan agaknya membuat pendidikan yang dilaksanakan di negeri ini hanya berorientasi dengan standar nilai. Apa yang terjadi? Para peserta didik akan lebih tertarik dengan bimbingan belajar ataupun privat yang berorientasi pada tercapainya nilai setinggi-tingginy tanpa memperhatikan aspek lain yang sebenarnya menjadi ukuran keberhasilan pendidikan seperti moralitas. Peran guru akan terdegradasi dari peran aslinya. Yang seharusnya membuat peserta didik menjadi orang-orang yang terdidik, memiliki kepekaan dengan lingkungan masyarakat, memilik sense dengan kondisi bangsa berubah menjadi mesin-mesin pencetak nilai tinggi. Apakah cukup dengan nilai UN yang tinggi jika moral diabaikan? Retoris memang. Drilling merupakan makanan sehari-hari bagi para siswa. Para peserta didik dipacu untuk bisa mencapai nilai minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Aspek-aspek lain agaknya harus dilupakan dulu oleh guru dan siswa. Jika UN lulus, selesai masalah. Begitulah kira-kira yang menjadi anggapan guru, siswa, dan orang tua siswa. Kematian mahasiswa STPDN yang terjadi berulang kali (terakhir kematian Cliff Muntu) harusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Tempat yang digunakan untuk mendidik pamong-pamong yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat, yang bisa menyejukkan kondisi masyarakat menjadi tempat yang merancang sistem sarkasme. Bagaimana mungkin masyarakat akan merasa nyaman jika calon-calon pengayomnya adalah orang-orang yang kasar? Tidak boleh kita lupakan juga kematian siswa sekolah dasar yang dianiaya oleh tiga teman sebayanya. Jelas sekali bahwa moralitas dikesampingkan dalam sistem pendidikan kita.
Lain halnya dengan perguruan tinggi. Semua perguruan tinggi di Indonesia sepertinya juga mengalami distorsi pengertian pendidikan. Pendidikan di perguruan tinggi telah menjadi pabrik yang akan menciptakan tenaga siap kerja, bukan intelektual yang memiliki jiwa kerja. Coba kita bandingkan dengan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menguasai negeri ini. Apa tujuannya? Tujuannya adalah mencetak tenaga kerja murah yang bisa dipekerjakan di pabrik-pabrik kolonial. Jelas sekali keuntungan yang didapatkan. Sumber daya alam dan pengolahnya dari pribumi sedangkan keuntungan terus mengalir ke negeri asal pemerintah kolonial. Samakah dengan kondisi sekarang? Coba kita tilik lagi sistem perguruan tinggi. Kurikulum yang memang harus ditempuh dalam jangka yang lama dipadatkan menjadi satu semester saja sehingga kematangan mahasiswa dalam menerima materi tersebut diragukan. Apakah lulusan perguruan tinggi kita sudah mampu untuk mengelola sumber daya alam yang kaya di negeri ini? Ataukah hanya menjadi tenaga-tenaga yang bekerja di perusahaan asing yang menanamkan modalnya di negeri ini? Itu menjadi pertanyaan sekaligus bahan perenungan bagi kita semua. Belum lagi masalah PT BHMN yang menjadikan perguruan tinggi disaccessible bagi calon mahasiswa dari kalangan bawah. Perintisan perguruan tinggi menjadi PT BHMN disadari atau tidak oleh pemerintah menjadi penggerus keinginan anak bangsa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dan yang menjadi wacana baru adalah sistem BHP yang akan diterapkan di semua lini pendidikan mulai dari sekolah dasar. Baiknya semua komponen dalam sistem pendidikan kita harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan dalam pendidikan kita. Jangan sampai hanya dengan alasan otonomi, masyarakat kelas bawah tidak bisa mengakses pendidikan. Sekali lagi yang harus menjadi motivasi yang mendasari otonomi pendidikan adalah kemandirian dalam pengelolaan sistem internal pendidikan yaitu kurikulum. Otonomi pendidikan adalah kemandirian dalam menentukan kurikulum sehingga sesuai dengan kondisi yang terjadi sekarang sehingga tidak out of date. Bukan diartikan otonomi untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangga pendidikan termasuk dalam hal ini adalah pembiayaan pendidikan. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan 20 persen anggaran pendidikan yang sudah tertuang dalam undang-undang dasar kita yaitu UUD 1945. Bukan menjadi hal yang tabu bahwa pemahaman masyarakat sekarang pendidikan hanya menjadi hak orang-orang kaya saja. Orang miskin harus nrimo dengan keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk mengakses pendidikan.
Apabila sistem ini tidak segera dibenahi, efek jangka panjang tidak akan dapat dihindarkan dan bukan tidak mungkin negeri ini miskin orang terdidik.
Kebijakan-kebijakan di atas secara langsung juga mempengaruhi nurani guru-guru bangsa ini. Nurani pendidik mereka harus berhadapan dengan realita. Jadi tidak dapat dikatakan secara pure bahwa guru saat ini hanya berorientasi dengan materi tanpa memperhatikan moral peserta didik. Ada aspek yang memang mempengaruhi secara langsung terhadap apa yang dilakukan guru yaitu kebijakan pendidikan. Mau tidak mau guru harus sami’na wa ato’na. Apa yang menjadi kebijakan, bagaimanapun bentuk kebijakan itu maka harus ditaati dan dilaksanakan.
Pembenahan terhadap sistem ini menjadi tanggung jawab komponen-komponen yang terdapat dalam sistem pendidikan Indonesia. Tidak hanya pemerintah, masyarakat pun harus secara aktif untuk memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah dalam mewujudkan sistem pendidikan yang terbaik. Kembali kepada tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sebelum dark age terjadi.

Sugeng Rawuh

Assalamu'alaikum..

Alhamdulillah, setelah sekian lama ingin punya blog, akhirnya terkabul juga. Saya barusan ngeliat blog nya temen-teman pas SMA dan adik-adik kelas. Subhanallah, bagus-bagus isinya. Jadi pengen niru nih,.Pengen berbagi apapun dengan yang mau diajak berbagi (berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi uang, berbagi gaji, he..he..). Nah, semoga ke depan saya tetap konsisten dalam menulis di blog ini. Maklum, untuk pemula seperti saya ini sangat sulit untuk menuangkan ide-ide ke dalam tulisan, apalagi ke dalam gambar. Oya, udah ngecepek tapi belum kenalan, saya Hasan Basri, (kalau mau tambah lengkap ada tambahan ST di belakangnya). Bapak saya selalu menulis nama saya dengan tambahan ST (he..he..maklum, wong ndeso biasanya sangat bangga bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana). Alhamdulillah, baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana teknik di salah satu PTN di kota pelajar dan sudah bosan tes kerja di mana-mana. Tak kurang dari 40 perusahaan dicoba untuk dilamar, tapi hanya sekitar 20 perusahaan yang mau tak lamar. Alhamdulillah juga setelah perjuangan yang berat nyantol juga di salah satu group Astra Otoparts di Karawang. Setelah sebulan berlalu di kota itu datanglah panggilan itu di salah satu BUMN di negeri ini. Setelah ditimbang-timbang akhirnya diputuskan juga untuk pindah dari group AOP ke perusahaan yang baru. Alhamdulillah setelah dua bulan bekerja di perusahaan ini rasa nyaman itu mulai muncul. Semoga tetap betah,.Monggo yang ingin berbagi dengan saya bisa lewat email saya di basri_teugm@yahoo.co.id

Wassalamu'alaikum