Senin, 24 Januari 2011

Mengambil Jarak Emosi

Kali ini saya masih akan menceritakan separuh hal yang lagi-lagi bukan secara kebetulan saya dapatkan dari 6 hari diklat di Suralaya, salah satu unit diklat di perusahaan tempat saya bekerja. Sebelum berangkat menuju diklat, saya sudah meniatkan untuk mendapatkan minimal satu saja hal baru di luar kebiasaan pekerjaan saya yang berkutat dengan listrik. Ya, saya akan belajar tentang pemeliharaan boiler unit pembangkit yang sama sekali belum pernah saya kenal semenjak saya kuliah, bahkan mungkin mendengar secara lebih familiar pun baru-baru saja ini.
Alhamdulillah, saya belajar dengan dipandu oleh seorang instruktur yang dari segi pengalaman, sudah tidak diragukan lagi. Instruktur itu memiliki pengalaman cukup lama dalam operasi unit pembangkit baik itu di luar negeri, maupun di dalam negeri. Yang saya kagumkan, ternyata beliau hanya memiliki latar belakang pendidikan setingkat sekolah menengah kejuruan. Di dalam kelas,
saya bersama dengan 15 peserta lain dari unit yang berbeda-beda belajar tentang pemeliharaan boiler mulai dari teori dasar termodinamika, perpindahan panas, sampai pada aplikasinya pada pemeliharaan boiler.
Setelah perkenalan di dalam kelas, saya baru mengetahui bahwa ternyata yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana hanya 3 orang saja termasuk saya. Jam pertama masuk, saya sudah merasakan aura ketidaknyamanan dalam penyampaian instruktur ini.
“Yang sarjana, pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Rekan-rekan yang sudah sarjana kan sudah mendapatkan ilmu yang lebih mapan di perkuliahan daripada kita yang hanya S3 (SD, SMP, dan SMA/STM)”, kata beliau di tengah-tengah pelajaran yang diberikan.
Awal-awalnya saya enjoy saja dengan pernyataan itu. Akan tetapi ketidaknyamanan mulai muncul ketika pengajarnya mengungkit hal sama berulang kali di depan kelas. Ternyata hal ini memberikan efek yang cukup buruk buat mental saya. Nggak tahu dengan dua teman lain yang sama-sama juga sarjana. Saya merasakan bahwa ada beban yang cukup berat dengan gelar kesarjanaan yang saya sandang. Dalam hati saya seakan-akan diberikan beban bahwa saya harus lebih bisa dibandingkan dengan yang lain. Saya akan merasa malu jika ternyata saya tidak mampu. Beban itu terasa semakin berat saat menjelang ujian di akhir pelajaran. Yang ada di otak bukanlah mendapatkan suatu hal baru seperti yang saya niatkan di awal. Justru yang ada adalah pikiran kompetisi dan kompetisi. Terbayang-bayang bahwa saya akan sangat malu jika ternyata saya tidak bisa mengerjakan soal ujian. Saya lupa bahwa tujuan saya dikirim ke diklat ini bukan untuk mendapatkan nilai yang bagus, akan tetapi adalah ilmu tambahan untuk penyelesaian masalah-masalah yang terdapat di unit pembangkit tempat saya bekerja. Pikiran yang semula cukup simple menjadi semakin kompleks. Agaknya memang jarak emosi saya terhadap sumber emosi belum cukup jauh sehingga respon emosi ini begitu cepat. Bisa jadi hal ini adalah manusiawi, akan tetapi ketika saya pikir ulang ternyata kita perlu mengambil jarak emosi yang cukup proporsional sehingga dalam keadaan tertekan kita tidak mudah mengumbarnya.
Saya kemudian membayangkan kembali masa-masa sekolah dan kuliah yang saya alami. Bisa jadi keadaan tertekan yang dialami oleh sebagian siswa menjelang Ujian Nasional ada kaitannya dengan pengambilan jarak emosi ini. Nilai-nilai penting yang tersirat dalam pendidikan bisa jadi sedikit demi sedikit tergerus karena yang ada di benak siswa adalah lulus dengan nilai sekian-sekian dan yang ada di pihak sekolah adalah siswanya lulus semua dengan memuaskan. Memang tidak semua siswa dan guru berpendapat sama dengan saya, akan tetapi saya berfikir bahwa banyak siswa memiliki pikiran yang sama seperti saat saya sekolah dulu.
Kalau kata Rene Suhardono, sesuatu yang sederhana tidak semestinya ikut ke dalam Devil’s Cycle yang akan membuat sesuatu itu menjadi lebih kompleks dan sulit. Seperti yang saya alami, keinginan sederhana untuk mendapatkan hal baru sehingga memberikan nilai tambah bagi perusahaan berubah menjadi cukup kompleks karena yang ada di benak saya tidak lagi itu, tapi juga keinginan lain untuk bisa lebih super dibandingkan yang lainnya. Apabila siklus dalam Devil’s Cycle ini terus berlanjut bisa dipastikan akan berakibat pada kelelahan luar biasa pada fisik, mental, dan spiritual. Kelelahan punya andil besar dalam memunculkan ketidakpedulian, ketakutan, dan kekhawatiran dalam diri.
Penting bagi kita untuk mengambil jarak emosi yang cukup sehingga kita terjebak dalam dua pilihan yang sama-sama tidak menguntungkan. Jarak emosi panjang yang membuat kita bersantai dan merasa ingin semaunya sehingga menghambat perkembangan diri. Jarak emosi yang terlalu pendek membuat kita terjebak dalam perumitan masalah yang sebenarnya cukup sederhana. Tentu kita bisa mengukur dan menimbang jarak emosi yang proporsional sesuai dengan karakter pribadi kita.

Paiton, 24 Januari 2011

6 komentar:

  1. Pak Hasan makin rajin nulis nih. Kok Ahad kemaren gak ketemu di walimahan Pak Edi ya pak? Hmm...

    BalasHapus
  2. Ika Ari : hehe, buat menuh-menuhin blog,.:). Tulisanmu mana ka?

    BalasHapus
  3. Wah, belum bisa nyaingi Pak Hasan nih. Liat di blog saya aja nggih :)

    BalasHapus
  4. Ika Ari : sedang belajar menikmati sebuah hal dengan menulis,..Blogmu sudah tak masukin ke blogrollku kok, lihat saja di sebelah kanan. Saya juga nemuin blognya temen etos yang lain kok. Liareni (mungkin saya belum kenal secara langsung)

    BalasHapus
  5. jarak emosi...judul yang menggelitik
    salam silaturakhim

    BalasHapus
  6. @Wid : Salam silaturakhim juga. Kalau gak bisa bagi-bagi uang minimal bagi-bagi tulisan.Hehe :)

    BalasHapus