Jumat, 21 Maret 2014

Penikmat Gunjingan Media



Menurut definisi, menggunjing adalah membicarakan kekurangan orang lain. Nah, tidak jarang gunjingan ini disertai dengan prasangka dan tuduhan. Istilah singkatnya adalah gosip. Saya jadi berfikir, jangan-jangan saya termasuk salah satu penikmat gunjingan yang tersaji setiap detiknya melalui smartphone ataupun televisi. Ketika saya menikmati informasi tentang orang yang saya benci, kebetulan informasinya tentang kejelekan dia, ternyata nikmatnya terasa luar biasa. Dulu, saat pertukaran informasi belum secepat saat ini, spot untuk menikmati gosip sangat terbatas, palingan kalau ibu-ibu tetangga lagi datang ke rumah atau pas arisan. Dan secara tidak sadar saya telah mengakumulasi serta memilah gosip-gosip yang masuk ke otak ke dalam tema-tema dimana masing-masing tema memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri. Semakin banyak gosipnya, kekuatannya semakin besar. Akumulasi informasi itulah yang dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Kalau sudah meledak, bisa memakan korban.
Saat ini, smartphone dan televisi telah menggantikan peran ibu-ibu yang saya ceritakan di atas (tidak semua ibu-ibu seperti ini lho – pen). Setiap detik, kantong-kantong informasi di otak saya terisi. Temanya pun macam-macam. Tentang caleg, tentang partai, tentang perempuan, tentang bos di kantor, bahkan tentang capres pun ada. Komplit. Dan spot gosip di smartphone jumlahnya sangat banyak, mulai dari media yang mengatasnamakan media nasionalis, pluralis, akademis, dan bahkan agama ternyata tidak bisa lepas dari membicarakan orang. Isi wall facebook pun sama. Sialnya, saya menikmatinya.
Apa yang lagi hot saat ini? Menurut saya yang tentang CAPRES. Kira-kira dialognya seperti ini:
“Lu tau gak? Ternyata ada salah satu capres yang diduga beraliran syiah, dapet dukungan dari orang-orang Yahudi pula. Dia tuh, belum lama jadi gubernur aja udah meninggalkan amanahnya dan mau jadi presiden. Gimana jadi presiden nanti?”
“Eeeh, jangan salah brur, capres ente kan juga belum selesaikan amanah jadi Gubernur, tapi mau nyapres juga. Trus apa bedanya sama capres ente?
Nah, dialog di atas adalah efek samping sebagai konsekuensi logis menjadi penikmat gunjingan. Secara tidak sadar pula saya mulai mencintai dan membenci yang diceritakan media. Tapi yang membingungkan, grafik benci dan suka itu tidak selalu linear. Suatu saat saya menyukai tokoh A yang digosipin, tapi di saat yang lain saya jadi benci tokoh A karena menurut gosip, tokoh A tadi melakukan hal yang saya benci juga. Tapi apakah informasi-informasi yang saya terima tentang tokoh A semua valid? Belum tentu, boleh jadi pemberitaan tokoh A itu lebih banyak bumbu sedapnya dan terlanjur menikmati cerita tentang tokoh A.
Terus, apakah saya harus mengecek kebenaran informasi tentang tokoh A yang akhirnya saya benci? Males ah, nanti gak nikmat lagi. Jadi mulai detik kebencian itu muncul saya beralih hobi. Dulu, saya hobi nyari kebaikan-kebaikan si A dan diekspos, sekarang saya mencari informasi tentang kejelekan-kejelekan tokoh A. Toh toolsnya banyak, bisa pake search engine google atau ngeliat wall Facebook temen-temen yang sama-sama benci dengan tokoh A. Semakin banyak info jelek, saya semakin suka.
“Trus buat apa semua itu? Emangnya kamu dapat apa dari mencari info kejelekannya?”, begitu kata hati kanan saya.
“Dosa lho”, kata hati kanan saya lagi.
Ini buat masa depan bangsa. Saya tidak ingin bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang buruknya macam si tokoh A. Ini semua demi kebaikan. Jika saya lempar bom informasi ini melalui twitter atau wall facebook, masyarakat akan tercerahkan. Nah, dari sinilah perbaikan itu dimulai. Ingat, ini semua demi bangsa yang diberkahi Allah.
Padahal hati kiri saya berkata, “Semakin banyak yang ikut benci tokoh A semakin bagus. Berarti banyak temennya. Yang sakit hati biarin dah, lama-lama dia juga bakal ikutan benci”.
 Ah, tapi mungkin ini hanya saya yang merasakan hal ini sebagai penikmat gunjingan. Saya yakin temen-teman yang lain tidak seperti saya.

Bandara Juanda, 21 Maret 2014

Selasa, 04 Maret 2014

Kenyataan Itu Kadang Paradoks



Sebuah hipotesis akan divonis saat kenyataan berbicara. Dalam ilmu statistik, yang disebut dengan hipotesis adalah pernyataan tentatif (sementara) yang merupakan dugaan mengenai apa saja yang sedang diamati. Beberapa tahun yang lalu saya memiliki sejumlah hipotesis tentang apa yang pernah saya amati atau dialami oleh orang-orang di sekitar saya. Sejumlah hipotesis bernada optimis akan tetapi tidak sedikit pula yang bernada minor (baca : kekhawatiran). Dan akhir-akhir ini, saya mencoba membuktikan hipotesis itu hanya dengan modal sense yang saya miliki. Hasilnya? Tidak semua hipotesis optimisme menjadi hal yang membahagiakan, dan tidak  semua hal yang dikhawatirkan berakhir dengan kesedihan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa-masa SMP, saya beranggapan bahwa masa depan akan lebih cerah ketika nanti melanjutkan sekolah ke SMK dan bukan SMA karena setelah lulus SMK dipastikan dapat pekerjaan, bahkan siswa yang pintar akan dicari oleh perusahaan. Nyatanya? Tidak semua lulusan SMK langsung diterima kerja di tempat yang diinginkan. Ada yang masih harus melanjutkan kuliah, ada yang berwirausaha, dan ada pula yang luntang-luntung dalam waktu yang lama. Kesimpulannya, apakah masuk SMA lebih menjanjikan? Tidak juga.
Awal-awal masuk SMA, saya beranggapan bahwa setiap siswa yang menjadi juara umum untuk setiap angkatan di sekolah ini akan masuk ke jurusan Pendidikan Dokter. Buktinya? Tidak semua siswa yang menjadi juara umum di setiap angkatan masuk ke jurusan Pendidikan Dokter. Tetap ada sang juara yang memilih untuk jadi dokternya mesin.
Masa-masa itu saya juga beranggapan bahwa untuk menjadi ‘orang’ (baca : Pegawai Negeri) selain modal pintar, seseorang harus punya ‘modal lain’ berupa uang. Tapi ternyata saya dan kakak saya tidak mengalaminya.
Meskipun tinggi badan saya kurang memadai untuk menjadi seorang tentara, saya sangat tertarik dengan dunia militer dan saya menganggap menjadi seorang tentara itu sebuah profesi yang ‘WOW’. Akhirnya saya beranggapan bahwa laki-laki yang punya tubuh tinggi dan badan sehat kok rasanya sayang sekali bila tak mencoba mendaftar sebagai tentara. Tapi kenyataan berbicara bahwa tidak semua orang dengan tubuh tinggi dan badan sehat berminat jadi tentara. Ada yang jadi dokter, tukang sirkus, pelukis, atau bahkan tukang kayu.

Masa-masa mahasiswa saya sempat beranggapan, bahwa mahasiswa paling pandai pasti nasibnya jadi dosen. Dia akan kuliah S2 di luar negeri dan pulangnya akan langsung diangkat menjadi dosen di universitas yang sama. Apakah generally seperti itu? Tidak semua. Banyak lulusan cumlaude yang memilih untuk bekerja di perusahaan ataupun berwirausaha.
“IPK di atas 3,50 itu nanti nasibnya jadi dosen, IPK 2,75 – 3,50 itu akan bekerja di perusahaan atau menjadi pegawai negeri, dan IPK di bawah 2,75 itulah yang akan berhasil jadi pengusaha”. Ada yang pernah dengar kalimat tersebut? Kalimat itu pun dulu sempat membayangi saya. Apakah semua terbukti? Tidak semua. Banyak wirausaha dengan IPK di atas 3,50. Ada juga dosen dengan IPK kurang dari 3,50.  
Saya sempat beranggapan bahwa cowok cakep pasti ceweknya cantik. Apa yang dikatakan kenyataan? Tidak semua. Ada yang masih ingat dengan Reynaldi (artis cilik sejaman dengan Giovanni, Maissy, dkk.)? Menurut saya dia cakep (catat : common sense, saya masih normal sebagai lelaki), tapi apakah ceweknya cantik? Tidak, justru dia yang sekarang jadi cantik. Makanya sekarang timbul istilah kalau cewek cantik rata-rata pacarnya cowok gendut karena cowok atletis pacarnya ganteng.
Saat aktif di organisasi ROHIS, saya menganggap bahwa semua aktivis ROHIS nikahnya pasti cepet (di bawah usia 26 tahun) dan dapat pasangan sesama aktivis. Ternyata tidak semuanya, banyak juga yang masih bujangan sampai bilangan umur di atas 27. Saya salah satunya.
Dulu saya sempat menganggap bahwa harusnya seseorang itu menikah dulu baru menikahkan. Ibaratnya, yang menjodohkan hendaknya sudah memiliki jodoh terlebih dahulu. Tabu jika hanya ‘omong thok’. Tapi kenyataannya Allah menakdirkan saya untuk menjadi wali bagi kakak perempuan saya yang akan menikah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jadi, mengulang paragraf pertama, ternyata tidak semua optimisme akan berbuah kebahagiaan dan tidak semua kekhawatiran berakhir menyedihkan. Hidup itu penuh dengan warna, tidak hanya merah, biru, dan kuning. Ada banyak warna lain yang tercipta dari perpaduan warna-warna itu. Ada banyak grafik selain grafik linear. Sesuatu kadang terjadi tak terduga layaknya grafik eksponensial. Sesuatu pun kadang berulang seperti grafik parabola. Berbicara tentang minat, kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk menyukai tenangnya sawah yang menghijau. Di luar sana, ada banyak orang yang justru menyukai lautan dengan deburan ombaknya yang berlapis.
Kenyataan kadang paradoks. Dulu Cina kita kenal sebagai negara yang menganut paham komunisme, tapi ternyata perekonomiannya menganut sistem pasar (kapitalisme). Kejayaan puncak tidak jarang menjadi pertanda akan berakhirnya sebuah kekuasaan. Kerajaan Mataram Kuno berakhir di Airlangga (1016 - 1049) yang merupakan raja termasyhur karena berhasil meluaskan kekuasaannya di Nusantara.
Hikmahnya, tidak semua kesenangan yang didapatkan sekarang akan menjadi hal yang dibanggakan terus menerus dan tidak semua kesedihan yang didapatkan sekarang akan diratapi terus menerus. Yang terpenting hanya perlu berjalan pada koridor Tuhan.

~ Cara terbaik mengatasi kekhawatiran adalah menutup mulut yang yang menularkan kecemasan ~

Bantul, 4 Maret 2014

Minggu, 02 Maret 2014

Memotong POLA



Hampir setahun saya menempati tempat tinggal baru di Bantul yang artinya hampir setahun juga saya harus melewati sepanjang Jalan Parangtritis, Jalan Brigjen Katamso, dan Jalan Mataram menuju tempat kerja di Jalan Mangkubumi. Dalam kurun waktu itu, ada satu hal menarik yang saya sebut sebagai ‘POLA’. Dari pengamatan saya menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempertahankan POLA yang sama dalam beraktivitas, dan mungkin saya salah satunya. Seseorang akan melakukan aktivitas yang serupa dari waktu ke waktu dikarenakan tuntutan pekerjaan ataupun karena sengaja membiasakan sesuatu. Seringkali, tanpa sadar kita melakukan seluruh aktivitas itu tanpa sadar yang berarti ‘memory otot’ bekerja mendahului memory otak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap paginya – setidaknya di hari kerja – di Perempatan Lampu Merah Jogokariyan (Swalayan Superindo), saya selalu menjumpai gadis penjual koran berjilbab dengan slayer yang menutupi sebagian wajahnya. Rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana wajahnya harus saya simpan sampai detik ini karena selama setahun ini belum pernah sekalipun saya temui gadis itu membuka penutup wajahnya. Nah, hal yang menarik adalah kontrasnya pemandangan sore hari yang kerap saya temui ketika perjalanan pulang. Di awal perjalanan pulang, biasanya saya beriringan dengan beberapa tukang becak yang saya perkirakan usianya di atas Bapak saya sedang menggenjot becaknya ke arah selatan meninggalkan Jalan Mataram menuju Jalan Brigjen Katamso. Sampai di perempatan Ringroad Jalan Parangtritis saya jumpai sekelompok remaja memainkan peralatan musik seadanya, meminta simpatik kepada pengguna jalan agar memberikan sebagian recehan yang dimilikinya. Ah, sulit bagi saya memahami ketimpangan besar ini. Di satu sisi, saya menilai wajar ketika ada orang yang usianya di atas Bapak saya sedikit beristirahat (baca : tidak bekerja keras) dan menikmati hasil jerih payah yang selama ini diusahakan. Saya memang tidak tahu persis kondisi riil bapak-bapak tukang becak itu, apakah kerja keras mereka yang masih ditunjukkan sampai saat ini didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat atau wujud pengabdian kepada Allah. Sebagian bapak-bapak itu mungkin sudah berada dalam kondisi yang layak, anak-anak sudah mentas sehingga kerja keras itu masih mereka tunjukkan sebagai wujud syukur dan pengabdian terhadap semua kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka. Di sisi lain, nalar saya masih belum menerima dengan profesi pengamen yang dijalankan oleh remaja yang acap saya temui setiap sore di perempatan Ringroad Jalan Parangtritis. Saya menganggap bahwa profesi yang mereka jalankan itu masih jauh dari wujud mengemban tanggung jawab sebagai pribadi yang dikaruniai akal dan badan yang sehat. Saya semakin tidak simpatik setelah melihat kebiasaan mereka menghias mulutnya dengan gulungan kertas berisi tembakau. Sekarang mari kita nilai bersama, apakah alasan kita memberikan uang receh itu lebih karena iba, takut, atau memang menikmati lagu yang dibawakan? Seandainya alasan kita memberikan recehan itu karena rasa iba ataupun takut maka dapat kita simpulkan bahwa profesi ‘menjual kemiskinan’ ini cukup menjanjikan. Mungkin menjalani profesi sebagai pengamen jalanan ini lebih menjanjikan dibandingkan menjadi tukang becak ataupun tukang koran. Menjadi tantangan tersendiri merubah POLA pikir yang sudah dibentuk sekian lama. Seperti pembahasan di awal tadi, POLA yang sudah tertanam di otak adalah “mengamen, mengamen, dan mengamen”. Dengan tertanamnya POLA itu seseorang akan sulit berpindah menjalani profesi lain. Mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu gaji yang akan diterima dengan pendapatan yang diperolehnya ketika mengamen.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat ini, sepertinya uang menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan identitas. Banyak dari kita yang menjalankan pekerjaan hanya sekedar untuk mendapatkan uang dan sengaja menutup manfaat lain dari pekerjaan itu sendiri. Kita baru akan menghayati manfaat itu ketika pekerjaan itu sudah lepas dari kita. Banyak orang merasakan bahwa rasa sakit di-PHK itu bukan karena bayang-bayang kehilangan sumber uang untuk penghidupan. Mereka lebih sakit merasakan rusaknya harga diri dikarenakan status PENGANGGURAN. Dengan bekerja kita memiliki identitas. Dengan bekerja kita dapat menjelaskan kepada diri kita sendiri siapa kita sebenarnya dan seberapa pentingnya kita bagi orang lain.
Di sini tentu kita tidak berbicara tentang kompleksnya menyelesaikan permasalahan pengemis dan pengamen. Bukan kapasitas saya untuk membahas itu. Saya hanya ingin mengembalikan diri kita masing-masing sebagai manusia yang seutuhnya. Manusia yang mampu mengemban tanggung jawab sebagai pribadi, menjaga identitas dan harga diri dan bahkan melampauinya. Untuk mengembalikan itu semua diperlukan upaya memotong POLA salah yang sudah lama tertanam dan mengakar di otak. Dan alat untuk memotong POLA itu adalah SYUKUR.

Bantul, 2 Maret 2014