Minggu, 30 Januari 2011

Quality for Our Customer

Awal tahun 2010 yang lalu adalah tahun di mana saya harus mengalami transisi berulang kali. Transisi dari masa perkuliahan yang cukup lama ke masa pasca kampus yang kadang tidak terduga warnanya. Terhitung 28 hari sejak kelulusan saya mulai bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional yaitu GS Battery, salah satu perusahaan manufaktur dari Astra Otoparts Group yang memproduksi battery untuk kendaraan bermotor. Memang tidak sampai sebulan saya bekerja di tempat ini akan tetapi ada satu hal yang saya cukup ingat di kepala saya sampai saat ini. Satu nilai perusahaan yang wajib dipahami oleh seluruh karyawan di sini adalah pelayanan yang memuaskan kepada customer. Saat itu saya memahami

Senin, 24 Januari 2011

Mengambil Jarak Emosi

Kali ini saya masih akan menceritakan separuh hal yang lagi-lagi bukan secara kebetulan saya dapatkan dari 6 hari diklat di Suralaya, salah satu unit diklat di perusahaan tempat saya bekerja. Sebelum berangkat menuju diklat, saya sudah meniatkan untuk mendapatkan minimal satu saja hal baru di luar kebiasaan pekerjaan saya yang berkutat dengan listrik. Ya, saya akan belajar tentang pemeliharaan boiler unit pembangkit yang sama sekali belum pernah saya kenal semenjak saya kuliah, bahkan mungkin mendengar secara lebih familiar pun baru-baru saja ini.
Alhamdulillah, saya belajar dengan dipandu oleh seorang instruktur yang dari segi pengalaman, sudah tidak diragukan lagi. Instruktur itu memiliki pengalaman cukup lama dalam operasi unit pembangkit baik itu di luar negeri, maupun di dalam negeri. Yang saya kagumkan, ternyata beliau hanya memiliki latar belakang pendidikan setingkat sekolah menengah kejuruan. Di dalam kelas,

Sabtu, 22 Januari 2011

Ayah Biasa

Alhamdulillah, enam hari di Suralaya sudah terlewati. Sedikit yang saya faham dari sekian banyak pelajaran yang terberi. Sedikit pula hikmah yang teringat dari sekian banyak hikmah tersirat. Ah, shalih itu masih jauh.
Bukan merupakan kebetulan saya ditempatkan satu rumah dengan Bapak itu, tapi ini cara Allah menyampaikan hikmah. Beliau memang bukan siapa-siapa. Beliau bukan pejabat di perusahaan tempat dia bekerja. Beliau bukan juga seorang ahli yang mempunyai kemampuan spesifik untuk perusahaan karena memang dia hanya seorang lulusan SMA. Beliau masih 45 tahun, tapi menurut saya beliau terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya.
“Maaf ya dik saya sambil merokok”, kata beliau. “Iya pak, monggo”, tak enak juga saya melarang beliau merokok. Beliau bisa menghabiskan rokok sehari minimal dua bungkus.
Gila, dua bungkus. Saya sih nggak ngerti harga rokok itu berapa, tapi bisa saya bayangkan bahwa dalam sebulan paling tidak bisa menabung 60 bungkus rokok dalam bentuk uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan lain.
Beliau berkata lagi, “Ini saya sudah menahan dik. Di usia seperti adik sekarang ini saya bisa habis tiga sampai empat bungkus sehari.

Kamis, 13 Januari 2011

Character Drain


Saya begitu takjub ketika mendengarkan cerita yang dilontarkan salah seorang teman saya tentang seorang anak yang setiap harinya menjajakan asongan di sebuah stasiun kereta. Suatu hari teman saya akan pergi ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Dia harus menunggu selama kurang lebih satu jam karena memang datang jauh lebih awal dari jadwal kereta. Ketika menunggu tersebut, datanglah seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 10 tahunan datang menemui teman saya dan menawarkan Koran. Teman saya ini tertarik dengan cara menjajakan Koran si anak ini. Tidak seperti yang biasa ditemui, anak ini menjajakan Koran sambil membacakan sebagian isi dari Koran tersebut. “Cerdas juga nih anak”, pikir teman saya. Tertarik dengan anak tersebut akhirnya teman saya jadi membeli Koran. Sambil memilih Koran yang akan dibeli iseng-iseng teman saya menanyai anak tersebut. Anak tersebut bercerita bahwa ayahnya baru saja meninggal dunia sehingga terpaksalah ibunya yang harus membiayai keluarganya. Mau tidak mau, dia tentu tidak tega dengan ibunya yang sudah tua harus membiayai kehidupan keluarganya sehingga ia berinisiatif untuk membantu ibunya dengan berjualan Koran di stasiun. Merasa iba dengan kondisi si anak teman saya memberikan uang lebih di luar harga sebuah Koran. Akan tetapi yang membuat terkejut teman saya ternyata dia menolak pemberian sejumlah uang itu. Dia hanya mengambil seharga Koran yang dijualnya. Selebihnya dikembalikan kepada teman saya tersebut. Apa yang dikatakannya? “Maaf mas, saya di sini memang untuk berjualan dan bukan meminta-minta. Ini mas kembaliannya. Permisi ya mas, ini masih banyak dagangannya. Biar segera habis”, kata anak itu.
Trenyuh, sekaligus takjub saya mendengar cerita itu. Seorang anak dengan usia yang masih sangat muda mampu mempertontonkan sebuah karakter yang luar biasa kepada orang dewasa. Karakter kemandirian begitu melekat pada diri si anak sehingga dia mampu mempertanhankan prinsipnya tersebut meskipun kondisinya sebenarnya sangat membutuhkan. Bisa jadi ceritanya akan menjadi lain ketika anak itu menerima pemberian teman saya tersebut. Boleh jadi ia akan berfikir bahwa dengan menjual “kondisi” di tempat yang lainnya ia akan mendapatkan hal yang sama. Jika ini berlangsung secara terus menerus, kemungkinan anak tersebut akan berharap setiap hari bahwa dia akan mendapatkan uang “belas kasihan” yang banyak disamping uang hasil menjual Koran tersebut.
Karakter adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang manusia yang dapat dibentuk dalam jangka waktu tertentu melalui pendidikan dan budaya. Tentu saja pembentukan karakter pada diri setiap orang berbeda dan sangat tergantung pada kondisi seseorang saat pembentukan karakter tersebut. Pembentukan karakter dimulai dari pendidikan yang diterapkan kepada orang tuanya sejak lahir dan inilah yang akan menjadi modal bagi setiap anak untuk menghadapi dunia luar. Bukan berarti sesuatu yang telah dibentuk di dalam keluarga itu akan menetap pada diri si anak dan tidak luntur. Sangat mungkin karakter yang telah terbentuk itu mengalami perkembangan atau bahkan mengalami penurunan alias character drain. Satu kondisi lingkungan boleh jadi akan mengembangkan karakter seseorang akan tetapi tidak bagi orang lain. Seperti contoh yang saya ceritakan di atas. Di satu sisi, tawaran uang banyak merupakan ujian untuk lebih menguatkan karakter kemandirian. Akan tetapi di sisi lain bisa jadi justru akan melemahkan karakter kemandirian pada diri seseorang. Lagi-lagi ini kembali pada konsep yang ada pada diri seseorang dalam menghadapi perubahan lingkungan yang begitu cepat dan kadang-kadang tidak bisa diprediksi.
Dalam lingkungan kerja baik itu di perusahaan ataupun di institusi pelayanan, konsep pembentukan karakter begitu kental. Salah satu contoh yang saya alami sendiri adalah konsep pembentukan karakter karyawan di PT PLN (Persero). Ketika awal masuk, calon karyawan harus melalui serangkaian diklat yang lebih diutamakan pada pembentukan karakter karyawan yang terpercaya, bertanggung jawab, peduli, dan pembelajar. Tidak tanggung-tanggung, PLN menggandeng militer untuk mencoba melakukan pembentukan tersebut. Sadar ataupun tidak sadar, pasti ada sesuatu yang masuk ke dalam diri calon karyawannya meskipun sejauh mana keberhasilannya masing-masing personnel lah yang mengetahui secara pasti. Selain serangkaian diklat, calon karyawan juga dibuatkan sebuah buku saku tentang pedoman perilaku bagi setiap pegawai. Tentu saja cara ini menarik. Buku yang memang didesain simple dan praktis sehingga bisa dibawa di saku dan mudah dibaca. Ada yang pernah mengamati tentang CEO’s note? Ya, catatan yang setiap hari ditulis oleh CEO Dahlan Iskan. Saya melihat bahwa selain menuliskan kondisi terkini PLN, CEO secara tersirat mencoba memberikan motivasi kepada seluruh pegawainya. Saya kira perusahaan lain pun juga menerapkan hal yang serupa dalam pembentukan dan perkembangan karakter pada para pegawainya. Perusahaan menyadari sepenuhnya bahwa SDM bukanlah sekedar administrative expert yang mengerjakan rutinitas pekerjaan yang terdapat pada perusahaan seperti yang disebutkan oleh Dave Ulrich, professor dan pakar SDM dari University of Michigan. Perusahaan menyadari bahwa SDM adalah sebuah asset yang fungsinya lebih kepada partner dalam menjalankan roda perusahaan. Artinya, karakter yang melekat pada SDM nya menjadi modal utama dalam menjalankan roda bisnis. Perusahaan mempunyai standar karakter yang harus dimiliki oleh setiap karyawan. Bertubi-tubi pelatihan atau pertemuan yang dilakukan oleh perusahaan semata-mata adalah penanaman nilai-nilai yang akan terwujud ke dalam sebuah karakter.
Keberhasilan roda bisnis akan sangat dipengaruhi oleh konsistensi perusahaan membentuk dan mempertahankan karakter yang sudah dibentuk. Perusahaan yang mengutamakan efisiensi tentu saja tidak akan bermain-main pada wilayah ini dengan membiarkan para karwayannya dalam berperilaku. Perusahaan berkarakter tentu akan senantiasa mengkondisikan lingkungan sehingga degradasi karakter alias character drain itu mampu diperkecil seminimal mungkin kecepatan alirannya.
Ibarat sebuah aliran air pada pipa, karakter itu adalah siklus tertutup pada sebuah system perpipaan. Kekuatan mempertahankan nilai yang akan membentuk karakter adalah kekuatan menjaga agar valve drain yang menjadi peluang keluarnya nilai-nilai tersebut senantiasa tertutup.
Dan terakhir, karakter adalah sesuatu yang unspoken. Tindakan nyata adalah ejawantah karakter itu sendiri.


Paiton, 13 Januari 2011
~Mumpung lagi semangat ngeblog~

Rabu, 12 Januari 2011

Multi Services Berseni Tinggi


Seperti biasanya, setiap Rabu malam adalah jadwal saya untuk futsal bersama dengan rekan-rekan sekantor. Akan tetapi, ada hal khusus yang memang tidak sengaja saya amati sehingga saya terinspirasi untuk menuliskannya di blog ini. Setengah permainan selesai, biasanya saya duduk-duduk di kursi yang sudah disediakan di sekitar lapangan futsal. Akan tetapi ada hal baru yang saya temui di sekitar lapangan itu. Ruangan yang dulunya cukup luas, sekarang sudah dipenuhi bilik-bilik yang menurut saya mirip dengan bilik warnet. Tertarik dengan hal itu, saya coba mengamati lebih dekat. Ternyata benar, bilik-bilik tersebut memang disiapkan untuk sebuah warnet. Wah, hebat juga ya. Sebuah tempat futsal dilengkapi dengan warnet. Pasti bisa lebih memanjakan pelanggan. Sambil menunggu giliran bermain, para pelanggan bisa berselancar di dunia maya dengan lebih nyaman.
Di halaman parkir, saya jumpai kembali sebuah hal baru yang sebelumnya tidak pernah saya amati meskipun sudah berulang kali saya bermain futsal di tempat ini. Ternyata dibangun sederetan bangunan yang didesain memanjang. Pikir saya, tempat ini mungkin akan dijadikan semacam food court. Wah, lagi-lagi mantab nih idenya. Setelah bermain futsal, rata-rata para pelanggan memang mencari tempat makan. Entah untuk sekedar melepas lelah setelah bermain ataukah memang mengisi perut.
Dari sebuah tempat futsal yang ditujukan untuk memberikan fasilitas melepas penat sehabis kerja atau olahraga menjadi sebuah area multi services yang memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan membidik berbagai sisi kemungkinan keuntungan dari analisis efek domino. Sebuah analisis sederhana yang mungkin belum pernah terfikirkan. Di tahun 90–an, sebuah POM Pengisisn Bahan Bakar semata merupakan tempat untuk mengisi bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Akan tetapi, pola ini berubah secara drastis. Pertamina ataupun perusahaan semacam Shell atau Petronas sudah menerapkan system pelayanan multi yang dijadikan standar untuk sebuah POM Pengisian Bahan Bakar. Dapat kita lihat sekarang ini bahwa di sebuah POM yang berstandar pasti terdapat fasilitas pelayanan berganda seperti toilet, mushola, dan juga swalayan. Bahkan di beberapa tempat saya menemukan bahwa di area POM juga disediakan restoran fast food ataupun tempat membeli oleh-oleh seperti yang saya temui di Ambarketawang Jogja dan di Besuki, Jawa Timur.
Automatic Teller Machine atau Anjungan Tunai Mandiri yang lebih dikenal dengan ATM adalah bilik untuk melakukan transaksi mengambil, ataupun mentransfer sejumlah uang. Pada dekade ini kita temukan bahwa selain berfungsi memberikan pelayanan transaksi pengambilan atau transfer, ATM memberikan kemudahan bagi nasabah bank untuk melakukan pembayaran rekening Telkom, rekening PLN, ataupun transaksi pembelian pulsa. Dengan pelayanan tambahan ini, nasabah dipermudah dalam memenuhi kebutuhan rutinnya seperti membayar rekening dan membeli pulsa. Pun dengan PLN sendiri yang sudah bertransformasi secara bertahap dari listrik pasca bayar menjadi listrik prabayar. Dengan pelayanan ini PLN dan pelanggan sama-sama diuntungkan. Pelanggan akan lebih mudah melakukan pengontrolan pemakaian rekening listrik, sedangkan PLN lebih mudah untuk melakukan estimasi pemakaian listrik para pelanggannya. Tentu saja, dengan model seperti ini keandalan listrik akan lebih berkualitas.
Ya, sebuah transformasi dari sekedar fungsi menjadi multi services. Saat ini, setiap pemberi pelayanan dituntut selain meningkatkan kualitas pelayanan utamanya, juga memberikan kenyamanan bagi para pelanggannya. Tidak heran jika saat ini semua berlomba untuk memberikan kualitas pelayanan multi dan prima. Sebuah pelayanan dinilai berkualitas jika mampu memberikan kualitas pelayanan pokok sesuai fungsi dan kualitas pelayanan “penyegar” alias tambahan.
Pun berlaku pada pelayanan berbasis Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia yang berkualitas dituntut untuk bisa lebih dari sekedar tuntutan bidangnya. Seorang insinyur akan lebih memukau di tingkatan manajemen apabila dia mempunyai kualitas relasi dan komunikasi yang prima di samping kemampuan utama di bidang yang ditekuninya. Seorang dokter juga dituntut sebagai seorang motivator lebih dari sekedar “hakim” pemvonis pasien dan meresep. Seorang news anchor dituntut dalam kelihaian mengolah sebuah informasi menjadi sebuah news-tainment sehingga menarik untuk disimak. Bahkan saya amati akhir-akhir ini, sebuah berita televisi jauh lebih menarik untuk diikuti ceritanya dibandingkan dengan sinetron. Dalam sebuah artikel yang saya baca di KOMPAS, saya menemukan sebuah artikel tentang “People Power”. Di dalam artikel tersebut diuraikan bahwa manusia memiliki kekuatan multi yang kadang tidak disadari. Manusia dapat memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar tugas utama di sebuah perusahaan atau institusi. Artinya, ketika manusia mampu mengoptimalkan kelebihan tersebut, maka lingkungan yang menjadi obyek pelayanannya pun akan merasa terlayani dengan sempurna. Akan tetapi memang disadari bahwa kemampuan tersebut bersifat fluktuatif dengan factor kompleks yang mempengaruhi. Kita contohkan semisal Irfan Bachdim, seorang pemain muda berbakat yang bermain di Persema Malang. Performa yang ditampilkan oleh pemain ini saat membela Persema sungguh sangat memukau. Selain menjadi produsen gol, penampilan saat bermainnya pun sudah menjadi hiburan tersendiri bagi penggemar sepak bola. Akan tetapi tidak ada yang menjamin, jika dia bermain di klub yang lain, apakah dia akan menampilkan performa tersebut atau tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan emosi dan mental.
Memang tantangan yang akan timbul saat mengoptimalkan kualitas multi pada SDM adalah mempertahankan stabilitas. Ketika SDM sudah mampu didongkrak sehingga keluar kemampuan multinya, maka tantangan berikutnya adalah mempertahankan kestabilannya. Ketika dongkrakan yang pertama sudah berhasil belum tentu ketika dipaksa di dongkrakan berikutnya akan berhasil juga. Kemungkinan bisa naik, stagnan, atau bahkan malah menurun performanya. Inilah seni yang membedakan antara manusia dengan mesin.
“Karena manusia adalah Maha Karya yang Maha Pencipta”
Paiton, 12 Januari 2010 ~Mendekati pukul 00.00 waktu setempat~

Selasa, 11 Januari 2011

SMART Ekselensia Indonesia


Setelah membuka FB ternyata ada informasi dari Ex. Korwil Beastudi Etos Jogja yang sekarang di Beastudi Etos pusat bahwa sekolah SMART Ekselensia Indonesia kembali membuka pendaftaran untuk siswa baru calon lulusan Sekolah Dasar untuk dididik menjadi SDM bermoral dan berprestasi di SMP dan SMA SMART Ekselensia Indonesia. Sebagai informasi awal, sekolah ini adalah sekolah di bawah Lembaga Pengembangan Insani (LPI) Dompet Dhuafa Republika yang menerapkan metode Boarding School. Di sini, siswa akan dididik selama 5 tahun dengan rincian 2 tahun di SMP (akselerasi) dan 3 tahun di SMA yang berada dalam lingkungan Bumi Pengembangan Insani, Kabupaten Bogor. Siswa akan diasramakan dengan program pendidikan yang berkarakter dan berwawasan Islam. Kalau boleh saya sandingkan, sekolah ini mirip dengan model yang pernah didirikan di Indonesia sebelumnya yaitu SMA Taruna Nusantara Magelang. Hanya saja misi yang diusung sedikit berbeda. Siswa akan bersekolah gratis, mendapatkan uang saku, tempat tinggal, dan pembinaan rutin di lingkungan Bumi Pengembangan Insani.
Sekolah ini baru didirikan lebih kurang 5 tahun yang lalu dan baru meluluskan satu angkatan. Yang paling dahsyat adalah tingkat kelulusan, prestasi siswa di berbagai ajang Nasional, ataupun Regional. Dari semua peserta angkatan pertama, 100 persen lulusannya diterima di PTN yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan satu dari lulusan tersebut berhasil menembus studi sampai Belgia. Satu pengalaman penting yang saya dapatkan ketika berinteraksi dengan siswa di sekolah ini adalah ketika saya berkesempatan mengunjungi Bumi Pengembangan Insani tahun 2006 yang lalu. Suatu saat saya sholat Jama’ah di dalam Masjid di dalam kompleks asrama. Setelah berwudhu, cuek saja saya menaruh sandal di depan masjid (pun dengan teman-teman saya yang lain). Nah, bersamaan dengan itu, datanglah sekelompok siswa dengan pakaian rapi dan lengkap yang akan melaksanakan sholat jama’ah. Dan yang saya malu, semua siswa menaruh sandal dengan posisi yang menghadap keluar dengan tatanan sangat rapi. Pada waktu itu, malulah saya dan teman-teman. Saat itu, saya masuk di semester 2 kuliah, sedangkan anak-anak itu masih seusia SMP.
Sekolah ini memang ditunjukkan untuk anak yang berasal dari keluarga kurang mampu di seluruh wilayah Indonesia. Quota pun cukup terbatas sehingga persaingan untuk masuk ke sekolah ini sangatlah ketat. Saya kira mas dan mbak sekalian yang tertarik untuk mendaftarkan tetangganya atau saudaranya bisa mengakses informasi lengkapnya di www.lpi-dd.net .
Satu program lagi yang berada di bawah Lembaga Pengembangan Insani adalah Beastudi Etos yang mungkin sudah pernah saya ceritakan beberapa waktu yang lalu di blog ini.

Paiton, 12 Januari 2010

Sabtu, 08 Januari 2011

Mempercantik Kejutan


Delapan hari sudah berlalu di tahun 2011 ini. Banyak hal yang sudah kita rencanakan untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang sempat tertunda di tahun 2010 lalu. Banyak pula kenangan yang mestinya dikubur dalam-dalam bersama dengan dokumen-dokumen yang sudah tidak terpakai. Tentu tidak semua hal akan kita kubur dan lupakan begitu saja. Banyak hal di sepanjang 2010 yang mestinya menjadi pembelajaran untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya di 2011 ini. Memang evaluasi bisa kita lakukan setiap saat, akan tetapi naluri ternyata membutuhkan momentum untuk mengambil ancang-ancang mencapai tujuan rangkaian finish dan akan mencatatkannya ke dalam buku tahunan yang sudah kita buat.
Mungkin sudah agak terlambat untuk membahas tentang 2011 ini. Tapi memang saya pribadi belum menyusun secara runtut dan terperinci perencanaan yang akan saya lakukan di sepanjang 2011 nanti. Dalam catatan kecil saya, di tahun 2011 ada begitu banyak perubahan yang patut menjadi sejarah tersendiri dalam rangkaian kehidupan yang sudah saya jalani sampai saat ini. Mulai dari stagnansi Negara-negara besar, bahkan adidaya seperti Amerika dan Inggris dan berkembang pesatnya beberapa Negara di Asia yang salah satunya adalah Cina. Saya sempat terkagum-kagum ketika menyaksikan begitu hebatnya Cina yang mampu membangun Pembangkit Listrik berbahan bakar batubara di beberapa tempat di Indonesia. Meski secara kualitas (menurut pandangan saya) memang lebih rendah daripada buatan Negara yang sudah mendahuluinya, Jepang tapi saya tetap terkagum. Betapa tidak, industry transformator (trafo) yang biasanya kita kenal dengan merk besar seperti Siemens dapat disamai dengan manufaktur Cina sekelas home industry (menurut informasi dari kunjungan ke Cina beberapa saat lalu). Begitu juga dengan bombardir beberapa merk Handphone dengan teknologi yang ingin menyamai pendahulunya. Yang saya kagumkan, ternyata Cina mampu memproduksi HP berfasilitas sama akan tetapi dengan material yang lebih murah sehingga harga jualnya pun mampu dijangkau oleh masyarakat kita sebagai objek pemasaran. Sampai saat ini saya masih bermimpi Negara kita mampu meniru, melakukan Recycle Engineering terhadap produk-produk tersebut.
Memang agaknya terlalu naïf jika perubahan yang kita bicarakan di sini hanyalah perubahan teknologi, perubahan ekonomi, tanpa diiringi dengan perubahan moral, spirit, dan perubahan inovasi. Kita memang terbatas pada hal-hal tertentu dalam kehidupan ini, tetapi akankah kita juga membiarkan diri kita terlena pada keterbatasan moral, spirit, dan juga inovasi? Ada sekian banyak peluang untuk maju di samping kelemahan-kelemahan diri kita yang bisa jadi telah kita telantarkan.

Dalam setiap fragmen kehidupan kita, kejutan-kejutan akan senantiasa hadir. Apakah itu kejutan yang akan menambah motivasi atau melemahkan diri kita. Menjadi ingatan bersama kejutan yang hadir di penghujung 2010 yang lalu. Bencana di daerah yang dikenal dengan keramahan dan kenyamanan dikejutkan dengan bencana Merapi selama hampir dua bulan sejak meletusnya hingga akibat yang ditimbulkan saat ini. Kejutan memang tidak bisa kita rencanakan di dalam alur yang sudah kita scenario. Kejutan terjadi begitu cepat dan tentu akan menghentikan sejenak jalannya alur cerita yang sudah kita rencana. Bukan berarti berhentinya alur cerita akan senantiasa menambah titik kelemahan alur cerita kita. Ibarat sebuah film, improvisasi justru akan mempercantik penampilan. Beberapa waktu lalu saya membaca di salah satu portal berita bahwa bencana Merapi mampu disulap menjadi sebuah wisata baru yang unik yaitu wisata lahar Merapi. Wisata yang menghadirkan perjalan untuk melihat sisa-sisa bencana Merapi. Pengunjung akan melihat dan membandingkan sendiri bahwa pemandangan hijau yang dulu tertampil berganti menjadi pemandangan abu-abu. Tak tanggung-tanggung, ternyata wisata ini sangat menarik warga Jogja maupun luar Jogja yang ingin menyaksikan dari dekat sisa-sisa erupsi Merapi. Dan diberitakan bahwa keuntungan wisata ini perhari bisa mencapai 40 juta rupiah. Selain itu muncul pengusaha pengeruk pasir yang menjadi lebih banyak daripada biasanya. Material merapi berupa pasir sangat memberikan peluang yang besar bagi pengusaha pasir untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
Kejutan mampu dipercantik sehingga menjadi potongan indah di dalam alur cerita kita.
Lain lagi ceritanya dengan kejutan yang satu ini. Setelah bertahun-tahun kondisi persepakbolaan kita tidak kunjung mengalami perbaikan tampilah timnas dengan besutan pelatih yang tidak banyak bicara dan pemain muda berkualitas yang mampu menampilkan apa yang disebut sepakbola itu sendiri. Meski di ajang tersebut Indonesia masih gagal meraih gelar juara, akan tetapi masyarakat Indonesia sepakat bahwa Indonesia adalah juara yang sejati. Juara meski tanpa mahkota. Kejutan persepakbolaan ini mampu menjadikan semangat nasionalisme yang dikabarkan sedikit demi sedikit terdegradasi menjadi bangkit kembali. Indikatornya menurut saya mudah. Berita di stasiun televisi yang beberapa waktu terakhir masih monoton itu-itu saja menjadi terwarnai dengan merah putih seiring tampilnya permainan terbaik yang dipersembahkan pemain-pemain kita. Kejutan ini pula yang mampu membangkitkan perhatian bangsa ini terhadap sesuatu yang dulu menjadi celaan dan cacian.
Kita lihat bersama bahwa kejutan tidak selamanya akan memotong alur cerita yang sudah kita scenario. Justru akan menjadi sebuah peluang untuk memperindah jalan cerita kita. Tentu dibutuhkan pada setiap kita kesiapan untuk menerima kejutan itu. Bukan berarti grogi dan takut akan datangnya kejutan itu, akan tetapi kesiapan untuk melentingkan diri pasca kejutan itu mendatangi kita.

Paiton, 8 Januari 2010

Jumat, 07 Januari 2011

Sekali-Sekali Ngegombal

Bukannya aku tak terpana pada lentiknya matamu
Bukannya aku tak terlena pada cantik nan teduhnya wajahmu
Bukan pula aku tak terkagum pada perangai lembutmu
Karena aku pun tak punya yang sepadan dengan itu semua
Maka tak pantaslah aku disandingkan denganmu

Bukannya aku tak terpesona pada indahnya bacaan Qur’anmu
Bukannya aku tak terlarut pada dahsyatnya nasihat perkataanmu
Bukan pula aku tak tertunduk malu pada Qiyamul Lailmu
Karena aku pun mati-matian untuk bisa itu semua
Maka tak pantas pula aku memimpikanmu

Bukannya aku tak tertarik pada cerdasnya uraianmu
Bukannya aku tak terpedaya pada kekayaan dirimu
Bukan pula aku tak terluluh pada ketegasan sikapmu
Karena aku pun berpunggung batu untuk menyamaimu
Maka tak eloklah aku menjadi qowwammu

Meski tak pantas disandingmu
Meski tak pantas memimpikanmu
Meski tak elok mengharap jadi qowwammu
Ijinkan aku untuk mendekatimu
Bukan
Bukan untuk mendekati dirimu
Tapi mendekati keshalihanmu
Mendekati kecerdasanmu
Mendekati ketegasanmu

Jujur, aku tak akan mungkin mengharapmu
Karena ku tak mungkin menyamaimu
Karena ku tak mungkin pula disandingmu
Maka kubersyukur sangat mencukupkan diri dengan sepadanku

Dia memang tidak secantik dirimu
Tapi sungguh menyejukkan nan meneduhkan hati kala lihatnya
Dia juga tidak sekaya dirimu
Tapi sungguh menyejukkan kekayaan hatinya menerima pemberian tulusku
Dia juga tak sehebat ilmumu
Tapi sungguh meluruhkan hati kala meluruskan kebengkokanku
Dia pun tak setegas dirimu
Tapi sungguh anak-anakku terdidik nan shalih di dekapnya


Paiton, 8 Januari 2010

Selasa, 04 Januari 2011

Tidak Sekedar Menjual Kemiskinan


Hampir setiap jenjang pendidikan dalam kehidupan, saya selalu berusaha untuk mendapatkan beasiswa. Mulai dari jenjang pendidikan terendah yaitu sekolah dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi. Entahlah, mungkin sudah menjadi jalan hidup bagi saya untuk bersekolah dengan biaya tidak murni dari kocek orang tua saya. Dari jenjang pendidikan dasar saya ingat bahwa saya mendapatkan beasiswa sebesar 25 ribu perbulan, di jenjang sekolah menengah pertama saya mendapatkan beasiswa sekitar 50 ribu perbulan. Pada jenjang yang lebih tinggi, sekolah menengah atas, saya mendapatkan beasiswa sekitar 133 ribu rupiah dan kesemuanya bersumber dari Dinas Pendidikan. Yang cukup berbeda adalah saat kuliah. Pada waktu kuliah, saya mendapatkan beasiswa dari dua tempat yaitu Beasiswa Etos dan PBUTM dari UGM (untuk biaya pendidikan gratis selama 4 tahun). Ada satu ciri kesamaan dari semua beasiswa yang pernah saya dapatkan. Kesemuanya mensyaratkan bahwa penerima beasiswa harus berasal dari keluarga yang secara ekonomi “kurang mampu”, dengan parameter yang mungkin berbeda antara panitia beasiswa yang satu dengan yang lainnya. Mafhum, bahwa beasiswa memang ditujukan untuk membantu siswa atau mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Di satu waktu saya merasa bersyukur atas bantuan yang diberikan kepada saya. Akan tetapi di waktu yang lain saya mencoba untuk menilik diri saya lebih jauh. Apakah saya memang benar-benar pantas untuk mendapatkan beasiswa tersebut? Tentu bukan dari sudut pandang “kemiskinan” seperti yang saya ungkapkan di awal, akan tetapi dari sudut pandang kemampuan memacu potensi dengan adanya beasiswa tersebut. Artinya, mampukah beasiswa itu memberikan dorongan bagi penerimanya untuk berkembang dan mengubah pola hidup kemandirian dari si penerima? Sebuah kasus saya dapatkan di kampus yang sama dengan tempat studi saya. Seorang mahasiswa dapat menerima beasiswa dari beberapa institusi sekaligus dengan persyaratan surat penghasilan orang tua. Sayangnya, ada hal yang saya lihat cukup mencolok dari gaya hidup yang ditampilkan oleh mahasiswa tersebut. Teman-temannya mengetahui bahwa dia mendapatkan beasiswa, akan tetapi gaya hidupnya kok seperti mahasiswa yang mampu? Semisal naik motor yang cukup bagus, mempunyai HP dan Laptop yang harganya tidak murah. Tentu justifikasi ini bukan tanpa dasar. Apakah ia menggunakan beasiswa itu untuk membeli barang-barang itu? Atau dia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang tersebut dari orang tuanya? Jika menggunakan uang beasiswa untuk membeli barang tersebut tentu ini merupakan tindakan yang tidak amanah dalam menggunakan beasiswa. Pun bila mendapatkan uang dari orang tuanya. Berarti ia bukan benar-benar berasal dari keluarga yang kurang mampu. Akan sedikit berbeda ceritanya jika ia mempunyai penghasilan lain di samping menerima uang beasiswa. Tapi ternyata ia juga tidak memiliki usaha yang lain. Tentu permasalahan ini menimbulkan kecemburuan antara mahasiswa yang sama tingkat ekonomi keluarganya, akan tetapi yang satu mendapatkan beasiswa sedangkan yang lain tidak.
Tentu saja masalah ini tidak semata-mata karena kesalahan gaya hidup penerima beasiswa, akan tetapi juga manjadi kewajiban bagi pemberi beasiswa untuk mengawasi penggunaan beasiswa tersebut (melakukan audit kepada penerima beasiswa). Model audit ini tentu tidak menjadikan pemberi beasiswa menjadi berkurang keikhlasannya dalam memberikan beasiswa. Ini untuk kemaslahatan antara kedua belah pihak.
Saya melihat satu contoh system beasiswa yang bagus yang diterapkan oleh Beastudi Etos yang mendapatkan dana dari dana zakat yang disalurkan kepada Dompet Dhuafa Republika. Di sini penerima beasiswa akan mendapatkan uang saku sebesar 400 ribu perbulan dengan fasilitas tambahan berupa asrama pendidikan selama tiga tahun, uang kuliah gratis pada tahun pertama, dan beberapa pelatihan untuk meningkatkan kemandirian bagi penerima beasiswa. Penerima beasiswa ini akan diaudit keuangannya setiap bulan dan juga harta yang dimiliki (termasuk HP, laptop, dan yang lainnya). Artinya, penerima beasiswa dituntut untuk transparan pada kekayaan yang dimilikinya. Selain itu, penerima beasiswa tidak hanya dikasih uang mentah saja akan tetapi diwajibkan untuk mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan selama tiga tahun. Dengan prinsip “Hari ini Mustahiq, Besok Muzakki” akan mendorong penerima beasiswa untuk menjadi orang-orang yang mampu memberikan zakat yang akan digunakan oleh ummat yang lebih banyak lagi. Artinya, kemanfaatan tidak hanya terputus pada penerima beasiswa saat ini saja, akan tetapi investasi kemanfaatan untuk kemanfaatan yang lebih besar lagi. Uang kuliah hanya diberikan pada tahun pertama dengan maksud agar penerima beasiswa berfikir untuk mampu membiayai pendidikannya sendiri selepas dari tahun pertama. Entah dari bekerja, berwirausaha, atau pengelolaan keuangan yang dimiliki setiap bulannya. Dengan model ini, tentu para penerima beasiswa akan berfikir ulang untuk menggunakan uang beasiswa untuk dibelanjakan untuk kebutuhan yang tidak selayaknya menjadi kebutuhan. Tentu ada yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal. Tapi minimal memang menjadi pemicu yang cukup hebat agar jiwa kemandiriannya tumbuh. Dengan model pembinaan harian, pekanan , dan bulanan, para penerima beasiswa didorong untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas sosialnya. Tentu dengan perencanaan yang berkualitas akan memberikan output yang berkualitas pula.
Masih ada beberapa program beasiswa yang serupa dengan Beastudi Etos tersebut. Yang tidak hanya mendorong calon penerima beasiswa untuk “menjual kemiskinan” orang tuanya semata demi mendapatkan uang beasiswa akan tetapi memberikan kesadaran bahwa kemiskinan orang tuanya kini akan berubah perlahan seiring dengan kemanfaatan yang timbul karena beasiswa yang didapatkan.
Setidaknya bagi kita yang sudah mendapatkan beasiswa akan terdorong untuk menyalurkan kemanfaatan beasiswa yang kita peroleh untuk kemanfaatan yang lebih besar. Bukan tindakan instant yang kita perlukan, tapi tindakan terencana dan berkualitas.
Paiton, 5 Januari 2010

Senin, 03 Januari 2011

Untuk Kau Tahu


Nggak tahu, tulisan ini memang menohok oleh sebagian besar kaum adam. Yang jelas, tadi pagi barusan saya dikabari oleh sahabatku lagi bahwa tulisannya masuk lagi ke dakwatuna.com dan kali ini tidak berbicara dalam bentuk cerita, akan tetapi puisi. Kemudian saya diberitahu judulnya seperti yang saya tulis pada judul postingan ini. Saya tidak mau berkomentar panjang tentang tulisan ini. Sila untuk mas dan mbak sekalian yang mau memberikan komentar. Untuk membaca tulisannya (spesial untuk laki-laki) bisa langsung dibaca di bawah ini.

Untuk Kau Tahu

Oleh : Siti Zuhrotun Nisa'

Kau kira ia hadir begitu saja? Tentulah akan ‘tidak’ kukata;

Sangkamu aku tak lihat harta?
Kau tahu, aku pun melihatnya
Bukan pada banyaknya, tetapi pada jalan apa engkau mengusahakannya,
Pada sebijak apa engkau membelanjakannya,
Pada sebaik apa engkau laksanakan tanggung jawab dalam meraihnya…

Sangkamu aku tak lihat kedudukan?
Tahukah, aku tentu pun melihatnya
Bukan pada ketinggiannya, tetapi pada kemaslahatanmu bagi umat
Pada bagaimana kau menjadi contoh kebaikan,
Pada bagaimana perilakumu mengilhamkan ukhuwwah dan kedamaian…

Sangkamu aku tak pandang indah rupa?
Kini kubilang, tentu aku juga menimbangnya
Bukan pada indah perwujudannya, tetapi pada kilau cahaya wudhu yang terpancar darinya,
Pada secerah apa ia ketika bertabur tindakan mulia,
Pada semuram apa ia ketika tiada sadar terjejak lalai jiwa raga…

Dan jika kurangkum semua,
Dari segala yang kutatap lewat senyap;
Hanyalah mencari penggambaran akhlakmu,
Untuk kemudian merangkum doa pengharapan dalam diam,
atas seorang imam,
Bagi dunia dan akhiratku…

Jebakan Rutinitas atau Kenyamanan?


Bagi sebagian orang bekerja di sebuah perusahaan besar atau PNS merupakan impian. Berbeda juga bagi sebagian yang lain yang menganggap bahwa menjadi PNS atau bekerja di perusahaan besar merupakan sebuah jebakan. Jebakan yang mematikan kreativitas dan menyelimuti diri dalam selimut kenyamanan.
Awalnya saya memang memimpikan untuk bisa bekerja di sebuah perusahaan besar dengan harapan akan terjadi lompatan diri yang cukup tinggi. Setelah impian itu tercapai, disadari ataupun tidak ada sesuatu yang mengganjal dalam diri ini. Entah, karena memang tidak sesuai dengan yang dibayangkan di awal ataukah memang ekspektasi yang terlalu tinggi yang tidak bisa terpenuhi di sini. Saya memang merasakan sebuah stagnansi dalam perkembangan pribadi. Ada pula rekan kerja yang menyatakan bahwa semakin jauh dari dunia kampus, saya semakin bertambah bodoh.
Ya, memang realita dalam kehidupan yang non-ideal seperti layaknya kampus memang harus menjadi perhatian yang utama bagi setiap kita. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan dan kenyataan sangat jauh dari impian hendaknya masing-masing kita menyadari dan tidak berhenti sampai di situ saja. Saya pernah membaca di salah satu buku karangan Michael Watkins yang membahas tentang 90 hari pertama kesuksesan seseorang dalam lingkungan yang baru bahwa memaksakan sebuah idealita ke dalam realita tanpa mempelajarinya lebih dalam adalah sebuah kesalahan besar yang justru akan menjadi hambatan utama dalam memperjuangkan kesuksesan. Kesuksesan awal terletak dari kesuksesan kita untuk beradaptasi dalam lingkungan yang baru. Anggap saja bahwa kenyamanan yang kita alami ketika menginjakkan kaki di dunia yang baru ini bukanlah sebuah rejeki. Artinya, ketika kita berfikir terbalik bahwa kenyamanan itu adalah musuh utama, maka diri akan merasa tidak nyaman sehingga mau tidak mau akan terus berfikir dan bergerak mencari zona di luar zona kenyamanan itu. Tapi memang bagi sebagian orang, bertindak seperti itu sama saja dengan mempertaruhkan masa depan. Sebagian besar orang mencari kenyamanan itu, kok malah kita sendiri ingin keluar. Bukan berarti ketika kita memutuskan untuk memutus tali yang mengikat diri dalam zona kenyamanan adalah menjadikan diri menjadi seorang opposan di lingkungan yang baru. Akan tetapi berbagai tantangan akan dapat kita create tanpa harus menodai berputarnya roda yang stabil dari pihak luar.

Menebar Ranjau atau Oportunis?


Menjelang kelulusan (pra dan pasca pendadaran) sudah terbayang pertanyaan dalam pikiran ini, mau dibawa kemana diri ini? Setiap orang memiliki impian dan idealisme untuk bekerja ataupun melanjutkan kuliah di suatu tempat tertentu. Ada juga yang berprinsip, kalo saya sampe gak diterima di perusahaan atau kementrian ini berarti saya emang bego. Ada pula yang mempunyai idealisme untuk tidak mau bekerja di perusahaan orang lain atau menjadi pegawai negeri sipil. Pokoknya menjalani usaha mandiri, apapun bentuknya. Ada pula yang tidak mau terkekang oleh aturan ini itu (termasuk aturan sendiri), pokoknya mengalir dan nikmati perjalanan.
Saya kira setiap orang memiliki prinsip dan idealisme yang berbeda-beda tanpa harus dijudge itu benar atau tidak. Setidaknya, itu adalah keyakinan diri masing-masing. Toh, kita tidak bisa menentukan parameter kesuksesan orang lain dengan parameter kesuksesan diri kita.
Suka atau tidak suka, sepertinya saya perlu menceritakan pengalaman saya sehingga bisa sampai terdampar di sebuah perusahaan milik negara. Secara prinsip saya tidak memiliki sebuah keinginan khusus untuk berkarir seperti apa atau akan menjalani hidup bagaimana. Setelah pendadaran saya mendaftar di hampir 40 perusahaan, mulai dari perusahaan perkebunan, perbankan, energy, manufaktur, ataupun perusahaan jasa. Kalau PNS belum pernah mendaftar. Nah, dari 40 perusahaan itu saya mendapatkan panggilan untuk tes di 20 perusahaan, dan dari 20 perusahaan itu saya lolos 6 perusahaan yaitu PT Sinarmas Pulp and Paper, PT Wilmar International, PT GS Battery, PT Denso, PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang, Tbk. Dan untuk sekolah lanjut saya diterima di MST UGM dan Master of Information Technology Walailak University, Thailand. Dan pada akhirnya saya memilih untuk berkarir di PT PLN (Persero). Dalam fikiran saya, yang penting saya menebar ranjau. Diterima di manapun itu rejeki saya. Tapi di sisi yang lain, kok saya seperti merasa sebagai orang yang opportunis. Di mana ada kesempatan, di situ saya masuk. Pikir saya, kasihan perusahaan yang sudah menerima saya tapi saya mundur. Entahlah,..sebenarnya dalam hati kecil ini, saya lebih memilih untuk mendaftar di satu impian dan terkabul impian itu, tapi saya juga takut kalau yang satu itu adalah bukan rejeki saya. Buat mas dan mbak yang belum lulus silakan berfikir dengan lebih panjang dan matang untuk menentukan masa depannya. Setidaknya, cita-cita itu tidak menodai keikhlasan kita untuk menjalani kehidupan ini.

Paiton, 3 Januari 2010

Minggu, 02 Januari 2011

Dalam Mihrab Cinta


Ya, setelah dilaunching tanggal 23 Desember 2010 kemarin akhirnya saya bisa menonton film ini juga dengan perjuangan yang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, untuk menonton film di bioskop saya perlu berkendara lebih dari 4 jam sampai kota Surabaya. Maklum, di Probolinggo belum dijumpai bioskop (atau memang tidak laku?). Sebenarnya saya ndak terlalu ngerti jadwal penayangan film tersebut. Berbekal akses via hp, akhirnya saya tahu bahwa di Tunjungan Plaza ditayangkan jam 18.30. Nah, tujuan pertama adalah Hi-Tech Surabaya sekedar melihat-lihat perkembangan laptop, komputer, atau gadget nya. Siapa tahu ada yang kecantol dan terbeli. Sesampainya di sana, eh kok malah sepi. Maklum, mungkin tahun baruan pada libur kali. Akhirnya diputuskan untuk pindah ke WTC wong tujuan awalnya mau nyari HP (temenku). Setelah pusing-pusing di WTC, dapat juga android yang dicari.
Sekarang giliran untuk nyari bioskop, sepertinya Tunjungan Plaza emang agak deket dengan WTC. Tapi, pusing-pusing lagi, akhirnya nyasar di Plaza Surabaya. Tak apalah, penting tujuan tercapai. Ternyata film Dalam Mihrab Cinta tertayang juga di mata jam 19.30 WIB. Secara umum ceritanya tidak terlalu jauh menyimpang dari novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy (yang belum menyimak novelnya, saya anjurkan untuk menyimak terlebih dahulu sebelum menonton filmnya). Dari beberapa film yang sudah diangkat dari novel sebelumnya, ada sedikit kesamaan karakteristik pada tokoh utamanya yaitu dilema tokoh utama dalam memilih pasangan hidupnya dan akhirnya pasti happy ending. Yang sedikit berbeda dari film sebelumnya adalah masalah perjalanan tokoh utama dan setting ceritanya. Kalau di film ayat-ayat cinta tokoh utama diceritakan seakan-akan sempurna dari sisi pribadinya. Pada film Ketika Cinta Bertasbih sudah mulai "manusiawi" dalam menceritakan tokoh utamanya. Artinya, tokoh diceritakan dengan sisi kelebihan dan sisi kelemahan yang tampak sedangkan pada film Dalam Mihrab Cinta tokoh utama pernah mengalami masa-masa sulit dalam ujian hidupnya, bahkan sudah pernah menjadi seorang yang sangat jauh dari ciri orang sholeh yaitu peran pencopet meskipun di akhirnya memang menjadi salah satu panutan bagi lingkungannya. Anyway, ada pelajaran yang dapat saya ambil dari perjalanan seorang Syamsul Hadi dalam pencarian jati dirinya.

"Orang sholeh itu bukanlah orang yang tidak pernah melakukan sama sekali salah ataupun khilaf dalam hidupnya tapi orang sholeh adalah orang yang mampu bangkit dari keterpurukan dan dosa yang pernah dilakukan sehingga manislah akhirnya".

PLTU Paiton Baru


Sepertinya saya memang perlu untuk menulis topic ini. Setidaknya mengingatkan saya sendiri dimana saya bekerja dan bagaimana pekerjaan saya. Ya, PLTU alias Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang terletak di Desa Binor, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pembangkit listrik bertenaga uap ini masuk ke dalam proyek percepatan 10.000 MW tahap pertama dan terletak dalam kompleks PLTU eksisting yang lain di Paiton ini yaitu PLTU Unit 1 dan 2 (PT PJB), PLTU Unit 3 dan 4 (Masih proyek, milik PT Jawa Power), PLTU Unit 5 dan 6 (PT YTL), dan PLTU Unit 7 dan 8 (PT IPMOMI) sehingga PLTU Paiton Baru ini sering disebut dengan PLTU Unit 9. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang sedang gencar untuk melakukan pembangunan pembangkit listrik yang pada tahap pertama ini difokuskan di Pulau Jawa. Ke depan, dengan beroperasinya beberapa pembangkit hasil dari proyek ini, maka kebutuhan listrik di Pulau Jawa akan ditopang optimal oleh pembangkit berbahan bakar batu-bara dan meminimalkan pembangkit yang mempunyai Biaya Pokok Produksi (BPP) yang tinggi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas (PLTGU) yang terdapat di Tambak Lorok, Semarang. Dengan dibangunnya beberapa pembangkit ini, maka akan sangat meminimalkan pemadaman bergilir yang pada dekade ini sangat sering terjadi di Pulau Jawa.
Proyek PLTU Paiton Baru dibangun dengan kontraktor utama adalah konsorsium antara Harbin Power Engineering (HPE) yang merupakan kontraktor dari Cina dan Mitra Selaras Hutama Energi (MSHE) yang merupakan mitra local Indonesia. Konsorsium ini memiliki beberapa subcontractor seperti PT Truba yang menangani masalah perpipaan, BPPC (Cina), AREVA (Prancis) yang menangani pemasangan GIS, dan beberapa subcon yang lain. Sedangkan selaku perwakilan dari Negara adalah PT PLN (Persero) Pembangkitan Indramayu. Untuk manajemen konstruksi ditangani oleh PT PLN (Persero) Jasa Manajemen Konstruksi (JMK) sedangkan untuk sertifikasi kelayakannya adalah PT PLN (Persero) Jasa Sertifikasi. Untuk konsultan Quality Assurance (QA) dan Quality Control (QC) dipercayakan kepada BVI-EMKA.
PLTU Paiton Baru ini memiliki kapasitas 1 x 660 MW dan direncanakan akan beroperasi selama 30 tahun. PLTU Paiton Baru ini akan dioperasikan oleh PT PJB Services yang merupakan anak perusahaan PT PJB. Grand Design dari PLTU ini adalah mampu untuk dioperasikan dengan Capacity Factor (CF) sebesar 94 persen pada tahun 2016. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun dari sekarang, secara bertahap PLTU ini mampu melayani jaringan dengan kapasitas yang diharapkan sebesar 94 persen dari 660 MW.
Konsep yang diusung dalam proyek pembangunan PLTU Paiton Baru ini adalah Bersih, Hijau, Peduli. Hal ini terindikasi dari proyek penghijauan yang dilaksanakan di area PLTU. Dengan konsep ini ke depannya, PLTU Paiton Baru adala sebuah pembangkit ramah lingkungan. Keberhasilan konsep ini akan sangat berpengaruh terhadap persepsi masyarakat yang umumnya memandang bahwa pembangunan PLTU akan sangat merusak lingkungan.
Dengan beroperasinya PLTU Paiton Baru ini maka system kelistrikan di Jawa-Bali diharapkan akan semakin handal sehingga pemadaman bergilir yang masih sering terjadi dapat diminimalisir.