Jumat, 20 Agustus 2010

Koligatif Dunia Pendidikan Indonesia

“Jadikan kampus sebagai ladang pembentukan karakter”, kata Drs. Moh. Hatta dalam pidatonya di Universitas Indonesia. Itulah yang dikatakan oleh “syaikh” pendidikan Indonesia menyoroti masalah pendidikan di Indonesia saat itu. Ya, pendidikan adalah tulang punggung, penopang semua aspek kehidupan dalam masyarakat. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah benar-benar pendidikan, bukan “pendogmaan”. Pendidikan bagi masyarakat kita sering disalahartikan. Sering orang bertanya kepada anak SMA, “Sehabis sekolah mau kemana”. Tentu sebagian besar menjawab mau kuliah. Akan tetapi ketika pertanyaan berubah menjadi, “Buat apa kamu kuliah?”. Saya yakin kalau pasti rata-rata mereka menjawab, “Biar dapat pekerjaan yang baik dengan gaji yang layak sehingga bisa hidup dengan bahagia”. Sedikit sekali yang menjawab untuk mencari ilmu. Dan bahkan ketika anak SMU yang menjawab tujuan kuliah mencari ilmu, mereka tidak dapat mendefinisikan manfaat ilmu tersebut. Itulah dogma pendidikan yang muncul di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan hanya diartikan sebagai tempat training calon pekerja, atau bila saya boleh mengatakan yang agak kasar bahwa pendidikan hanya sebagai “Tempat Mencetak Babu”. Bagaimana tidak dikatakan seperti itu? Setiap kali wisuda, maka apa yang mereka cari? Pekerjaan! Hanya sesempit itukah manfaat pendidikan kita? Kapankah kita semua berfikir bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan itu sudah tertuang dalam UUD 1945, dan bahkan setiap saat di upacara pasti dibacakan. Pernahkah kita semua mencermati apa arti mencerdaskan kehidupan bangsa? Kehidupan bangsa yang cerdas banyak sekali indikatornya yang salah satunya adalah terciptanya sistem yang “good” di negara ini. Memang 17 Agustus 1945 yang lalu Indonesia sudah merdeka. Akan tetapi benarkah kemerdekaan itu sudah ada dalam jiwa Indonesia kalau sampai sekarang sistem yang ada di Negara ini masih “sakit”? Ke manakah ahli pemerintahan, ahli ekonomi, ahli hukum, ahli teknik, ahli kedokteran produk perguruan tinggi Indonesia?
Kampus adalah “iron stock”. Artinya, bahwa kampus adalah tempat penyemai kader-kader intelektual dan pemimpin. Kader-kader intelektual tentu adalah orang-orang yang mempunyai karakter, tahu ancaman dan bahkan yang sedang mencengkeram negeri ini, dan tahu bagaimana menciptakan solusi dari permasalahan yang timbul. Kampus bukanlah tempat untuk mencetak tenaga kerja yang bekerja untuk orang-orang yang ingin merampas kemerdekaan. Kampus bukanlah tempat mencetak orang-orang yang punya semangat mencari “laba” sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi real masyarakatnya. Kampus bukanlah tempat mencetak “antek-antek kapitalis-imperialis”. Karakter tak akan bisa dibentuk hanya dengan kepatuhan tok. Akan tetapi dibentuk dengan memahami kenapa mereka harus patuh atau tidak patuh terhadap sesuatu. IPDN (dulu STPDN) meskipun dikatakan tempat mendidik calon-calon pemimpin masyarakat bisa saya katakan tidak mendidik orang-orang agar berkarakter. Berkarakter kok Mas? OK-lah berkarakter, tetapi karakter pemeras, karakter tukang pukul, atau bahkan karakter pembunuh. Kenapa? Di situ tetap dibiarkan kekerasan berlangsung. Bahkan Si Adik pun tak kuasa untuk melawan pukulan dan tendangan yang dilancarkan Sang Kakak kepadanya. Kepatuhan praja terhadap seniornya hanya berdasarkan “lingkaran setan” yang terus menerus terjadi di hamper semua angkatan. Apakah itu kecelakaan? Jelas tidak. Lha wong sudah berulang kali kejadian kok kecelakaan! Sekali lagi, kampus bukanlah tempat untuk menanam benih-benih loyalitas tanpa dasar tersebut. Seseorang matang dan dewasa dalam kehidupan kampus karena dilatih untuk hidup berorganisasi, keberpihakan kepada yang lemah.
Dengan bangga kampus berucap bahwa telah meluluskan ratusan ribu sarjana, puluhan ribu master, dan ratusan doktor. Tapi mereka semua ke mana? Dari ribuan itu, berapakah yang benar-benar ikut aktif, atau paling tidak partisipasif terhadap kondisi masyarakatnya? Itulah potret pendidikan kampus kita. Kampus bersifat koligatif. Apa artinya? Bersemangat untuk mencetak terus-menerus sarjana atau bahkan doktor akan tetapi tidak benar-benar memperhatikan seperti apakah kualitas sarjana Indonesia, doktor Indonesia. Kualitas di sini tidak bisa diartikan hanya kualitas “pintar” saja akan tetapi kecerdasanlah yang dibutuhkan yaitu tidak tinggal diam terhadap kondisi masyarakatnya, bangsanya. Punya niatan yang kuat untuk memperbaikinya. Kita membutuhkan lulusan-lulusan kampus kita yang seperti itu.
Buat apa kalau perguruan tinggi dinamai dengan Gadjah Mada, Jendral Soedirman, atau Hasanuddin hanya bertujuan untuk menciptakan lulusan yang tidak berkarakter. Tujuan penamaan seperti itu adalah mengenang, menghormati, dan mewarisi karakter kepemimpinan Gadjah Mada, Jendral Soedirman, atau Hasanuddin. Jika kampus hanya bertujuan untuk mencetak kader-kader yang punya karakter kapitalis, maka tidak layak nama itu digunakan.
Sekali lagi, kampus bukanlah tempat mencetak kader-kader yang letoy. Saat ini mungkin masih banyak kebijakan yang tidak mendukung proses bersemainya calon terdidik di negeri ini. Bagaimana jika kondisi ini terus bertahan?

1. Kampus akan jadi tempat pembunuhan kader-kader intelektual dan brilian. Kampus akan diisi oleh robot-robot yang patuh tanpa mengerti arti kepatuhan itu sendiri atau siapa yang dipatuhi.
2. Kampus hanya sebagai alat produksi layaknya pabrik. Dengan tersedianya tenaga cakap tapi dingin maka kampus hanya memberikan alumninya yang memiliki kemampuan melihat masalah social dengan “buku”, bukan dengan belajar.
3. Kampus hanyalah musem tua tempat menyimpan orang-orang pintar yang menjauh dari kepentingan massa.
4. Kampus hanya sebagai tempat persemaian orang-orang tolol yang patuh pada ketentuan pasar.

Tentu tidak bijak jika saya hanya mengkritisi tanpa memberikan solusi. Reformasi sistem pendidikan kampus adalah salah satu caranya. Tentu saja reformasi yang membawa visi besar kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu kesadaran mahasiswa sendiri juga sangat menentukan berhasilnya reformasi sistem pendidikan kampus sendiri. Karena itu untuk para mahasiswa, “Teruslah bergerak. Sadarlah bahwa negara ini, bangsa ini membutuhkan sentuhan tangan kita semua. Sentuhan tangan solutif seperti sentuhan tangan Ibu yang memberikan kesembuhan kepada anaknya yang sedang sakit ”. Sebagai penutup akan saya tuliskan syair Pramodeya Ananta Toer, semoga bisa menjadi refleksi bagi kita semua :

…………Zaman baru, anak tak membutuhkan perlindungan orang tuanya……
…..Zaman revolusi, serba berubah dan bergerak! Dan anakku sendiri turut serta dibawa arus zaman.
Moga-moga saja bisa kembali. Insya Allah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar