Jumat, 20 Agustus 2010

Anak-Anak Yang Melampaui Usianya

Ini cerita yang saya ambil dari Majalah Tarbawi bulan Juli 2010 tentang seorang anak.
Di sebuah ruang sekolah dasar seorang guru berdiri di depan kelas sedang mengajar murid-murid yang masih duduk di kelas tiga. Guru tersebut mencoba menerangkan keistimewaan dan urgensi shalat Shubuh kepada mereka. Dengan bahasa yang tertata dengan baik dan metode penyampaian yang sempurna, sang guru berhasil menanamkan kesadaran ibadah pada diri murid-muridnya. Bahkan ada seorang laki-laki di antara murid-murid itu yang sangat tersentuh setelah mendengar penjelasan indah tentang pentingnya Shalat Shubuh berjama’ah di masjid, sehingga muncul rasa penasaran di hatinya. Terlebih karena anak kecil tersebut memang belum pernah sekalipun melakukan shalat Shubuh selama hidupnya, dan juga tidak melihat keluarganya melakukan itu.
Setelah kembali ke rumahnya, kata-kata gurunya tentang shalat Shubuh terus terngiang di telinganya. Ia kemudian berpikir mencari cara, bagaimana agar bisa bangun pagi untuk melaksanakan Shalat Shubuh. Lama ia berpikir, tapi tak ada solusi yang ia temukan kecuali harus berjaga sepanjang malam. Maka ia pun melakukan itu. Susah payah ia menahan kelopak matanya di malam itu, agar tak terpejam. Tapi dengan usahanya yang sungguh-sungguh akhirnya ia bertemu juga dengan shubuh.
Begitu suara adzan terdengar, segera ia berwudhu dan bersiap menuju masjid. Namun ketika membuka pintu, anak kecil itu terperangah. Kesulitan besar menghadang di depannya. Ia tersadar bahwa masjid ternyata cukup jauh dari rumahnya, sementara di luar sana masih terlihat gelap dan sepi. Ia tak punya keberanian yang cukup untuk menembus kesunyian shubuh yang berselimut kegelapan, dengan usianya yang masih delapan tahun. Akhirnya, ia terduduk di depan pintu dengan rasa kecewa yang dalam, dan dengan suara tangis yang tertahan, karena takut diketahui dan dimarahi orang tuanya.
Dalam balutan sedih dan kecewa, tiba-tiba anak tersebut mendengar suara langkah kaki melintas di jalan depan rumahnya. Buru-buru ia membuka pintu dan berlari pelan mendekati sumber suara. Riang bukan kepalang. Sebab ternyata suara itu adalah langkah kaki dari kakek temannya bernama Ahmad, yang sedang berjalan menuju masjid. Dia pun segera mengikut di belakang kakek itu perlahan dan tanpa suara, agar si kakek tidak mengetahuinya dan mengadukan kepada ayahnya. Hari berikutnya, anak ini selalu melakukan hal yang sama dengan cara yang sama. Setiap pagi ia bangun shubuh, tanpa sepengetahuan seorang pun daru keluarganya, lalu berangkat ke masjid menunaikan Shalat shubuh membuntut si kakek dengan langkah kaki ringan dan pelan agar tidak ketahuan. Akan tetapi kebersamaan abadi adalah hal yang mustahil. Beberapa bulan kemudian si kakek meninggal.
Bocah kecil itupun tahu dan berita kematian si kakek adalah duka yang mendalam baginya. Ia menangis terisak-isak. Sang ayah yang malihat perilaku anaknya merasakan sesuatu yang aneh. Dia lalu bertanya, “Nak, mengapa kamu menangis seperti itu? Kakek si Ahmad kan bukan anak kecil seusiamu yang kamu bisa bermain dengannya. Dia juga bukan kerabat kita, sehingga kamu tidak perlu menangis kehilangan dia”.
Anak itu lalu menatap ayahnya, dengan air mata yang terus mengalir dan wajah yang tampak begitu sedih, seraya berkata, “Andai saja yang mati itu adalah ayah, dan bukan kakek itu”.
Mendengar ucapan anaknya, si ayah seperti tersambar petir. Ia kaget luar biasa. “Kenapa anak sekecil ini bisa berkata-kata seperti itu? Lalu kenapa ia mencintai si kakek sedemikian dalam?” pikirnya dalam hati. Anak itu lalu berkata, “Aku tidak merasa kehilangan karena dia kerabatku, seperti yang ayah katakan.
“Lalu kenapa?” tanya ayahnya penasaran.
“Karena shalat. Karena shalat,”tegas si anak. Dengan suara serak dan berat ia mengajukan tanya, “Kenapa ayah tidak Shalat Shubuh? Kenapa ayah tidak seperti kakek itu dan seperti orang-orang yang aku lihat itu?”
“Di mana kamu melihat mereka?” desak ayahnya. “Di masjid”, jawab anak itu singkat. “Bagaimana caranya kamu bisa melihat mereka?” tanya ayahnya lagi. Si anak pun menceritakan pengalamannya selama ini, yang setiap shubuh selalu membuntuti si kakek. Hampir saja air mata si ayah tumpah mendengarnya. Seketika ia peluk anaknya erat-erat. Cerita anak itu telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi si ayah, dan sejak saat itu, ia tak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu berjama’ah di masjid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar