Jumat, 20 Agustus 2010

Dark Age Pendidikan Indonesia

Pendidikan tak akan lepas dari peran komponen-komponen penting bangsa. Tak hanya sekedar murid-guru. Memang yang terlibat langsung dan kelihatan tanpa adanya hijab yang membatasi adalah peran siswa dan guru secara langsung. Karena pendidikan merupakan sebuah proses yang akan membawa perbaikan bangsa, maka orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung harus menyadari bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan dengan kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Secara otomatis kualitas pendidikan di negeri ini sangat ditentukan oleh kualitas komponen-komponennya baik itu kualitas pemerintah, kualitas tenaga pendidik, dan otomatis kualitas siswa dan masyarakat yang menjadi objek dan subjek pendidikan tersebut. Ketiganya mempunyai keterkaitan yang serial. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan secara langsung akan mempengaruhi peran tenaga pendidik. Begitu pula tenaga pendidik akan mempengaruhi secara langsung dengan yang dididik. Ketiganya terbungkus dalam sebuah sistem pendidikan. Ketika salah satu mengalami disfungsi, maka yang lain pun akan mengalami abnormalisasi sehingga akan merusak sistem itu sendiri. Sistem diciptakan untuk membuat semuanya sinergis. Layaknya bangunan. Sistem itu adalah perencanaan dan perancangan sehingga dengan perencanaan dan perancangan yang matang komponen-komponen dalam bangunan akan saling mendukung satu dengan yang lain.
Satu hal yang menjadi ingatan bagi kita semua, UN (Ujian Nasional) yang tetap menjadi satu-satunya tolok ukur kelulusan agaknya membuat pendidikan yang dilaksanakan di negeri ini hanya berorientasi dengan standar nilai. Apa yang terjadi? Para peserta didik akan lebih tertarik dengan bimbingan belajar ataupun privat yang berorientasi pada tercapainya nilai setinggi-tingginy tanpa memperhatikan aspek lain yang sebenarnya menjadi ukuran keberhasilan pendidikan seperti moralitas. Peran guru akan terdegradasi dari peran aslinya. Yang seharusnya membuat peserta didik menjadi orang-orang yang terdidik, memiliki kepekaan dengan lingkungan masyarakat, memilik sense dengan kondisi bangsa berubah menjadi mesin-mesin pencetak nilai tinggi. Apakah cukup dengan nilai UN yang tinggi jika moral diabaikan? Retoris memang. Drilling merupakan makanan sehari-hari bagi para siswa. Para peserta didik dipacu untuk bisa mencapai nilai minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Aspek-aspek lain agaknya harus dilupakan dulu oleh guru dan siswa. Jika UN lulus, selesai masalah. Begitulah kira-kira yang menjadi anggapan guru, siswa, dan orang tua siswa. Kematian mahasiswa STPDN yang terjadi berulang kali (terakhir kematian Cliff Muntu) harusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Tempat yang digunakan untuk mendidik pamong-pamong yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat, yang bisa menyejukkan kondisi masyarakat menjadi tempat yang merancang sistem sarkasme. Bagaimana mungkin masyarakat akan merasa nyaman jika calon-calon pengayomnya adalah orang-orang yang kasar? Tidak boleh kita lupakan juga kematian siswa sekolah dasar yang dianiaya oleh tiga teman sebayanya. Jelas sekali bahwa moralitas dikesampingkan dalam sistem pendidikan kita.
Lain halnya dengan perguruan tinggi. Semua perguruan tinggi di Indonesia sepertinya juga mengalami distorsi pengertian pendidikan. Pendidikan di perguruan tinggi telah menjadi pabrik yang akan menciptakan tenaga siap kerja, bukan intelektual yang memiliki jiwa kerja. Coba kita bandingkan dengan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menguasai negeri ini. Apa tujuannya? Tujuannya adalah mencetak tenaga kerja murah yang bisa dipekerjakan di pabrik-pabrik kolonial. Jelas sekali keuntungan yang didapatkan. Sumber daya alam dan pengolahnya dari pribumi sedangkan keuntungan terus mengalir ke negeri asal pemerintah kolonial. Samakah dengan kondisi sekarang? Coba kita tilik lagi sistem perguruan tinggi. Kurikulum yang memang harus ditempuh dalam jangka yang lama dipadatkan menjadi satu semester saja sehingga kematangan mahasiswa dalam menerima materi tersebut diragukan. Apakah lulusan perguruan tinggi kita sudah mampu untuk mengelola sumber daya alam yang kaya di negeri ini? Ataukah hanya menjadi tenaga-tenaga yang bekerja di perusahaan asing yang menanamkan modalnya di negeri ini? Itu menjadi pertanyaan sekaligus bahan perenungan bagi kita semua. Belum lagi masalah PT BHMN yang menjadikan perguruan tinggi disaccessible bagi calon mahasiswa dari kalangan bawah. Perintisan perguruan tinggi menjadi PT BHMN disadari atau tidak oleh pemerintah menjadi penggerus keinginan anak bangsa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dan yang menjadi wacana baru adalah sistem BHP yang akan diterapkan di semua lini pendidikan mulai dari sekolah dasar. Baiknya semua komponen dalam sistem pendidikan kita harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan dalam pendidikan kita. Jangan sampai hanya dengan alasan otonomi, masyarakat kelas bawah tidak bisa mengakses pendidikan. Sekali lagi yang harus menjadi motivasi yang mendasari otonomi pendidikan adalah kemandirian dalam pengelolaan sistem internal pendidikan yaitu kurikulum. Otonomi pendidikan adalah kemandirian dalam menentukan kurikulum sehingga sesuai dengan kondisi yang terjadi sekarang sehingga tidak out of date. Bukan diartikan otonomi untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangga pendidikan termasuk dalam hal ini adalah pembiayaan pendidikan. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan 20 persen anggaran pendidikan yang sudah tertuang dalam undang-undang dasar kita yaitu UUD 1945. Bukan menjadi hal yang tabu bahwa pemahaman masyarakat sekarang pendidikan hanya menjadi hak orang-orang kaya saja. Orang miskin harus nrimo dengan keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk mengakses pendidikan.
Apabila sistem ini tidak segera dibenahi, efek jangka panjang tidak akan dapat dihindarkan dan bukan tidak mungkin negeri ini miskin orang terdidik.
Kebijakan-kebijakan di atas secara langsung juga mempengaruhi nurani guru-guru bangsa ini. Nurani pendidik mereka harus berhadapan dengan realita. Jadi tidak dapat dikatakan secara pure bahwa guru saat ini hanya berorientasi dengan materi tanpa memperhatikan moral peserta didik. Ada aspek yang memang mempengaruhi secara langsung terhadap apa yang dilakukan guru yaitu kebijakan pendidikan. Mau tidak mau guru harus sami’na wa ato’na. Apa yang menjadi kebijakan, bagaimanapun bentuk kebijakan itu maka harus ditaati dan dilaksanakan.
Pembenahan terhadap sistem ini menjadi tanggung jawab komponen-komponen yang terdapat dalam sistem pendidikan Indonesia. Tidak hanya pemerintah, masyarakat pun harus secara aktif untuk memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah dalam mewujudkan sistem pendidikan yang terbaik. Kembali kepada tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sebelum dark age terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar