Jumat, 28 Desember 2012

Paksakan Saja Masuk Kondisi Itu


Malam yang terasa lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya.
Jumat malam. Dengan terburu-buru saya lajukan  motor menuju kampus. Tidak seperti biasanya, sore itu lalu lintas kendaraan begitu padat sehingga terasa sedikit kemacetan di sepanjang Jalan Wates menuju Gamping. Mungkin karena memang akhir pekan sekaligus hari kerja terakhir di penghujung tahun 2012, banyak yang memutuskan untuk menikmati liburan akhir tahun di Jogja. Selain itu lalu-lintas terasa semakin semrawut dengan rintik hujan yang seharian mengguyur kota Jogja.   Alhasil, terlambatlah saya mengikuti ujian hari ketiga semester ini. Baju yang basah, perasaan yang grogi bercampur kurangnya persiapan materi membuat saya cukup lama terbengong memandangi lembaran soal di atas meja sambil mencoba mengorek kembali memori yang sempat saya simpan, tetapi nihil hasilnya. Di menit terakhir saya kumpulkan lembar jawaban yang tertoreh beberapa kalimat sambil berharap ada sebentuk upah dari torehan  tadi.
Ya, hanya sekedar berharap ada upah menulis yang saya dapatkan.

Sepulangnya, saya lihat kesemrawutan lalu lintas Jalan Wates sudah mereda meski rintik hujan masih mengguyur.  Akan tetapi ternyata hal itu ternyata belum cukup menghibur karena rasa masih tercampur penyesalan akibat kurangnya persiapan menghadapi ujian tadi.
“Tapi sudahlah, yang penting sekarang cari makanan yang enak dan bersegera merentangkan badan di kasur”, batin saya.
Motor saya lajukan sedikit kencang agar segera sampai di tempat makan favorit saya. Saat itu terbayanglah mie kuah yang panas dan nikmat.
Belum hilang bayangan mie kuah itu, bagian belakang motor mendadak oleng. Alhamdulillah, laju bisa saya kendalikan sampai berhenti. Ternyata ban belakang bocor. Masih belum percaya dengan kondisi itu, saya coba memencetnya dan ternyata memang benar-benar bocor.
“Aduh, mana ada bengkel yang masih buka semalem ini?”, batin saya.
Hampir dipastikan tidak ada bengkel yang masih buka malam itu karena hampir setiap hari saya melewati jalan itu. Perlahan saya tuntun motor di sepanjang Jalan Wates.
Saya lirik jam tangan. Sudah dua puluh menit berlalu tanpa ada tanda-tanda bengkel yang masih buka. Perkiraan saya, mungkin butuh dua jam untuk menuntun motor sampai di kos. Hilanglah harapan mie kuah yang panas dan kasur yang empuk. Harapan satu-satunya adalah bengkel yang masih buka dan mau menambal ban saya.
“Kalaupun harus membayar 200 ribu, akan saya bayar”, geram saya.
Saya rela berkorban 200 ribu untuk upah menambal ban dari yang biasanya hanya 5 ribu.
Sepuluh menit berlalu, dari kejauhan saya lihat ada compressor yang biasanya digunakan di bengkel masih terletak di luar.  Saya tuntun motor dengan sedikit berlari, memastikan bahwa di tempat itu dapat menambal ban.
Setelah sampai di depannya, ternyata hanya toko kelontong yang nyambi jadi tukang tambal ban. Terlihat bapak-bapak setengah baya yang mulai membereskan dagangannya. Sepertinya sudah akan tutup. Buru-buru saya dekati bapak itu.
“Pak, ten mriki saged nambal ban?”, tanya saya, “Bocor pak”, lanjut saya sambil menunjuk ke arah ban belakang.
Sekilas  Bapak itu memandangi saya dan motor saya bergantian sebelum akhirnya menjawab.
“Saged Mas”, jawabnya,”Sekedap nggih mas, kulo mberesi dagangan rumiyin”, lanjutnya.
Memang bukan bengkel, hanya toko kelontong yang nyambi jadi tukang tambal ban. Saya naikkan motor sampai di halaman tokonya sementara Bapak itu mengambil peralatan tambal ban.
Hanya butuh waktu 15  menit untuk menambal ban motor saya.
“Sampun mas”, katanya setelah selesai menambal.
“Matur nuwun sanget Pak”, jawab saya,”Pinten pak?”, lanjut saya menanyakan biaya tambal ban itu.
“Gangsal ewu (lima ribu) Mas”, jawabnya.
Terkejut, ternyata Bapak itu tidak menaikkan biaya tambal ban. Buru-buru saya keluarkan uang 20 ribuan dan saya serahkan ke Bapak itu.
“Susuke (kembaliannya) tinggal mawon pak”, kata saya.
“Wah, matur nuwun sanget Mas”, kata Bapak itu sambil menyunggingkan sebentuk senyum.
Apa yang saya rasakan? Luar biasa puas.
***
Barangkali  itulah definisi kepuasan menurut  saya. Ya, kepuasan adalah selisih antara kemampuan berkorban dengan realitas pengorbanan. Semakin kita memperbesar kemampuan berkorban, kepuasan yang dirasakan akan semakin besar. Saat itu, kondisi lelah, malam hari dan hujan adalah kondisi yang memaksa saya untuk memperbesar kemampuan berkorban karena terbayang satu hasil, yaitu motor saya yang kembali normal.
Pada kondisi-kondisi tertentu kita pasti sering mengalami kejadian serupa. Kondisi yang menantang kita untuk siap mengeluarkan pengorbanan yang lebih besar demi sebuah hasil. Ada kalanya hasil itu kita capai dengan realitas pengorbanan yang lebih kecil dibandingkan kesiapan kita. Akan tetapi, sangat dimungkinan kemampuan berkorban yang sudah kita siapkan ternyata tidak cukup untuk mendapatkan hasil itu.
Apa yang terjadi dalam kondisi biasa? Saya yakin bahwa kemampuan berkorban tidak akan sebesar itu.
Jadi apakah semata-mata karena ada paksaan kemampuan berkorban menjadi lebih besar? Mungkin diri kita sendiri yang harus memaksa kita masuk ke dalam kondisi yang mengharuskan kita belajar dan terus menerus memperbesar kemampuan berkorban. Kondisi aman sering membuat kita malas untuk belajar.

Yogyakarta, 29 Desember 2012

2 komentar: