Minggu, 02 Desember 2012

Endless Loop of Speculation



“Eh, San”, Muncul BBM dari rekan kerja saya,”Define me in one word”, lanjutnya.  Mau nggak mau saya harus berhenti sejenak menikmati kuah  bakso malam ini. Saya membalas BBM-nya asal, “Lucu”. Sejujurnya saya nggak terlalu memikirkan balasan yang baru saja saya kirimkan, justru yang sedang menari di pikiran saya adalah pertanyaannya itu. Apa yang mendasari munculnya survey penilaian spontan tersebut.
“Apa tujuanmu ngumpulin pendapat orang tentang dirimu?”, telisik saya,”Aneh”.
“Gak ada tujuan apa-apa”, jawabnya, “Cuman pengen ngumpulin kata-kata dari banyak orang.
“Trus buat apa?”
“Kagak, iseng aja. Siapa tahu ada yang jelek, ntar dirubah”, lanjutnya.
Entahlah, jawaban itu iseng atau serius. Bisa jadi dia berniat untuk mendapatkan data yang akurat terkait dengan keberadaan dirinya di antara teman-temannya. Tentu saja akan melegakan hati ketika hasil surveynya cenderung mengatakan bahwa teman saya ini baik dan hanya sebagian kecil saja yang menjawab buruk. Tapi bagaimana bila hasil surveynya mengatakan sebaliknya?
Apakah hasil survey yang buruk justru akan membuat sikap teman saya berikutnya menjadi orang yang semakin berhati-hati dengan ucapan dan tindakannya (kalau tidak boleh dibilang terlalu mengungkung dirinya) ataukah tetap bersikap sebagaimana biasanya?
Kemudian saya jadi berfikir, mungkin ada saatnya kita tidak terlalu memikirkan apa yang sudah kita lakukan. Bolehlah kita berkontemplasi dengan yang sudah kita lakukan  dalam rangka evaluasi diri, akan tetapi kadang-kadang kita butuh untuk berfikir dan bertindak cepat pada saat krisis. Pada saat kondisi normal, yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita adalah berfikir secara “formal logic” yang sangat mengandalkan data dan analisis. Prosesnya pun lama. Kalau data belum lengkap, keputusan belum bisa diambil. Namun ketika data yang diperoleh sudah lengkap, ada kecenderungan  untuk menunda dan menghindari risiko karena takut berspekulasi. Memang sudah menjadi kecenderungan kita bahwa untuk mengambil keputusan yang “melegakan” butuh banyak suara yang mengatakan ke kita untuk mengambil keputusan “melegakan” itu. Semakin banyak suara, semakin kolektif, dan semakin “governance” maka keputusan yang diambil akan  semakin terasa “lega” meskipun bisa jadi salah atau sudah kadaluwarsa.
Pola ini yang disebut dengan “Endless Loop of Speculation” (Siklus spekulasi yang tidak berakhir). Dalam siklus yang normal ketika menghadapi sebuah masalah, kita mencoba untuk mengumpulkan data kemudian menganalisis masalah dan kemudian menyimpulkan untuk diambil sebuah keputusan. Nah, kalau dalam “Endless Loop of Speculation” hal itu terjadi secara berulang-ulang. Ketika data yang diperoleh untuk membuat justifikasi belum dirasa belum meyakinkan, maka dilakukan pengambilan data lagi, dianalisis lagi dan seterusnya. Tanpa sadar ternyata masalah sudah bertumpuk dengan masalah yang baru atau masalah yang sebenarnya kian membesar karena keputusan tak kunjung diambil. Seperti yang sudah saya kemukakan di awal, bisa jadi keputusan itu berhasil kita ambil dengan memotong siklus “Endless Loop of Speculation”, tapi ternyata pemotongan siklus tadi terlambat alias keputusan yang diambil sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan yang aktual terjadi.
Tak dapat dipungkiri bahwa kita pun sering mengalami hal serupa. Pada saat kondisi yang kita hadapi “gawat darurat”, ternyata kita sendiri justru belum merasakannya karena kita merasa bahwa data yang kita kumpulkan belum cukup untuk mengambil keputusan.
Ada saatnya kita mencontoh keputusan intuitif yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN, ketika melihat kemacetan di pintu tol yang dikelola oleh BUMN Jasa Marga. Saat itu dengan spontan ia membuka pintu tol dan kemudian mempersilakan kendaraan untuk melaju tanpa harus menunggu antrian yang panjang. Mungkin memang bukan porsi seorang menteri untuk melakukan hal seperti itu, akan tetapi perlu kita catat bahwa hal ini memberikan “shock therapy” untuk pengelolaan Jalan Tol agar menjadi lebih baik.  Contoh lain adalah keputusan Jokowi untuk memberikan Kartu Pintar dan Kartu Sehat untuk warga Jakarta. Hal ini pun juga sangat disukai oleh publik karena saat ini Indonesia masih jarang pemimpin dengan style “Down to Earth”.
Kondisi krisis yang membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat adalah saat yang tepat untuk percaya dengan keputusan intuitif. Intuisi menjadi sangat penting ketika orang lain masih sibuk untuk mengumpulkan data dan memilih tindakan-tindakan yang tidak  beresiko. Padahal saat krisis itulah justru peluang-peluang itu sering muncul dan kadang tidak begitu dikenal.
Terakhir, apakah setiap saat kita harus menjadi “risk taker” dengan selalu mengambil risiko dari setiap keputusan yang kita ambil?
Tentu saja data dan analisis itu sangat dibutuhkan, akan tetapi ada saatnya kita harus percaya diri untuk memotong siklus “Endless Loop of Speculation”.
Yogyakarta, 2 Desember 2012
~Thanks to Ainul Fitri atas inspirasinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar