Jumat, 30 November 2012

Succesful Worry



Suatu saat teman saya bercerita bahwa dia baru saja diberikan kepercayaan baru oleh atasannya di kantor untuk menjadi leader dalam sebuah project yang bernilai cukup besar. Ada rasa kekhawatiran yang saya tangkap dari mimik wajah teman saya itu. Berulang kali dia bilang, “Sepertinya saya nggak bisa. Berat sekali tugasnya”. Saya membayangkan betapa hebatnya dia, pemuda yang usianya masih sepantaran dengan saya sudah diberikan tugas untuk memimpin project di salah satu BUMN besar di Indonesia. Saat itu, perusahaannya menang tender di BUMN tersebut.
“Taruhannya masa depan San”, lanjutnya lagi, “ Kalau saya gagal, mendingan resign deh
daripada harus diganti karena project gak selesai”. Saya tahu bahwa dia  sudah tertanam mental juara sejak  kecil. Di sekolah, dia tidak akan lepas dari rangking pertama. Di bangku kuliah, dia lulus kuliah tepat waktu dengan IPK Cumlaude. Jadi setidaknya saya faham dengan sikap perfectionist teman saya ini. Dan sedikit banyak saya tahu bahwa kegagalan sebuah perusahaan dalam menjalankan sebuah project, apalagi di BUMN besar, akan berdampak pada kepercayaan klien. Setidaknya, rekanan BUMN akan mendapatkan denda ketika project tidak dapat diselesaikan tepat waktu dan yang paling parah adalah black list sehingga perusahaan tidak dapat mengikuti tender dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja perusahaan teman saya ini tidak akan mengambil risiko tersebut. Jadi memang tak dapat dipungkiri kekhawatirannya itu.
Setelah saya telisik, ternyata sebelum dia terpilih menjadi leader di project besar tersebut, dia sudah pernah sukses menjadi leader di project sebelumnya yang nilainya lebih kecil.
“Awalnya saya khawatir, kalau saya bisa menyelesaikan tugas ini (di project yang kecil-pen), jangan-jangan saya dikasih tugas yang lebih besar”, katanya, “Bos saya itu orangnya nggak mau tahu, padahal ngerjainnya sambil ngos-ngosan. Dikiranya ntar mampu nanganin semuanya”, lanjutnya.  Dan terjadilah. Atasan teman saya ini menilai bahwa project kecil ini berjalan sukses sehingga berujung pada pengangkatan teman saya menjadi leader untuk project besar yang dia khawatirkan.
Saya kemudian berfikir. Ternyata tidak selamanya seseorang itu takut dengan kegagalan. Ada kalanya seseorang takut dengan keberhasilan yang dia capai akan berdampak pada tuntutan yang lebih besar pada dirinya. Klop dengan yang dikemukakan oleh Anna Rowley (2007), seorang corporate therapist yang pernah bekerja untuk Microsoft. Dia memperkenalkan yang disebut dengan jerat keyakinan (Confidence Trap). Ada enam bentuk kekhawatiran itu yang dua di antaranya adalah Khawatir Gagal dan Khawatir Berhasil. Kalau khawatir gagal sangat sering kita temui bahkan kita rasakan. Karena khawatir akan gagal, kita takut untuk mencoba. Padahal kalau dicoba, belum tentu juga akan gagal. Anna mengungkapkan bahwa orang-orang yang mempunyai cara berfikir ini biasanya mewarisi rekaman sejarah masa kecil yang pernah ditekan orang tua agar menjadi anak pintar dan setiap kali gagal ia selalu dihukum. Sementara ketika sukses, orang tua bersikap diam saja. Saya yakin, bahwa di antara kita pasti mengalami ketakutan ini. Kita merasa rendah diri karena menurut kita orang-orang di sekitar kita hebat-hebat, tapi kita tidak sehebat mereka. Jadi supaya kita tidak menerima hukuman, kita memilih menghindar. Ini seperti kekhawatiran teman saya ketika diberikan tugas menjadi leader pada project besar di BUMN.
Yang kedua adalah  Khawatir Sukses. Nah, kalau yang ini seperti yang dialami teman saya ketika menjadi leader di project kecil. Dia khawatir kalau sukses akan diberikan tugas yang lebih besar lagi. Padahal dia menyelesaikan projectnya dengan usaha yang tidak mudah. Untuk kekhawatiran ini kadangkala kita juga memilih diam supaya tidak dituntut lebih. Sepertinya kita khawatir bahwa sukses sekarang tidak akan bisa diulangi lagi. Beruntung teman saya ini sukses di project kecil sebelumnya sehingga tinggal membuang rasa Khawatir Gagal untuk mengulang sukses sebelumnya.
Apakah dengan membuang rasa Khawatir Gagal ini otomatis yang kita jalankan akan berhasil? Ya belum tentu juga. Tapi yang lebih penting, kata Sandiaga S Uno, “Kegagalan adalah akhir dari sebuah chapter dalam kehidupan kita. Tinggal kita mau melanjutkan ke chapter baru atau memilih untuk menutup buku”.

Yogyakarta, 30 November 2012

1 komentar:

  1. so... konklusinya bgamana?... apakah akhirnya diambil atau tidak oleh ybs?...

    hm, selain mpteimbangkn pengalaman keberhasilan project masa lalu dan keyakinan bhwa bisa mengambil pilihan itu.. ptimbangan apa lagi yg dia pikirkan? atau sepintas dipikirianmu?

    wew.. bnr2 mnemui realita di usia sgini... ini pas banget dengan pertanyaan bbrp hari lalu.. saat itu muncul pertanyaan, bgmana kalo stlh lulus Sp.KMB, kamu ditawari jadi direktur sebuah rumah sakit baru skala internasional? bukan tidak mungkin ini tdk terjadi dalam hidupmuu...

    BalasHapus