Sabtu, 04 Juni 2011

Berusaha Menikmati Proses

Kalau kata sahabat saya, salah satu cara untuk mensyukuri setiap hal yang terjadi adalah menikmati proses yang sudah terjadi dan sedang terjadi. Atau kata sahabat yang lain, kalau tidak bisa menikmati proses yang sedang terjadi, maka cukuplah menikmati pengiring proses tersebut. Bisa jadi Allah memang sedang menampilkan bahwa seharusnya yang harus dinikmati adalah pengiringnya, yang memaksa kita untuk tersenyum dan mengatakan, “Ternyata dibalik kejadian ini, Allah sangat penyayang ya?”
Seingat saya Ahad tiga pekan yang lalu.
“Permisi, permisi, permisi”, saya susuri tengah-tengah gerbong kereta Senja Utama yang memang sudah penuh sesak.
Celingak-celinguk saya mencoba mencari tempat kosong di gerbong tersebut. Maklum, tiket pun saya dapatkan tanpa tempat duduk.

Ya. Akhirnya saya temukan satu celah yang cukup luas untuk duduk. Di samping seorang Bapak yang saya kira masih cukup muda, mungkin baru sekitar 40-an usianya. Dia menggelarkan tikar kecil yang mungkin dibelinya di stasiun Tugu tadi.
“Pak”, saya mencoba menyapa Bapak itu, “Saya duduk sini nggih Pak”, lanjut saya mencoba tersenyum ramah.
“Oh, mari-mari Dik”, sahutnya dengan senyum ramahnya,”Monggo-monggo”, lanjutnya sambil membenahi tiker yang tadi sengaja dilipat untuk memberikan jalan penumpang yang akan lewat.
Saya memang nggak terbiasa memulai sebuah pembicaraan. Setelah beberapa saat saya menikmati diam, Bapak itu mencoba membuka pembicaraan, “Turun di Jatinegara atau Senen Dik?”, tanyanya.
“Senen Pak”, saya menyahut. Saya perhatikan potongan rambutnya yang cepak rapi. Saya menebak, mungkin dia anggota militer, “Lha Bapak turun di mana Pak?”, lanjut saya mencoba menyambung pembicaraan.
“Jatinegara”, jawabnya singkat.
“Kuliah atau kerja Dik?”, tanya Bapak itu.
Saya sedikit tertawa. Mungkin Bapak ini orang kesekian yang menganggap saya masih kuliah. Saya perhatikan Bapak itu mulai menata bantal dan memakai penutup kepala yang mirip seperti “kupluk”.
“Kerja Pak”, sahut saya singkat, “Bapak sepertinya sudah sering ya bolak-balik Jakarta-Jogja?”, lanjut saya.
“Seminggu sekali saya pulang ke Jogja. Wong anak dan istri juga di Jogja kok Dik”, sahutnya dengan senyuman, “Adiknya di Jakarta mana?”
“Saya di Jaksel Pak, ya sekitar terminal Blok M lah”, sahut saya, “Lha Bapak di mana?”
“Halim”, sahutnya.
“Oh, tentara ya Pak?”, tanya saya mencoba menebak profesi Bapak ini.
“Insya Allah”,senyumnya mengembang kembali menjawab pertanyaan saya.
Ternyata pertanyaan saya tersebut memancing Bapak tersebut untuk bercerita lebih banyak dengan saya. Dia menceritakan bahwa dulunya seorang aktivis mahasiswa dan memilih untuk meniti karir di dunia militer dengan mengikuti program perwira karir. Istrinya pun seorang wanita angkatan udara juga yang meniti karir di militer sebagai perwira paramedis di Adisucipto.
“Putranya sudah berapa Pak?”, saya mencoba menanyakan kondisi putra-putri Bapak ini.
“Oh, anak saya dua Dik”, sahutnya,”Yang pertama ini baru mau lulus SMP, yang kedua masih SD”, lanjutnya.
“Yang pertama ini kemarin sudah nyari tempat buat melanjutkan. Kemarin sudah mensurvei beberapa pondokan. Di Assalam Solo, di Gontor, dan di kota Jogja. Kayaknya anak saya milih di Gontor”, ceritanya, “Saya pengen anak saya ini tumbuh dalam lingkungan yang baik Dik”, lanjutnya.
“Paling tidak saya memberikan pandangan kepada anak saya beberapa tempat yang baik buat pendidikan akhlaknya. Tapi ya nanti terserah anaknya maunya di mana”
“Laki-laki atau perempuan Pak?”, tanya saya.
“Perempuan”, singkatnya.
“Mungkin banyak yang menganggap bahwa kalangan militer itu agak kurang religius”, katanya sambil membetulkan tempat duduknya yang memang cukup sempit di gerbong itu,”Mungkin ada benarnya Dik. Tapi saya mencoba menciptakan lingkungan yang berbeda di keluarga saya. Ya, semampu saya Dik”, lanjutnya.
“Saya usahakan anak-anak saya untuk terbiasa memakai jilbab. Istri saya pun juga. Meskipun kalau di kantor agak susah, tapi kalau di rumah saya ajak untuk memakai jilbab”, terlihat semangat Bapak itu menceritakan kehidupan keluarganya kepada saya.
“Kalau sekarang mungkin agak jarang ya Pak yang mantan aktivis mahasiswa di kampus tapi mau masuk ke dunia militer seperti Bapak”, sahut saya,”Dan bisa sehebat ini mendidik putra-putrinya”, lanjut saya.
Bapak itu tertawa kecil.
“Saya nggak pernah menganggap jalan yang saya lalui dulu dan sekarang itu salah Dik”, kata Bapak tersebut, “Justru saya mensyukuri, kalau nggak kuliah, belum tentu juga saya masuk militer”, lanjutnya.
“Dan..”
Obrolan kami terhenti sejenak karena ada petugas kereta api yang menawarkan bantal. Spontan Bapak itu memberikan bantal yang dipakai kepada saya dan mengeluarkan bantal karet dari sakunya kemudian meniupnya.
“Nih buat Adik”, sambil menyerahkan bantal warna hijau kepada saya,”Tapi bayar sendiri lho”, lanjutnya sambil tertawa.
“Matur nuwun Pak”, ucap saya sambil menata posisi bantal sehingga enak buat tidur.
“Yang penting menikmati proses yang dilalui”, Bapak itu melanjutkan cerita sambil berbaring dan meletakkan kepalanya di bantal karet yang baru saja mengembang.
“Dulu saya mahasiswa, sekarang tentara, dulu anak buah, sekarang komandan, dulu bujangan sekarang menikah. Itu semua proses yang sudah selayaknya kita lalui. Dan di setiap proses ada pematangan sehingga kita layak untuk melanjutkan proses berikutnya”, katanya sambil tersenyum.
“Dan kalau sudah mengusahakan sesuatu, biarkan sesuatu itu berjalan semampu yang kita usahakan dan tentu saja ada campur tangan yang di atas”, lanjutnya,”Termasuk saya mengusahakan masa depan anak-anak saya. Yang penting saya sudah mengusahakan semampu saya, kita tinggal menunggu hasilnya dengan menikmati proses di dalamnya”.
“Betul Pak”, saya memang hanya bisa mengangguk-angguk dan mencoba meresapi apa yang dikatakan dari Bapak yang baru saya kenal itu.
Ya. Menikmati proses sebagai salah satu cara mensyukuri nikmat.
Kulon Progo, 4 Juni 2011

1 komentar:

  1. Proses itu menguatkan, insyaAllah. Akan dan memang banyak sekali pelajaran selama proses itu berlangsung :)

    BalasHapus