Sabtu, 28 Mei 2011

Saya Hanya Iri


“Hayo…”, canda saya ketika masuk ke kamarnya,”Kado buat siapa nih. Cantik bener kadonya”, saya amati kotak kecil yang dibungkus dengan warna yang cantik.
“Siapa aja boleh”, sahutnya sambil tertawa.
“Aha, pasti buat ceweknya nih”, telisik saya.
“Yang jelas buat the special one”, sahutnya tertawa sambil memutar-mutar kadonya, memastikan bahwa semuanya telah terbungkus dengan rapi.
“Mau dikasih langsung atau via pos Mas?”,  saya lihat kembali kado biru muda yang masih diputar dengan senyum terkembangnya.
“Pake pos lah”, sahutnya,”Kan jauh”, lanjutnya.
Awalnya saya mengamati dia seperti pemuda kebanyakan. Yang tidak memperhatikan penampilan. Yang cuek dengan kotornya kamar. Yang salah tingkah kalau ada cewek yang mendekati. Yang suka nggombal di belakang cewek yang disukainya tanpa berani bicara langsung.
Ya, memang biasa dan seperti  pemuda kebanyakan.
Hanya satu yang membuat saya menjadi ingin semakin tahu karakternya.
--Tahun lalu seingat saya--
“Mas, Wicak sakit tuh”, teriak saya sambil melongok ke kamarnya sepulang kerja.
“Eh,kenapa?”, sahutnya sambil membetulkan kacamata minusnya.
“Nggak tahu Mas. Kayaknya dari sebelum olahraga tadi udah pucat”, sahut saya, “Nah, habis olahraga tuh mandi. Jadi kemungkinan masuk angin”, lanjut saya.
“Ke sana yuk”, jawabnya pelan.
“Besok aja gimana mas?”, tawar saya.
“Sekarang kan udah malam. Kasihan Mas, dia mau istirahat”, lanjut saya.
Padahal saya hanya malas. Di luar sana hujan cukup lebat setelah gerimis panjang yang membuat saya harus berlari-lari menyusuri lorong yang menghubungkan jalan dengan kos-kosan.
“Kita pastikan dulu kondisinya”, sahutnya mengambil handuk yang tergantung di jemuran aluminium depan kamarnya.
“Oke bos!”, lanjutnya menjentikkan jari tengah dan jempolnya meminta persetujuanku.
“Yo wis lah”, jawab saya,”Tapi tak mandi dulu Mas”, lanjut saya masih dengan dongkol dan sedikit menyesal kenapa saya kasih tahunya sekarang. Mau nggak ikut jenguk juga malu. Masak dengan temen sendiri nggak jenguk.
Setelah mandi, bersih-bersih dan tak lupa merendam pakaian basah yang barusan saya pakai berlari-lari saya ketuk kamarnya.
“Hoiii, wis siap rung Mas?”, teriak saya di depan kamarnya.
“Oke, sik yo bentar”, sahutnya sambil membukakan pintu kamarnya.
Saya lihat dia menyiapkan setangkup roti tawar ber-missis plus segelas susu yang dituangkan ke dalam Tupperware nya.
“Buat wicak Mas?”, selidik saya sambil duduk di atas kasurnya.
“Ya iyalah”, sahutnya sambil mengepak bungkusannya ke dalam tas plastik rapat, “Siapa tahu dia nggak sempat beli makan malam. Apalagi hujan kayak gini”, lanjutnya.
Saya tertegun dengan kata-kata yang diucapkannya barusan. Sedangkan saya sendiri hanya dengan bertangan kosong. Fisik pun saya bawa dengan terpaksa dan dongkol.
“Yuk, cabut”, katanya sambil mengambil payung yang diletakkan di pojok kamarnya.
“Oke-oke”, sahut saya terkaget dari lamunan saya barusan.
Perasaan masih di antara dongkol dan iri. Dongkol karena mesti hujan-hujanan lagi. Iri karena dia membawa sesuatu sedangkan saya nggak.
Di kendaraan umum saya coba menelisik kembali.
“Mas, kenapa tho musti nengok sekarang?”, telisik saya,”Kan bisa besok. Wong sekarang hujan gini Mas, nanti malah mengganggu istirahatnya”, lanjut saya.
Dia tersenyum.
“Kamu udah pastikan belum kondisinya seperti apa?”, balik bertanya kepada saya.
“Paling cuman masuk angin Mas”, singkat saya.
“Berarti belum tahu pastinya kan?”, katanya sambil tertawa.
“Sebenarnya nggak apa-apa sih kita nengok besok”, katanya sesekali melihat hujan yang turun semakin pelan yang dapat dilihat karena timpaan lampu penerangan jalan,”Tapi..”
“Saya hanya iri kalau orang lain datang dan lebih tahu duluan kondisi Wicak dibanding saya”, lanjutnya.

Kembali saya tertegun dengan kata-kata yang barusan diucapkan. Singkat.
Hanya karena alasan iri jika orang lain lebih dulu tahu kondisi sahabatnya. Saya tidak habis pikir. Seumur hidup, saya tidak pernah punya alasan semacam itu. Justru ketika rekan kerja, teman bermain, atau orang terdekat saya sakit, saya berharap orang lain lebih tahu lebih dulu dan saya tinggal menengoknya saja. Logika saya mengatakan, orang yang lebih dulu tahu berarti sudah membantu sehingga saya tinggal menutupi kekurangannya.
Berbeda  seratus delapan puluh derajat dengan logika pemuda yang baru saya kenal ini.
Dia memang seperti pemuda kebanyakan. Yang tidak memperhatikan penampilan. Yang cuek dengan kotornya kamar. Yang salah tingkah kalau ada cewek yang mendekati. Yang suka nggombal di belakang cewek yang disukainya tanpa berani bicara langsung.
Ya, memang biasa dan seperti  pemuda kebanyakan.
Hanya satu yang membuat saya tertegun. Perkataannya,” Saya hanya iri kalau orang lain datang dan lebih tahu lebih dulu kondisi sudaraku dibandingkan saya”.

Wates, 28 Mei 2011

1 komentar: