Senin, 27 Juni 2011

Air itu Kakaknya


Malam itu saya  pasang alarm di handphone lebih awal. Ya. Jam tiga dini hari saya harus bangun. Ada sedikit kepentingan kantor yang musti saya hadiri jam delapan pagi. Saya perkirakan perjalanan ke Indramayu akan menghabiskan waktu tiga jam, sedangkan menurut info yang saya dapatkan, bus pertama kali ke Indramayu jam setengah lima pagi.  Berarti saya harus berangkat dari kos paling lambat jam empat, itupun kalau dapat kendaraan langsung ke Lebak Bulus. Artinya ada sekitar waktu satu jam untuk beres-beres. Cukuplah.

Jam 03.50 WIB
Alhamdulillah,  bisa keluar dari kos sepagi ini meskipun tadi sedikit ribut karena baru sadar baju yang akan saya pakai  masih tergantung di jemuran. Baru semalam saya jemur. Terpaksa harus disetrika berulang kali agar cukup kering. Dingin. Jakarta masih lumayan dingin. Sebenarnya saya juga bingung mau naik kendaraan apa menuju terminal Lebak Bulus sepagi itu. Yang paling memungkinkan adalah taksi.
Begitu keluar gang sayup terdengar suara Bajaj yang mendekati dan berhenti tepat di depan saya.
“Ke mana Dik?”, tanya sopir Bajaj itu.
Sekilas saya amati usianya mungkin hampir sama dengan Bapak saya sebelum beliau meninggal. Saya taksir enam puluhan.
“Lebak Bulus Pak”, ujar saya masih celingukan berharap ada taksi yang lewat, “Berapa?”
“Biasanya Dua Lima”, sahutnya di tengah riuh suara Bajaj-nya.
“Iya Pak”, buru-buru saya naik dan melepas nafas panjang sejenak.
“Alhamdulillah, semoga tidak ketinggalan bis pertama”.
Selayang saya perhatikan lampu-lampu penghias wajah Jakarta di pagi hari.
Sesaat kami saling diam.
“Mau ke Jawa yang Dik?”, sapa Bapak sopir Bajaj itu dengan suara yang ternada halus. “Ramah”, batin saya.
“Kok sepagi ini sudah berangkat”, lanjutnya datar. Tangan tuanya  lincah meraungkan Bajaj-nya.
“Ndak Pak”
“Mau ke Indramayu”, sahut saya, “Kebetulan ada tugas di sana pagi nanti ”.
Sesaat kami terdiam kembali. Saya termasuk pasif jika bertemu dengan orang yang baru saya kenal.
“Anak saya yang ketiga mungkin seumuran Adik”, ujarnya memulai pembicaraan kembali, “Baru selesai, apa namanya? Coass di Kedokteran UI”
Hebat. Seorang sopir Bajaj yang berhasil menguliahkan anaknya sampai lulus menjadi seorang dokter. Tak sembarangan pula, di Universitas Indonesia.
“Alhamdulillah Dik, anak-anak saya pada cari biaya sendiri untuk sekolahnya”, sesekali Bapak itu melirik spion Bajaj-nya, “Dapat beasiswa. Jadi orang tua nggak terbebani Dik”, lanjutnya.
Saya sangat yakin, selain anaknya yang memang cerdas, orang tuanya pasti bekerja keras, mengikhtiarkan raga untuk mewujudkan impian.
“Memang putra Bapak berapa?”, telisik saya mencoba ingin tahu lebih banyak.
“Ada empat Dik”, sahutnya, “Yang keempat baru mau masuk semester lima di Teknik Elektro UI. Yang kedua sudah berkeluarga di Jakarta, jadi PNS di pajak. Dulu kuliahnya di Bintaro. Apa itu?”, sambil mencoba mengingat sesuatu.
“STAN”, lanjutnya.
“Masya Allah, salut saya dengan Bapak. Bahagia rasanya ya Pak menjadi Bapak dari putra-putri yang semuanya sukses”, spontan saya lontarkan decak kagum dengan Bapak ini.
Bajaj terus melaju menderukan mesinnya. Bapak itu membelokkan Bajaj-nya ke kanan dari Jalan Fatmawati menuju Pondok Indah. Sementara kami terdiam sejenak menikmati jalan yang cukup menikung.
“Oya, putra yang pertama Pak?”, sambung saya. Sepagi itu sudah cukup banyak lalu lalang kendaraan menuju ke arah Terminal Lebak Bulus.
Bapak itu masih terdiam sejenak, menderukan mesin Bajaj-nya, dan sesekali melihat spion.
“Anak saya yang pertama sudah meninggal Dik. Sebelum anak saya yang kedua menikah. Dulu bekerja seperti saya”, sahutnya pelan, “Narik Bajaj”.
Saya jadi merasa bersalah dengan pertanyaan saya baru saja. Mungkin Bapak ini sengaja diam tidak ingin menceritakan putranya yang pertama. Sengaja tidak menceritakan karena memang sudah diambil sebenar-benarnya pemilik dan memang secara prestasi tidak seperti adik-adiknya. Saya pun terdiam. Tidak berani menanyakan lebih lanjut kepada Bapak ini.
“Tapi saya sangat bangga dengan anak saya yang pertama ini Dik”, lanjutnya.
“Meskipun dia hanya narik Bajaj seperti saya, anak saya ini tidak pernah mengeluh, apalagi iri dengan adik-adiknya yang bisa kuliah. Justru sangat bersemangat dan bangga dengan adik-adiknya yang berhasil”.
“Yang membantu membiayai sekolah adik-adiknya ini ya dia Dik, anak saya yang pertama itu”, sahut Bapak itu dengan suara yang mulai serak.
“Tapi Allah sepertinya lebih mencintainya sehingga dipanggil lebih dulu”, lanjutnya.
Hening.
Sesaat lamanya kami terdiam.
Sampai akhirnya tiba di Terminal Lebak Bulus. Saya melihat jam di HP saya. Jam 04.20 pagi.
Bisa jadi nikmat itu bukan karena kita mendapatkan sebuah prestasi. Menjadi dokter, menjadi insinyur, bekerja di tempat yang mapan memang sebuah kebanggan tersendiri bagi si pemilik. Akan tetapi bekerja dengan tulus untuk kemanfaatan yang lain menimbulkan kenikmatan yang lebih dalam. Seperti tulus dan bangganya seorang kakak kepada adik-adiknya.
Kalau saya boleh mengandaikan, menjadi dokter atau insinyur adalah pucuk-pucuk menjulang ataupun buah bergerombol dari sebuah pohon, menarik setiap yang lewat untuk berteduh di bawah rimbunnya dan menikmati lembut dan segar buahnya. Berbeda dengan yang dirasakan si pemilik yang setiap hari melihat, memberikan air dan merawatnya. Bisa jadi  kenikmatan yang dirasakan jauh lebih besar.

Nikmat itu terasa
Ketika terlihat rimbunnya pohon yang menjulang
Dan buah bergerombol  tertampil indah
Lalu bagaimana dengan air di tiap bagiannya?
Yang membentuk julang itu
Nikmat memang berteduh di rimbunnya
Dan lebih terasa ketika menikmati buahnya
Tapi lebih nikmat menjadi airnya
Meski tersembunyi

Jakarta, 28 Juni 2011

4 komentar:

  1. Keren bang basri...terus berkarya

    BalasHapus
  2. Subhanallah...!excited! ^_^. inspire.tq njih

    BalasHapus
  3. subhanallah....air itu sangat pekat konsentrasinya..sehingga takan pernah habis tuk diencerkan...

    BalasHapus
  4. kakak??
    kadang aku dibutakan ketika sedang bertengkar,, yang keluar dari mulut hanya menjelek2annya. Tanpa sadar bahwa dia lah yang sudah banyak berjasa dikehidupanku..
    Ingin mengucapkan kata "maaf" dan berucap "terima kasih" begitu sulit..
    yang keluar hanya air mata..

    hhmmmppphhh...
    Ya Allah, ingatkanlah aku ketika aku khilaf akan hal itu..
    amin..

    nice post mas.. :)

    BalasHapus