Senin, 13 Juni 2011

Etoser, Senantiasa Menjadi Cermin

Saya tidak habis berfikir kenapa anak ini diterima di Etos. Jangan-jangan hanya karena satu daerah dengan sebagian besar panitia seleksinya atau pernah menyandang almamater yang sama kemudian anak ini diloloskan. Sejak awal dia masuk ke asrama ini, saya sama sekali tidak bersimpati. Yang saya lihat darinya hanyalah wajah yang membuat saya kesal, jalan pikiran yang senantiasa berseberangan, penampilan yang kotor, semaunya sendiri dengan kehidupannya.
Sekali lagi menurut saya, “Ah, dia sama sekali nggak memiliki prospek”
Sempat juga saya berfikir, “Kenapa Etos inputnya seperti ini?”

Dia pintar? Sama sekali belum teruji. Teruji dari mana wong nilai SMA nya juga biasa-biasa. Mungkin hanya beruntung saja dia bisa diterima di UGM.
Dia sholeh? Apalagi. Dari pakaiannya jelas tidak mencerminkan kesholehan itu. Apalagi ketika pertama berpagi di asrama kutemukan dia berdiri di dekat jendela dan meneriakkan puisi-puisinya yang sama sekali tidak menyentuh.
“Ah”, pikir saya, “Anak ini mulai bikin kekacauan di asrama. Mana tetangganya dekat-dekat lagi. Dikira asrama orang gila nanti”.
Apalagi ketika forum pagi. “Payah, payah ini”, pikir saya, “Kenapa orang yang tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar ini bisa masuk Etos?”
Ataukah dia dulu terlalu sibuk dengan organisasinya ketika SMA?
Duh, saya rasa juga tidak. Diminta ngisi tausyiah di forum pagi saja nggak lancar, sambil ketawa-ketiwi dan tambah parah ketika sudah bicara. Mana tausyiahnya? Bisa jadi forumnya malah jadi forum dagelan. Baru tiga patah kata keluar dari mulutnya, sudah membuat kacau forum pagi yang harusnya jadi forum saling mengingatkan, saling memberi nasihat.
“Anang mana?”, teriak saya sambil memperhatikan wajah-wajah mereka satu persatu. Ada wajah ngantuk, ada wajah marah, ada wajah tidak peduli.
“Ah, kalian sama saja dengan yang saya cari”, batin saya.
“Masih tidur Mas”, jawab salah satu dari mereka.
“Mana tanggung jawab kalian? Siapa yang piket pagi ini? Masih ingatkan kalau yang piket harus membangunkan yang lain untuk sholat shubuh. Masak ada yang masih ‘molor’ sepagi ini?”, cecar saya sambil memandangi wajah mereka satu persatu.
“Ayo, yang piket bertanggung jawab untuk membangunkan”, perintah saya, “Pokoknya sampai bangun dan fisiknya ada di ruang tamu ini”.
Entahlah, sepagi itu perintah yang keluar dari mulut saya serasa terliput emosi kemarahan. Atau karena memang beban skripsi saya yang terlalu sulit, ataukah memang anak-anak itu yang bersalah. Astaghfirullah, bahkan saat itu ingin beristighfar pun tak mampu terucap. Sepertinya kesombongan yang membuat saya malu untuk mengucapkan kalimat itu. Sombong karena sebagai pendamping saya musti berpenampilan prima dan ‘paling sholeh’ di antara mereka. Sombong karena sebagai pendamping saya musti berbuat tanpa cela di depan mereka. Sombong karena sebagai pendamping saya musti berkata selalu benar dan menjaga image sehingga aib-aib saya tidak terlihat mereka. Bahkan mungkin saat itu bohong untuk menutupi ketidakmampuan saya seringkali saya lakukan.
“Mas Hasan nggak ada aktivitas? Kok sepertinya di asrama terus sejak tadi pagi”, tanya salah satu dari mereka suatu saat.
“Oh, nggak. Ada beberapa pekerjaan yang musti saya selesaikan hari ini. Jadi saya mengkhususkan hari ini di asrama”, sahut saya masih menatap monitor laptop saya, “Dikejar deadline ini sama pusat”
Pada saat yang lain mungkin memang saya sering dikejar deadline laporan-laporan yang musti saya kirim ke pusat. Tapi pada saat itu sebenarnya saya memang tidak memiliki aktivitas, tidak memiliki agenda yang musti saya selesaikan, dan saat itu memang sedang bingung dengan skripsi saya yang progressnya kurang menggembirakan. Tapi saya merasa malu untuk mengatakan sebenarnya. Malu kalau saya terlihat menganggur, malu kalau saya tidak punya aktivitas. Padahal bisa jadi ketika saya jawab sebenarnya mereka tidak berfikir yang sama dengan ketakutan saya tersebut.
Sampai pada suatu malam saya berusaha mengubah persepsi saya terhadap anak itu.
“Yang belum pulang siapa?”, tanya saya pada mereka sambil melirik jam yang sudah hampir menunjukkan pukul 11 malam. Saya yang bisa jadi secara sepihak membuat aturan di asrama bahwa jam malam asrama maksimal adalah jam 11 malam. Jadi yang pulang di atas jam itu sama sekali tidak akan saya bukakan meskipun saya masih mendengar mereka mengetuk pintu.
“Anang Mas”, sahut salah satu dari mereka.
“Kemana?”, tanya saya selanjutnya, “Ada yang tahu nggak? Ini sudah hampir jam 11 malam”
“Wah, nggak tahu mas”, sahut yang lain.
“Ya sudah. Karena sudah jam 11, sesuai kesepakatan, pintu musti dikunci”, kata saya sambil beranjak dari tempat duduk.
“Jun”, panggil saya kepada salah satu di antara mereka, “Tolong pintu tengah dikunci ya? Saya mau mengunci pintu depan”
“Pokoknya nggak ada yang boleh membukakan pintu”, perintah saya kepada mereka semua.
Tidak ada jawaban. Saya hanya melihat mereka yang satu persatu meninggalkan ruang tamu, masuk ke kamar masing-masing.
Saat itu seingat saya masih pukul 11 lebih lima menit. Otomatis saya belum tidur dan saya yakin mereka juga pada belum tidur.
Terdengar pintu depan diketuk.
“Mas”, saya dengar ada yang memanggil dari arah pintu depan.
“Mas, ini Anang Mas, tolong dibuka ya Mas?”, saya tidak bergeming dari tempat tidur saya.
“Biarkan. Biar menerima akibatnya”, pikir saya saat itu.
Dan sudah tidak terdengar kembali suara ketukan pintu. Saya berfikir, mungkin anak itu menginap di tempat temannya. Atau mungkin tidur di mushola.
Akan tetapi mungkin anggapan saya harus salah malam ini. Paginya saya jumpai anak ini tidur di depan asrama dengan beralas lantai dan berselimut mantol di samping sepeda bututnya.
Saya sudah menyiapkan semua argumentasi yang kuat ketika dia akan marah atau protes sepagi itu. Tapi ternyata anggapan saya sama sekali keliru. Kata yang pertama keluar darinya bukanlah kata bernada protes atau marah.
Dia tertawa kecil.
“Mas, anjing-anjing dekat asrama ini nakal Mas”, katanya pertama kali, “Dia mau mengganggu saya Mas”.
Dia tertawa kembali.
“Maaf ya Mas. Tadi malam telat, dari tempat angkringan Bapak e Mas. Tak kira masih belum jam 11 malam”, lanjutnya.
“Ya”, singkat saya, “Lain kali jangan diulangi”.
Sebenarnya di dalam hati kecil, saya justru yang belajar dari anak ini. Saya membayangkan bila berada di posisinya malam itu. Bisa jadi saya akan protes habis-habisan kepada pendamping asrama. Toh, saya cuman telat lima menit. Dan alasannya pun kuat, membantu Bapak berjualan.
Tapi tidak dengan anak itu. Tidak ada kata protes yang diucapkan, tidak ada kata penentangan yang diucapkan. Alhamdulillah, mungkin bisa jadi momen itu adalah momen yang sedikit banyak merubah pola pikir saya terhadap mereka. Etoser yang tinggal di asrama. Yang menjadi tanggung jawab saya saat itu. Setiap detik kebersamaan dengan mereka adalah belajar. Setiap saat di samping mereka adalah perbaikan.
Saya mungkin mudah menemukan celah mereka, menemukan aib dan kekurangan mereka. Tapi saya tidak sadar bahwa mereka sebenarnya adalah cermin. Ketika saya menemukan aib pada diri mereka, maka saya menemukan aib pada diri saya sendiri.
Mungkin suatu ketika saya harus bercermin dan menjumpai retak-retak itu pada bayangan saya. Saya coba mengamati kembali dengan seksama sekali lagi, ternyata retak itu semakin jelas. Tapi ketika saya mencoba meraba cermin itu, ternyata tidak ada yang retak. Halus. Saya coba meraba sekali lagi. Halus. Kemudian saya menyadari bahwa retak itu ternyata bukan pada cermin, tapi pada saya yang bercermin.
“Dalam dekapan ukhuwah”, demikian ditulis Mas Salim A Fillah dalam bukunya Dalam Dekapan Ukhuwah, “kita menginsyafi bahwa diri kita adalah orang yang paling memungkinkan untuk diubah agar segala hubungan menjadi indah”
“Dalam dekapan ukhuwah, biarkan sesama peyakin sejati sekedar memantulkan kembali keelokan akhlak yang kita hadirkan”, lanjutnya dalam baris tersimpul.

Semua orang yang ada di dalam hidup kita
Masing-masingnya, bahkan yang paling menyakiti kita
Diminta untuk ada di sana
Agar cahaya kita dapat menerangi jalan mereka

(Dalam Dekapan Ukhuwah)
 
Jakarta, 13 Juni 2011

Untuk semua Etoser Jogja, tidak ada yang paling membahagiakan kecuali memberi senyum tulus kepada saudaramu begitu keluar dari kamarmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar