Jumat, 30 September 2011

Keindahan Yang Perlahan


Jumat pagi yang telat. Buru-buru kumasukkan sepatu dalam kantong plastik seraya berlari meninggalkan kamar kos hanya dengan bersandal jepit. “Sudah nggak sempat”, pikir saya.
Sayup terdengar suara khas bajaj mendekat dan reflek kulambaikan tanganku agar bajaj itu berhenti. Dalam sekejap kulemparkan tas di jok belakang bajaj samping tempat dudukku.
“Dekat hotel Darmawangsa Pak”, spontan sedikit berteriak agar bajaj segera melaju. Kulirik arloji di pergelanganku. Jam 06.50, “Semoga nggak telat”, batinku.
Sesaat kami terdiam. Dari belakang kuperhatikan bapak penarik bajaj itu. Sepertinya wajahnya tak asing bagiku.
Ya, tiap kami bertemu meskipun sama sekali belum pernah saling sapa. Naik bajaj beliau pun baru kali ini karena  lebih sering saya jalan kaki menuju tempat kerja.
Nggak ada yang istimewa dengan bapak itu. Sama dengan orang kebanyakan. Hanya saja ada satu kebiasaannya yang menarik perhatianku. Tiap pagi bapak itu selalu sholat subuh di masjid dekat kos dan selepas itu dia mengambil handuk yang disampirkan
di dekat kotak infaq masjid sambil merogoh saku celananya. Diambilnya sejumlah uang dari sakunya untuk dimasukkannya ke dalam kotak infaq itu. Entah berapa rupiah yang dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Yang membuat saya heran, hal itu dilakukan tidak hanya satu atau dua kali, tapi setiap pagi.
“Pak”, sapa saya perlahan,”Sepertinya saya sering melihat bapak subuhan di masjid dekat kosan saya. Bapak tinggal di dekat situ?”
“Nggak dik”, bapak itu menjawab sambil terkekeh,”Agak jauh dari sono”.
“Blok A”, lanjutnya.
Kutaksir usianya sekitar 60 tahun dengan rambut yang sudah mulai memutih.
“Adiknya ngekos di situ ye?”, tanyanya, “Kerja di hotel?”, lanjutnya.
“Iya pak, dekat mesjid”, sahut saya,”kalo kantor di sebelah hotel pak, bukan di hotelnya”
“Oya pak, tiap hari saya lihat bapak selalu infaq di masjid itu pak?”, tanya saya karena rasa penasaran dengan kebiasaan bapak itu.
Bapak itu terkekeh kembali.
“Nggak dik, nggak tiap hari kok”, sahutnya,”Tiap Allah kasih rejeki ke bapak”.
“Ya, karena Allah ngasihnya tiap hari, jadinya ya tiap hari saya infaq di sono”, lanjutnya masih dengan terkekeh.
“Bukan apa-apa kok dik, karena belom punya uang yang cukup pantes untuk diinfaq-kan lewat lembaga-lembaga zakat itu dik. Jadi ya lewat kotak aja dik. Malu dik, cuman recehan”.
“Pengen juga sih bisa infaq yang gede. Pengen bisa ikutan kurban juga. Ni masih ngumpulin terus. Moga-moga aja tahun ini bisa beli kambing. Semoga aja tarikan lancar ya”, lanjutnya masih terkekeh.
“Amin”, sahut saya spontan.
“Tapi tiap habis subuhan infaq terus ya pak?”
Diliriknya spion dan dengan lincah bapak itu membelokkan bajaj-nya menuju ke arah hotel Darmawangsa. Sekilas kulihat senyum di wajah ramahnya.
“Biar harinya berkah dik”, jawabnya.
“Denger dari pengajian, kalau memulai hari dengan baik Insya Allah nanti sampe sore dapet kebaikan terus. Pengen juga sih jadi orang yang manfaat buat sekitar, meskipun dikit”.
Bapak itu hampir menghentikan bajajnya di depan hotel Darmawangsa.
“Lurus terus pak”, spontan kurahkan bajaj itu agar melaju lagi.
“Tuh pak, yang ada satpam di depannya”.
“Ambil kanan ya pak”.
Takjub memang saya dengan bapak itu. Dalam kesempitannya, kejernihan hati itu ditampakkan dengan sederhana. Dalam kesempitannya, dibuka sedikit demi sedikit celah cahaya kemanfaatan, semata untuk menampilkan setitik cahaya. Memang tidak menyilaukan sinar itu sekarang. Tapi seiring waktu waktu  celah itu semakin lebar sehingga keremangan itu menjadi nampak.
Alangkah syahdu menjadi kepompong
Berkarya dalam diam
Bertahan dalam kesempitan
Tetapi bila tiba waktu menjadi kupu
Tak ada pilihan selain terbang menari
Melantunkan kebaikan di antara bunga
Menebar keindahan pada dunia
[Salim A Fillah]

Jakarta, 1 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar