Minggu, 11 Desember 2011

Arti Sekotak Nasi

Kota Jogja bukanlah kota yang baru saya singgahi. Hampir lima tahun saya kuliah di sini dan saat ini  saya begitu rindu dengan suguhan yang dihidangkan oleh kota ini. Alhamdulillah, setelah hampir dua tahun tidak menghirup aroma keramahan kota inidan sempat mencicipi kota  Karawang, Kota kecil Probolinggo dan Jakarta – saat ini saya bisa menghirup  kembali aroma itu, entah untuk berapa lama.
Seminggu di kota ini – berbagai hal baru yang sangat berbeda dengan dua tahun lalu membuat saya merasa asing. Kemacetan di perempatan Tugu Jogja,  ratusan mobil yang bersliweran di sekeliling kampus UGM dan keluar masuk kampus yang “berbayar” menjadi hal yang menurut saya “lain”. Entahlah, hanya belum terbiasa ataukah Jogja memang benar-benar sudah berbeda. Barangkali memang harus menelusur lebih jauh dan menggali lebih dalam untuk bisa mencicipi suguhan khas yang sangat saya rindu itu.
                                                                        ***
“Bu, soto nggih kaliyan teh anget[1]”
Pagi itu saya sangat ingin sarapan soto setelah semalam demam menggigil. Alhamdulillah, saya temukan warung tenda yang terletak tidak jauh dari kantor, tepatnya di depan Stasiun Tugu. Saya perhatikan tidak ada yang
spesial di warung itu selain beberapa tukang ojek yang juga sarapan. Sambil menunggu soto terhidang saya bolak-balik koran seribuan yang tergeletak di warung itu. Saya tidak menyadari bahwa di dekat Ibu penjual soto itu telah berdiri gadis kecil berseragam SMP yang menyerahkan plastik kotak makanan kepada Ibu penjual soto. Sekilas saya lihat gadis itu sebelum sibuk kembali membuka lembar-lembaran Koran pagi itu.
“Monggo[2]”, Ibu penjual soto menghampirkan segelas teh hangat disusul dengan semangkuk soto buatannya.
Saking laparnya saya lipat koran dan segera konsentrasi tertuju ke semangkuk soto yang mengepul hangat. Saya nikmati sendok demi sendok soto itu sampai kandas. Alhamdulillah, soto yang nikmat.
“Pinten Bu? [3]”, tanya saya kepada Ibu penjual soto.
“Tambahipun nopo Mas? [4]”, sahut Ibu itu sambil tersenyum.
“Mboten tambah Bu[5]
Saya lihat gadis kecil yang tadi saya lihat  masih duduk dan menikmati sepiring nasi di depannya.
“Gangsal ewu Mas[6]”, sahutnya kembali masih dengan senyum lebarnya.
“Monggo Bu[7]
Dengan segera lima ribuan itu berpindah ke tangan Ibu itu.
“Matur nuwun Bu[8], ucap saya.
“Sami-sami Mas”, sahut Ibu itu.
Saya berjalan ke kantor sambil senyum-senyum membayangkan ketika saya dulu masih di Jakarta. Mana ada soto semurah ini?
***
Keesokan harinya saya kembali ke warung  soto di depan Stasiun Tugu itu lagi.
“Soto malih Bu[9]
Tersenyum Ibu penjual soto itu.
“Ngunjuke teh anget Mas? [10]”, sahut ibu itu.
“Nggih Bu[11]”, sahut saya cepat.
Di sebelah saya, duduk gadis SMP yang saya temui kemarin. Kali ini gadis kecil itu tidak sendiri. Di sebelahnya duduk seorang anak laki-laki berseragam SD. Berdua mereka menikmati hidangan yang sudah hampir habis. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa saya memperhatikan mereka.
Seperti biasa, saya hampiri koran pagi dan mulai membolak-balik halamannya sedangkan dua anak itu sudah menyelesaikan sarapannya. Gadis yang berseragam SMP membawa piring dan gelas kotor mereka dan dengan cekatan dicuci dan diletakkannya di rak.
Budhal nggih Mak[12], kata gadis itu kepada Ibu penjual soto.
Kedua anak itu bergiliran salaman dan mencium tangan Ibu penjual soto itu.
Ngati-ati neng ndalan yo[13]”, sahut Ibu itu sambil menyerahkan kotak makanan – yang saya kira berisi nasi dan lauk – kepada gadis kecil itu.
Takjub saya perhatikan pemandangan yang baru saja saya lihat. Ekor mata saya masih mengikuti gerak gadis kecil dan anak laki-laki itu sampai hilang di tikungan Jalan Gowongan Kidul.
“Meniko wau putra-putrinipun nggih Bu? [14]”, tanya saya sambil menikmati semangkuk soto yang baru saja dihidangkan.
“Nggih Mas”, sahutnya sambil tersenyum, “Alhamdulillah, taksih purun sangu nasi Mas. Soale mangke budhal saking sekolah banjur les, mboten sempat wangsul[15]”.
“Lha nek rencang-rencange kathah sing sami jajan Mas. Mboten purun mbeto piyambak kados anak kulo[16]”, lanjutnya.
“Wah, le ndidik Ibu sae sanget Bu. Nopo malih nek putra-putrine saged tememen anggene sekolah. Insya Allah mbenjang saged dados tiyang berhasil[17]”, timpal saya.
Pangestunipun Mas saged dados tiyang. Nek kados kulo sagedipun namung ngikhtiarke kalih do’ake. Nek sakniki Ibu namung dodolan soto, mugi-mugi mbenjang anak kulo saged dados tiyang sing langkung berhasil malih[18]”, sahut Ibu itu masih dengan senyum khasnya.
***
Sedikit tapi sarat makna. Sekilas saya melihat betapa kasih sayang  Ibu yang mengikhtiarkan sebaik-baiknya buat anaknya dan seorang anak yang menyambut cinta itu dengan begitu luar biasa.
Boleh jadi Ibu itu lebih mudah untuk memberi selembar uang untuk bekal jajan putra-putrinya dan meminta anaknya untuk sarapan di rumah, tidak di warungnya. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Inilah pendidikan yang luar biasa menurut saya. Anak yang dididik untuk melihat keseharian Ibunya, dididik untuk melihat betapa tulusnya seorang Ibu bekerja untuk anaknya, dan dididik untuk tidak malu dengan profesi yang dijalani Ibunya.
Saya juga melihat seorang Ibu yang sangat optimis dengan masa depan anak-anaknya. Optimis bahwa usaha yang dilakukan untuk anak-anaknya tidaklah sia-sia. Optimis bahwa kesungguhan itulah modal keberhasilan.
Saya jadi teringat pidato mantan wakil presiden kita – Jusuf Kalla – ketika sedang hingar bingarnya konflik Aceh.
“Orang yang negatif, pesimistis, mengatakan, ‘Wah kita kalah sedangkan orang yang optimistis mengatakan, ‘Ini hebat’. Sama seperti melihat gelas yang setengahnya berisi air. Orang optimistis mengatakan setengah terisi sedangkan orang pesimistis bilang kosong setengah”
Tidak ada hujan yang tidak berhenti. Tapi sebaik-baik manusia adalah yang tidak hanya menunggu hujan reda untuk bisa sampai di tujuan tanpa basah, tapi orang yang menyediakan payung / mantel untuk bisa sampai ke tujuan itu dengan lebih cepat dan selamat.
Dari  sekotak nasi saya belajar tentang penghargaan sebuah karya. Bisa jadi jika diberi uang tunai untuk jajan, anak tidak akan berfikir harga sebutir nasi. Tidak berfikir bahwa dari nasi itulah Ibunya bisa membiayai sekolahnya. Ya, sekali lagi saya salut dengan pembentukan pola pikir anak jangka panjang dari seorang Ibu penjual soto.

Give a man a fish
And you feed him for a day
Teach a man to fish
And you feed him for a lifetime
(Lao Tzu)
Yogyakarta, 10 Agustus 2011
[1] Bu, soto sama teh hangat
[2] Silakan
[3] Berapa Bu?
[4] Tambahnya apa Mas?
[5] Nggak nambah apa-apa Bu
[6] Lima ribu Mas
[7] Silakan Bu
[8] Terima kasih Bu
[9] Soto lagi Bu
[10] Minumnya teh hangat Mas?
[11] Iya Bu
[12] Berangkat ya Mak
[13] Hati-hati di jalan ya
[14] Tadi itu putra-putrinya ya Bu?
[15] Alhamdulillah, masih mau membawa bekal nasi Mas. Soalnya nanti sore les, jadi nggak sempat pulang dulu
[16] Lha kalau teman-temannya semua jajan Mas. Nggak ada yang mau membawa bekal seperti anak saya
[17] Wah, didikan Ibu bagus sekali. Apalagi kalau sekolahnya tekun. Insya Allah nanti jadi orang berhasil
[18] Doa restunya Mas bisa jadi orang berhasil. Kalau saya bisanya hanya mengikhtiarkan dan mendoakan. Kalau Ibu sekarang hanya berjualan soto, semoga anak saya nanti bisa lebih berhasil.

3 komentar:

  1. kisah perjalananya selalu membuat haru...

    BalasHapus
  2. Mbak Asih Wid : hehe, kearifan budaya yang pantas menjadi teladan :)

    BalasHapus
  3. cari makna sekotak nasi di musim banyak yg sodakoh ini...eh muncul ini salah satunya...keren....kak...

    BalasHapus