Senin, 26 Desember 2011

Menanya Sepotong Masalah


Ahad gerimis. Sebenarnya sangat malas untuk beranjak dari kasur dan TV yang menyala di kamar tengah. Kalau saja tidak ada undangan walimahan seorang teman waktu masih di Jakarta dulu,  saya lebih memilih untuk berdiam sambil menikmati segelas teh hangat dan pisang rebus. Setidaknya undangan itu  memaksa saya untuk tidak berlama-lama bercengkerama dengan malas. Rasa malas itu bertambah ketika membayangkan dinginnya perjalanan sepanjang Wates - Jogja.
***
Jogja macet. Berjajar mobil  plat non AB di sepanjang Jalan Pangeran Mangkubumi sampai jembatan baru yang menghubungkan ke seputaran Kotabaru. Entahlah, dengan segala keterbatasan akses jalan, Jogja masih
menjadi tujuan  untuk sekedar melepas kepenatan rutinitas.  Mungkin bagi sebagaian pengendara berplat B kemacetan itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kemacetan Jakarta. Berbeda dengan penduduk asli yang menganggapnya sebagai fenomena  aneh dan membuat suntuk.  Suntuk karena kemacetan panjang bertambah dengan bocornya ban belakang sepeda motor yang saya kendarai.
“Payah!!”, pikir saya.
Di tengah rintikan hujan, terpaksa saya tuntun sepeda motor sampai menjumpai tukang tambal ban di depan Toko Progo. Alhamdulillah, setidaknya saya tidak  mendorong lebih jauh lagi.
Di tengah  sibuknya Bapak tukang tambal ban mencari letak bocornya ban sepeda motor, datang seorang Ibu paruh baya dengan agak terseok memutar kursi rodanya. Sebuah payung terpasang di belakang kursi roda itu.  Rupanya roda sebelah kanan kursi roda itu sedikit “oleng” sehingga putarannya tidak normal.
Ibu paruh baya itu sedikit melompat dari kursi yang didudukinya dan berpegangan pada tiang peneduh bengkel kecil itu. Buru-buru saya hampirkan kursi plastik yang tengah saya duduki ke Ibu itu.
“Matur Nuwun nggih Dik”, lantas Ibu paruh baya itu.
“Sami-sami Bu”, sahut saya sambil berpindah ke kursi bambu panjang.
“Oleng Pak”
Ibu paruh baya itu menunjuk bagian roda sebelah kanan di kursi rodanya. Dengan sekejap tangan Bapak tukang tambal ban itu berpindah dari ban sepeda motor saya ke kursi roda.
“Sebentar nggih Mas”, kata Bapak tukang tambal ban itu memohon izin untuk memperbaiki kursi roda itu lebih dulu, “Cuman sebentar kok ini”.
“Monggo Pak”, sahut saya.
 “Mboten menopo”
Kurang dari seperempat jam Bapak tukang tambal ban itu selesai memperbaiki kursi roda.
“Sampun Bu”,  kata Bapak tukang tambal ban itu sambil membereskan peralatannya ke kotak.
Didorongnya kursi roda itu sampai mendekat ke tempat duduk Ibu itu.
“Pinten Pak ongkosipun?”, tanya  Ibu paruh baya itu.
“Pun monggo, dibeto mawon”, sahut Bapak itu sambil tersenyum.
Sekilas saya lihat senyum Ibu itu sambil bersegera pindah dari kursi plastik ke kursi rodanya.
“Matur sembah nuwun nggih Pak”,  sahut Ibu itu tersenyum, “Pareng Pak”
Diputarnya kursi roda berpayung itu meninggalkan mata saya yang terus memandang takjub. Sementara gerimis masih mengguyur.
***
Keikhlasan. Di tengah suntuk karena macetnya kota Jogja, kejadian kecil itu mampu menyentak nurani. Barangkali menurut sebagian orang, itu adalah hal biasa. Tapi bagi saya sangat berbeda. Baru kali ini mungkin saya temui di era yang  serba berbayar ini. Saya yakin Bapak tukang tambal ban ini bukanlah orang yang kaya. Kalau hitung-hitungan penghasilan, setidaknya, sekali memperbaiki dia bisa mendapatkan tambahan untuk keperluan rumah tangga keluarganya, atau bahkan mungkin untuk sekolah anaknya. Tapi ini berbeda. Bapak itu tidak melewatkan setiap momentum yang dimilikinya hanya sekedar untuk sebuah kebermilikan. Tentu  berat rasanya memberikan sesuatu yang berharga dalam kondisi  yang sulit.
***
Saya jadi teringat tentang pembahasan makna keikhlasan. Timbul pertanyaan-pertanyaan mendasar, sebenarnya makna ikhlas itu seperti apa? Apakah ketika sesuatu terasa ringan di hati itu disebut ikhlas sebaliknya jika sesuatu yang dirasa hati itu berat dinamakan tidak ikhlas? Ruang ini, membuat saya harus menelisik  kisah Ibrahim. Apakah dirasa ringan pada saat Nabi Ibrahim diminta meninggalkan bayi merah yang kehadirannya sangat dinanti di tengah panasnya padang gersang tak bertanam? Tapi itu perintah Allah.
Kemudian setelah perjalanan panjang, dipertemukan oleh-Nya kembali anak yang diidamkan sudah menjadi remaja yang taat dan patuh. Betapa bahagianya. Tapi sekonyong-konyong, datang kembali ujian keikhlasan itu. Sembelih Ismail !! Dan itu juga perintah Allah.
Apakah dirasa ringan juga? Kalau saya boleh menjawab jujur, “Tidak”.
Tapi bagaimana mungkin saya menuduh Nabi Ibrahim tidak ikhlas? Sedangkan beliau adalah orang terikhlas yang pernah dijumpai di bumi ini.
Terngiang pernyataan yang sangat sering terlantun di telinga, bahkan mungkin pernah saya lantunkan, “Lebih baik sedekah seribu rupiah dengan ikhlas daripada sedekah seratus ribu rupiah tidak ikhlas”.
Lantas bagaimana mungkin pula saya mengadili seseorang dengan perkataan hati, “Ah, mana mungkin dia  ikhlas? Wong buat hidupnya saja susah kok sedekah banyak-banyak”, sedang dalam hatinya saya tidak tahu. Boleh jadi dia memang berat melakukannya, tetapi siapa sangka ia mampu menghayati rasa berat itu dan benar-benar timbul keterharapan itu kepada-Nya.
Ah, sepertinya memang musti membebas makna keikhlasan dari sekedar perasaan berat atau ringan.
***
Saya termenung, apakah Bapak tukang tambal ban ini tidak memiliki masalah ya? Apakah tidak ada hal yang dikhawatirkan dalam hidupnya? Kok sepertinya seenaknya melepas uang yang semestinya ia dapat dari memperbaiki kursi roda.
Dan seyakin-yakinnya, pasti setiap orang memiliki masalah. Hanya mungkin tidak cemas dengan masalah yang menghimpitnya. Sehingga hidupnya bisa fokus untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil.
Mungkin saya sendiri termasuk orang yang suka menanyakan masalah dengan pertanyaan “why” (mengapa hal ini terjadi?). Padahal justru pertanyaan itulah yang membuat masalah ini seakan-akan tidak pernah selesai karena berputar dan tak berkesudahan. Bahkan mungkin hal-hal irrasional akan mudah timbul karena pertanyaan ini dan ujungnya adalah menyalahkan keadaan eksisting yang sudah melekat di diri kita, bisa jadi menyalahkan fisik sendiri atau malah keluarga tempat dibesarkan.
Padahal apabila pertanyaan “why” itu diubah menjadi pertanyaan “what”, keadaan akan menjadi lain. Pertanyaan “what” akan mengubah pola pikir menjadi orang yang solutif. Tentu tidak benar juga bahwa segala sesuatu tidak boleh ditanyakan dengan “why”. Saya yakin bahwa masing-masing kita memiliki porsi yang seimbang, kapan menggunakan kata “why” dan kapan menggunakan kata “what”.
Ah, luar biasa Bapak itu.
Life is too short to worry”, demikian Arvan Pradiansyah tuliskan dalam bukunya yang bertajuk Cherish Every Moment. 

Kulon Progo, 16 Desember 2011

2 komentar:

  1. Subhanallah.. Numpang mampir Akh Hasan nan baik hati. ^_^ alhamdulillah, dapat mengobati kerinduanku pada kota Jogja. Ana uhibbuka fillah..

    BalasHapus
  2. Pak Abe Naro : Monggo Pak Abe, ini sekedar coretan saja pak Abe. Saya ingin bisa kayak pak Abe Naro..bisa maen ke Jepang :)

    BalasHapus