Minggu, 18 Desember 2011

Sumber Kecukupan Itu


Seminggu berselang setelah kuliah umum Prof. Djamaludin Ancok di Wisma Magister Manajemen UGM. Kuliah yang sangat menarik dan penuh canda setelah hampir dua tahun tidak merasakan nuansa akademis kampus ini.
“Nanti-nanti saja lah mencatatnya. Toh slide presentasinya juga bisa diminta nanti”, pikir saya saat itu. Tapi pada kenyataannya, hanya seminggu berselang tak banyak yang saya ingat dari apa yang disampaikan beliau. Setelah saya baca kembali, slide presentasi itu pun terasa hambar
karena bumbu-bumbu pelengkap dari beliau yang tidak saya catat saat itu. Agaknya memang benar kata pepatah bahwa menunda itu bagian dari menolak masuknya ilmu.
Pun demikian, ada satu hal yang masih saya ingat dan meninggalkan kesan. Lagi-lagi tentang keunikan budaya Jogja yang membuat diri  merasa betah dan nyaman tinggal di kota ini.
***
“Saya merasa heran melihat Ibu itu setiap pagi menaruh kendi berisikan air putih dan beberapa gelas di pinggir jalan dekat rumahnya”, demikian Prof. Djamaludin memulai cerita.
“Tidak hanya sekali saya melihat itu.  Setiap saya berangkat kerja, pasti menjumpai Ibu itu sedang menaruh kendi dan gelas di pinggir jalan itu”.
“Rasa penasaran lah yang membuat saya berhenti dari kendaraan dan menanyakan hal itu”.
Nyuwun ngapunten Bu”, kata beliau kepada Ibu itu, ”Sebenarnya kendi ini buat siapa tho? Sepertinya Ibu tidak sedang membangun rumah. Ibu juga tidak berjualan di sini”, lanjut beliau.
Terkekeh Ibu itu menjawab, “Ya buat siapa saja Pak”.
“Di sini banyak pengasong, tukang koran, dan tukang ojek yang mangkal. Kalau mereka haus, tinggal minum air dari kendi ini Pak”, lanjut Ibu itu.
***
Kebermaknaan.
Barangkali setiap kita memiliki definisi tentang kebermaknaan hidup. Seorang pemuda lajang akan mendefinisikan kebermaknaan hidup adalah memiliki pasangan. Pun dengan pasangan suami istri yang lama tidak memiliki anak. Anak yang hadir di tengah-tengah kehidupan rumah tangga akan menjadi definisi kebermaknaan hidup buat mereka.
Sedangkan Ibu  dalam cerita Prof. Djamaludin itu mendefinisikan kebermaknaan sebagai sebuah pemberian. Kebermaknaan hidup adalah termaknanya orang lain dengan kehadiran kita di sisi mereka. Seperti pepatah Jawa, “Sugih Tanpa Bondo”. Kekayaan bukanlah yang didapatkan dari jerih payah kita. Bagaimana orang lain bisa ikut menikmati sebagian dari hasil jerih payah kita itulah kekayaan sejati.
***
“Merasa cukup sesungguhnya merupakan kunci menikmati hidup yang bahagia”, demikian dituliskan Arvan Pradiansyah dalam kolom PERNIK di Majalah SWA yang baru saya beli tadi siang.
“Pertanyaannya, kapan kita merasa cukup?” lanjut penulis The 7 Laws of Happiness ini.
Beliau menuliskan bahwa merasa cukup adalah berkah yang tidak ternilai harganya. Sebelum kita merasa cukup,  berapapun kekayaan yang kita miliki tidak akan berarti apapun bagi kita. Rasa cukup inilah yang membedakan antara “menikmati” dan “memiliki”. Ketika kita merasa cukup, kita akan menikmati apapun yang kita miliki, dan kenikmatan itulah yang pada gilirannya akan menghasilkan kebahagiaan.
Ada beberapa alasan menarik tentang “rasa ketidakcukupan”  yang disampaikan dalam artikel itu. Satu alasan yang menarik buat saya.
“Alasan yang membuat kita sulit merasa cukup adalah karena kita sering berada jauh dari sumber kecukupan itu”, tulisnya dalam bait terakhir,”yaitu Tuhan Yang Maha Esa”.
Analogi manis, bayangkan jika kita berada di gurun pasir yang tandus dan gersang dengan bekal yang sedikit. Pastilah khawatir bukan? Akan tetapi kalau di dekat kita ada seorang kaya yang memiliki bekal sangat melimpah dan mau berbagi dengan kita tentu rasa khawatir itu akan sirna. Kita merasa cukup karena dekat dengan sumber kecukupan.
“Nah, kalau berdekatan dengan sesama manusia saja kita bisa merasa cukup, maka bagaimana bila kita berdekatan dengan Tuhan yang Maha?”, lanjutnya.
***
Bulan lalu, saat masih di Jakarta, saya membeli Seri-2 nya Kun Fayakuun yang ditulis oleh Ust. Yusuf Mansur.
“Ketika kita sakit, pasti kita ke dokter. Ketika ban motor kita pecah, pasti kita ke tukang tambal ban. Maka ketika kita mempunyai masalah, namun kita tidak datang kepada Allah berarti kita tidak mengenal Allah sebaik kita mengenal tukang tambal ban?”
Demikian dituliskan pada bait pertama di bab pertama seri itu.
***
Entahlah. Kali ini pun saya sulit mengkorelasikan antara kebermaknaan hidup dengan memberi, perasaan untuk cukup, dan mengenal Allah sedekat mengenal tukang tambal ban ketika ban bocor.

Yogyakarta, 17 Desember 2011

1 komentar: