Minggu, 27 November 2011

Selembut Sederhana

Termenung saya perhatikan beliau dari belakang. Terduduk di samping tiang penyangga Masjid Gede Kauman tanpa satu pengawalan pun. Kesederhanaan nampak dari kemeja batik lengan pendek dan celana panjang  yang beliau kenakan. Pakaian dengan motif  yang –menurut pengamatan saya – tanpa bumbu “priyayi pengageng”.
***
Ahad Pagi Yang Terik
Cukup tergesa saya parkirkan motor di halaman masjid yang masih berada dalam kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Masjid Gede Kauman. Sekeliling terparkir puluhan motor dan beberapa mobil.  Dari  jauh terlihat pula satu mobil anggun terhias. Tak pelak lagi, pasti mobil penganten.
Ya, ahad kedua setelah kepindahan kantor  di kota ini. Memenuhi undangan dua orang sahabat yang menikah di  awal bulan Muharram ini. Kali ini memang bukan hanya seorang sahabat, akan tetapi kedua mempelai pernah berada dalam satu aktivitas bertahun silam di kampus dan sampai akhirnya dipertemukan dalam sebuah ikatan “mitsaqan ghalidza”. Cukup terkaget. Terkaget dengan penganten yang usianya jauh lebih muda daripada saya, terkaget dari waktu pernikahan yang jarang dilakukan oleh orang Jawa – 1 Suro – dan terkaget dengan yang “rawuh” dalam walimahan itu yang menurut saya para penggede di wilayah ini. Dari Bupati Sleman, Walikota lama, Walikota terpilih, sampai sutradara Hanung Bramantyo yang pernah memakai setting Masjid Kauman ini dalam film “Sang Pencerah”.
***
Awalnya saya tidak memperhatikan beliau yang bersila persis di depan saya. Baru ketika salah seorang panitia walimahan mempersilahkan untuk ke depan, saya baru tahu bahwa beliau adalah seorang tokoh nasional yang berkali saya lihat di televisi.
“Mas, saya di sini saja”, sahut beliau enggan untuk maju ke depan.
Seorang Bapak yang awalnya duduk di depan beliau menjadi terkaget setelah melihat seorang tokoh nasional berada di belakangnya. Buru-buru dia berdiri dan mempersilahkan beliau untuk maju.
“Monggo Pak”, spontan diacungkan jempol – khas orang Jogja – mempersilakan beliau untuk maju ke depan.
“Sampun Pak”, sahut beliau,”Saya di sini saja. Jenengan sekecake kemawon
Beliau mempersilakan Bapak yang duduk di depannya untuk duduk kembali. Saking sungkannya, Bapak itu menggeser tempat duduk menjadi berdampingan dengan beliau yang tetap duduk di posisi semula. Di samping tiang penyangga serambi masjid.
***
Sama sekali saya tidak pernah berinteraksi dengan beliau yang sebenarnya adalah orang Jogja asli. Melihat secara langsung pun baru kali ini. Tapi saya sangat tertakjub dengan yang beliau lakukan pagi itu. Barangkali jika yang melakukan adalah orang-orang biasa, saya tidak akan begitu  setakjub ini. Tak hanya sekali saya melihat pejabat dalam satu acara, tapi baru kali ini saya melihat pejabat nasional tanpa pengawalan sama sekali. Yang hanya berjalan berdua saja dengan istri beliau. Tak hanya sekali pula saya berada dalam satu acara dengan pejabat, tapi baru kali ini saya melihat pejabat memakai pakaian yang jauh dari kesan seorang  pengageng. Tak hanya beliau saja, tapi juga penampilan istri beliau yang – lagi-lagi menurut saya – sangat sederhana. Berkali pula saya dalam satu forum dengan pejabat, tapi baru kali ini tertampil di mata saya seorang pejabat yang mempersilakan orang lain dengan sangat sopan untuk bersikap biasa dengan beliau.
Mungkin memang sekecil hal itu bukanlah parameter dalam mengukur kinerja seorang pemimpin. Akan tetapi betapa bangganya, sebagai seorang rakyat biasa, melihat pemimpin mereka berlaku sederhana dan santun. Mungkin bukan hal itu pula yang menentukan maju atau tidaknya negeri ini, akan tetapi saya cukup yakin, keteladanan seorang pemimpin akan berbuah kebaikan akhlak yang dipimpinnya.
***
Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Rasulullah dan gemetaran – oleh wibawa beliau – saat berbicara. Rasulullah pun berkata menenangkan, “Tenang saja, aku bukan Raja. Aku hanyalah anaknya peremuan Quraisy yang biasa makan ikan asin”. Demikian Gus Mus menuturkan dalam bukunya yang bertajuk “Membuka Pintu Langit. Momentum Mengevaluasi Perilaku”. Dalam haditsnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, kemudian Gus Mus terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia.
Dengan terburu Rasulullah mengambil barang yang selesai dia beli. Penjual – setelah mengetahui bahwa pembelinya seorang Rasul – dengan sigap membawakan barang itu. Buru-buru Rasulullah bersabda, “Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya”.
Demikian tutur Gus Mus pada paragraf berikutnya.
Setiap orang memang memiliki gaya tersendiri dalam bertutur dan berperilaku. Bisa jadi seseorang yang telah memiki sebuah jabatan tertentu dalam masyarakat akan sulit untuk bersikap biasa, pun itu hanya seorang Kepala Desa. Kadang sebuah jabatan akan sangat mengubah sikap seseorang yang awalnya sangat grapyak dengan siapapun menjadi sedikit enggan bertutur dengan yang tidak selevel. Entah itu disadari ataupun tidak. Atau bahkan kadang-kadang orang-orang sekitar kita terlalu mengistimewakan seseorang yang mempunyai kedudukan sehingga justru yang memiliki kedudukan itu kesulitan untuk bersikap biasa.
Masih kata Gus Mus, “Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu”.
Bahkan dalam bertutur pun ada kesederhanaan. Barangkali awalnya kita ingin bertutur untuk berbagi hikmah, akan tetapi terkadang muncul juga sikap kita untuk diakui (eksis) dari apa yang kita sampaikan. Saya jadi teringat kajian sore tadi di Masjid Mardhiyah – yang sudah cukup lama tidak saya sambangi – “Sampaikan hikmah itu”, demikian Imam Syafi’i bertutur, “Sampaikan hikmah yang engkau dapatkan dari saya tanpa harus menyebutkan saya”.
Kesederhanaan bertutur.
Bukan dari siapa hikmah itu disampaikan, akan tetapi dari apa yang disampaikan.

Yogyakarta, 27 November 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar