Minggu, 08 Mei 2011

Hanya Butuh Meminta Saja

Entah berapa kali saya melihat, dan berpapasan dengan laki-laki itu semenjak kepindahan saya di kota ini. Berkali pagi saya menjumpainya di persimpangan gang masih dengan sarung dan kausnya duduk di atas kursi roda. Sekilas saja, tak ada sapa, tak ada senyum, apalagi salam, dan saya pun masih denganlangkah kaki saya menuju tempat kerja.
Ahad. Biasa, untuk pekerja seperti saya, waktu libur Sabtu-Ahad saya gunakan untuk sedikit melepas lelah -kalau nggak mau dikatakan bermalas-malasan-. Pagi tadi cuaca sepertinya agak kurang mendukung untuk keluar, kadang gerimis, kadang juga reda. Tidak biasanya juga saya rajin menghadiri kajian di masjid. Tapi
daripada mati gaya di kos, mendingan jalan-jalan. Tujuan saya pagi ini ke Al Azhar. Di samping ada kajian rutin paginya, di sana juga cukup dekat. Lumayan, cuman sepuluh menit naik Kopaja. Alhamdulillah sampai di Al Azhar masih cukup pagi, lima belas menit menuju jam tujuh pagi. Tidak banyak yang saya dapatkan dari materi kajian ini, terlebih karena saya ketiduran saat kajian berlangsung.
Sepulangnya, saya dapati laki-laki itu berteduh di bawah pohon depan masjid di atas kursi rodanya. Dia memangku setumpuk dagangan yang ditaruhnya di dalam kotak selebar kursi rodanya.
“Dik,” panggilnya kepada saya, “Bisa minta tolong sebentar?”
“Iya Mas”, sahut saya sambil berlari kecil menghampirinya.
“Minta tolong angkatkan dagangan saya ini ke sana?”, pintanya sambil menunjuk serambi yang cukup teduh. “Takut basah Dik”, sambil menutupkan selembar plastik yang cukup lebar di atas dagangannya. “Makasih ya Dik”, lanjutnya sambil berusaha memutar roda kursinya ke serambi masjid.
“Iya Mas, sama-sama”, sahut saya sambil berlari kecil mengangkat dagangan itu ke serambi. Sepintas saya lihat dagangan yang dijual hanya makanan ringan untuk anak-anak dan ada beberapa minuman ringan.
Hujan sepertinya sudah mulai deras disertai angin. “Hujannya tambah deras Dik”, seiring senyumnya kepada saya. “Nanti saja pulangnya”, lanjutnya. Dan saya pun memutuskan untuk berteduh sejenak sambil menunggu reda, toh saya juga nggak bawa payung.
“Masih kuliah juga?”, tanyanya masih dengan senyumnya.
“Hehe, ndak mas”, sahut saya. ”Kerja kok Mas”, lanjut saya. Saya berfikir, emang mungkin masih pantas ya jadi anak kuliahan.
“Di mana kerjanya Dik?”, lanjutnya.
“Di Dharmawangsa Mas, depan walikota Jaksel”, jawab saya sambil senyum.
“Kantor apa?”, telisiknya masih dengan senyum ramahnya.
“PLN Mas”, sahut saya, sesekali mencoba mengelap baju koko yang memang sedikit basah.
“Oh”, sahutnya. “Sering ya kajian di sini?”, lanjutnya kepada saya.
Sedikit saya pandangi tubuh kurusnya. “Nggak juga mas, baru lima kali kok Mas semenjak kepindahan saya di Jakarta. Lha Masnya sudah lama di Jakarta?”, timpal saya.
“Alhamdulillah Dik, saya asli sini kok. Jadi sejak kecil ya saya di kota ini. Mungkin memang Allah ngasih rejeki buat saya biar bisa dekat terus dengan Ibu saya Dik”, jawabnya. “Enak kan di Jakarta?”, timpalnya sambil mengembangkan senyumnya kembali.
“Ya, gini Mas”, sahut saya. “Sepertinya lebih nyaman di Jogja Mas. Nggak ada macet, udara lebih segar. Dekat dengan keluarga”, lanjut saya.
Laki-laki itu tertawa.
Saya juga tertawa.
“Disyukuri Dik”, timpalnya. “Kalau sekarang masih nggak nyaman, itu wajar kok. Soalnya masih baru. Tapi nanti lama-lama juga betah”, lanjutnya.
“Toh, sudah kerja di tempat yang bagus. Masih muda juga”, lanjutnya kembali.
“Iya Mas, Alhamdulillah”, jawab saya, tertarik saya dengan cara berbicara dan penyampaiannya yang santun itu.
“Tapi nggak tahu ya Mas. Kadang mensyukuri itu kok nggak mudah. Saya dulu sering Mas ngobrol dengan teman, tentang mensyukuri nikmat”, timpal saya. “Saya juga dulu sering menyampaikan ke teman-teman saya Mas, kalau mau bersyukur lihat yang di bawah kita, jangan lihat yang di atas kita”, lanjut saya.
“Tapi,.”, tahan saya. “Kadang pas nikmat itu datang. Pas pula datang masalah yang lebih besar yang membuat saya kadang merasa iri. Iri dengan orang lain yang sepertinya tidak punya masalah seberat saya Mas”, sambil menarik nafas panjang.
Sejurus kemudian saya lihat di wajahnya yang melempar senyum. “Saya dulu juga seperti itu Dik”, tatapnya kepada saya. “Rasanya kok Allah ndak adil ya ngasih saya tubuh seperti ini. Orang lain bisa jalan dengan bebas, bisa bekerja, keluarganya nggak bermasalah. Saya sering membayangkan Dik bisa seperti orang-orang yang normal itu”, lanjutnya.
“Apalagi kalau saya melihat orang yang sepertinya hidupnya tidak pernah dekat dengan Allah, tapi kok sepertinya hidupnya sukses dan bahagia. Tapi ah, sepertinya kalau hidup hanya memikirkan itu terus kok rasanya hidup nggak senang terus Dik”, tatapnya kepada saya.
Saya menatap hujan yang mulai merintik. Memang saya sadari, akhir-akhir ini sepertinya saya kurang stabil. Campur aduk.
“Allah menyuruh kita meminta lebih Dik”, lanjutnya. “Bisa jadi setelah kita dicukupi dengan penghasilan, dicukupi dengan kelebihan, semakin membuat sholat kita, puasa kita, sodaqoh kita menjadi penghias saja, sekedar menunaikan kewajiban, alias apa namanya?”, sambil mencoba mengingat sesuatu. ”Formalitas”, lanjutnya.
“Allah rindu dengan suara kita yang menghiba, dengan tangisan kita”, tatapnya kepada saya.
“Itu sederhananya mungkin Dik. Saya bukan orang yang ngerti kok”, lanjutnya sambil tertawa kecil.
Saya menekuri kembali air yang jatuh satu-satu dari genting serambi masjid.
“Sudah punya pacar, atau calon istri?”, tanyanya masih dengan senyumnya.
Saya tertawa kecil.
“Belum mas”, jawab saya.
“Pasti Adik akan sangat senang jika yang Adik cintai itu meminta kepada Adik dengan sangat, dengan merajuk”, lanjutnya dengan tertawa kecil.
“Oya, sudah reda Dik. Minta tolong lagi ya angkatin dagangan saya di sini”, sambil menunjuk ke pangkuannya di atas kursi roda.
“Iya Mas”, bergegas saya mengangkat dagangan itu di atas pangkuannya.
“Makasih ya Dik. Saya tak ke sana dulu”, ucapnya kepada saya sambil memutar roda di kursinya pelan-pelan.
Sementara saya sendiri masih mencoba menekuri apa yang dikatakan laki-laki itu. Sederhana. Tapi sepertinya memang pas dengan kondisi yang saya alami sekarang.
Meminta. Ya, meminta.
Yang bisa jadi kemarin-kemarin hanya saya lakukan sebagai formalitas belaka karena kesombongan saya.
Saya jadi teringat dengan satu bait awalan bab di bukunya Mas Salim, DDU.

Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
Tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita
Seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari
Dan kicau burung yang mendamai hati
Jika demikian, atas doa-doa yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk diijabah lebih dari apa yang kita mohonkan.

Jakarta, 8 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar