Sabtu, 21 Mei 2011

Digenggam Saja Nak Harapanmu


Bulan Mei. Ya, saya merasakan bahwa emosi saya di bulan ini sangat kacau. Saya tidak tahu, kenapa rutinitas yang saja lakukan hanya berlalu begitu saja dan setelah itu selesai. Memulai aktivitas baru dan setelah itu selesai. Semuanya berjalan dan berlalu. Saya mulai mengingat, peristiwa Selasa dua pekan yang lalu ketika saya sampai di bandara Sukarno-Hatta jam 3.30 dini hari.
“Mas”, mulai sopir taksi setelah hampir dua puluh menit hanya saling diam dan saya masih dalam lamunan saya. ”Sudah hampir sampai terminal tiga”, lanjutnya.
“Oh, iya pak”, sadar saya dengan keterkejutan setelah lamunan saya yang melayang.
“Ini paling pagi Mas. Pake uang yang pas saja ya Mas”, masih dengan gerakan terampilnya mengendalikan mobil di jalanan menikung bandara sambil sesekali memandang kaca spion di atasnya.
“Belum ada kembalian soalnya Mas. Ini Masnya yang pertama naik”, lanjutnya.
Saya melihat di argo taksi itu. Seratus tiga belas ribu rupiah.
“Sampai parkiran berarti seratus lima belasan lah”, pikir saya.
Buru-buru saya keluarkan uang seratusan ribu dan limapuluhan ribu dari dompet saya. Begitu sampai di depan bandara saya serahkan dua lembar tersebut ke sopir taksi.
“Terima kasih Pak”, buru-buru saya keluar taksi, “Sisanya simpan saja Pak”, lanjut saya.
“Tapi ini banyak banget Mas”, sahut sopir taksi.
“Gak pa-pa”, singkat saya sambil berlari menuju pintu masuk bandara.
Ingin rasanya saya saat itu sudah sampai rumah. Melihat jenazah Bapak dan kondisi Ibu. Entahlah, saat itu waktu terasa sangat lama. Tersadar bahwa jam 3.30 masih sangat pagi di bandara. Penerbangan pertama  jam 06.00 dan saya tidak tahu apakah saya bisa berangkat ke Jogja jam itu karena tiketpun belum ada. Saya hanya tahu bahwa jam 06.00 adalah penerbangan pertama di salah satu maskapai di terminal tiga Soekarno-Hatta. Itu saja. Hanya berharap bahwa saya dapat memiliki tiket itu. Saat itu saya dapati tempat reservasi tiket maskapai tersebut masih terkunci lengkap dengan rantai dan gemboknya. Ya. Hanya menunggu dan berharap masih rejeki saya untuk pulang ke Jogja sepagi itu. Sama sekali tidak terfikir untuk sholat sekedar menenangkan hati. Hanya menunggu, melamun dan berharap datang petugas yang melayani tiket reservasi segera membuka pelayanannya.
Pikiran saya kembali melayang ke beberapa waktu lalu ketika Bapak masih sehat. Sungguh, saat itu hanya datang berpuluh bayangan berkelebat tanpa alur.
Idul Fitri tahun lalu.
“Pak”, canda saya dengan Bapak, “Rumah ini mau tak rehab. Biar jadi bagus. Sebelah sini Pak yang jadi garasi. Cukuplah Pak untuk mobil dua”, lanjut saya masih dengan canda.
Bapak dan Ibu tertawa.
Saya pun ikut tertawa.
“Sudah dapat kerjaan”, Ibu saya ikut menyahut, “Sudah jadi pegawai itu sudah harus disyukuri, Alhamdulillah. Wong sekarang itu susah dapat kerjaan”, lanjut Ibu.
“Tapi kalo saya jadi pejabat kan yo bisa to Bu?”, sambut saya,”Wong Insya Allah besok saya jadi pejabat kok Bu”, lanjut saya sambil  menyuapkan makanan ke mulut saya.
“Amiiin”, sambut Ibu dan Bapak berbarengan.
“Tapi gini Le”, sambung Bapak,”Yang penting itu sekarang kerja yang bagus dulu. Yang teguh dan ora main-main wae. Makin lama kan yang seperti keinginanmu itu mengikuti. Ora kudu dipikir abot-abot”, lanjutnya.
“Mengko kalau kamu mikir terus harus punya ini, harus punya itu. Kepingin ini, kepingin itu. Kan malah dadi bebanmu. Wis, sing penting itu kerjo ndisik sing tenan”, lanjut Bapak sambil tertawa.
Belum tuntas saya membayangkannya. Sudah bermunculan kelebat bayangan yang lain. Seiring dengan datangnya beberapa taksi dan mobil yang mengantarkan penumpang ke terminal tiga. Sementara saya masih duduk melamun menunggu dibukanya pintu reservasi.
Ya, Bapak hanya bilang bekerja saja. Nggak usah terlalu memikirkan tentang sebuah harapan. Yakin saja  dengan sebuah harapan, meletakkannya dan kembali bekerja. Kalau saya boleh membahasakan, Bapak hanya ingin bilang, “Letakkan harapan itu di tanganmu dan bekerjalah dengan hatimu”.
Kembali saya teringat tulisan Mas Salim yang mengisahkan kembali tentang perjuangan Hajar dan bayinya Ismail.
“Maka Hajar pun berlari”, tulisnya di Dalam Dekapan Ukhuwah, “Mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak-balik tujuh kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah”.
Dan ternyata air itu tidak datang dari lintasan Hajar tadi. Atau di dua bukit itu. Tapi justru dari tanah di mana Ismail menjejak-jejakkan kakinya di situ.
“Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah yang tidak terduga”, simpulnya di akhir kisah.
Jam 4.45. Alhamdulillah petugas reservasi maskapi sudah datang dan beranjak saya menujunya. Hanya harapan bahwa tiket itu masih menjadi rejekiku.

Jakarta, 22 Mei 2011
Setelah meninggalnya Bapak, Nurul F Huda, dan Ustadzah Yoyoh Yusroh


  


4 komentar:

  1. Jazakallah, Pak.
    Tulisan ini mengingatkan saya betapa seharusnya kita memaknai setiap detik bersama orang-orang yang kita cintai. Agar tak ada penyesalan untuk kedua kalinya.
    *teringat juga janji pada 'ia' yg sudah pergi...

    BalasHapus
  2. Ika Ari S : Pun memaknai setiap detik terhadap orang yang tidak kita cintai akan memberikan makna tersendiri bagaimana nikmatnya mencintai ;)

    BalasHapus
  3. innalillahi wa innailahi raji'un..
    bapakmu, dek?

    BalasHapus
  4. Sedihhh bacanya ya pak hasan,,...

    pesan yg tersirat dr bapaknya pak hasan nie bnr2 jleb."bekerja bersungguh2 dng hati di kerjaan yg sedang qt jalani sekarang,, maka harapan yg qt impikan akan mengikuti dengan sendirinya"..bnr2 nice quote (^^)b.

    Kadang2 aku jg mikir, wktu qt ngejar sesuatu yang qt ingini terlalu ngoyo..justru gak pernah dapet,,tapi waktu qt ngebiarin gitu aj justru malh gampang digenggam..hmm,,intinya kyknya qt harus ikhlas ngejalani hidup bagaimanapun kedaanya ya,,..:)

    BalasHapus