Selasa, 12 April 2011

Memilih Warna Pakaian

Seingat saya, ini adalah note pertama saya semenjak saya mulai dipindahtugaskan di Jakarta. Bisa jadi hampir dua bulan saya tidak pernah duduk sejenak untuk merenung dan melamun. Bisa jadi juga dalam dua bulan itu ritme hidup berubah drastis dan baru pelan-pelan bisa dinikmati kembali. Ya, butuh setidaknya dua bulan untuk mencoba menikmati ritme yang baru. Jelas, bukan mengatur ritme, karena bagi saya mengatur ketat ritme hidup, berarti memperlama diri untuk bisa menikmati ritme. Opsi yang saya pilih adalah menikmati ritme yang tercipta di sini dengan melakukan tambalan di sana dan di sini.

Sedikit banyak, orang lain dengan karakter yang berbeda-beda semakin membuat saya belajar bagaimana menempatkan karakter pribadi di samping karakter orang-orang di sekitar kita.
Suatu saat saya merasa sedikit aneh dengan gaya teman-teman perempuan di kantor, kenapa mereka selalu menggunakan atasan, bawahan, dan jilbab yang dengan pilihan warna yang sudah tertentu? Misalnya di hari Selasa, baju seragam kami berwarna hijau daun (agak tua) dengan kombinasi warna hitam. Saya akan menebak, pasti mereka akan mengenakan rok atau celana bawahan yang berwarna gelap dan jilbab yang berwarna hijau atau gelap tapi bercorak lembut. Pastilah tidak akan mau jika teman-teman saya itu diminta untuk memakai bawahan batik dan jilbab berwarna merah darah. Kenapa? Mereka bilang, warnanya nggak matching, atau terlalu norak. Dan tidak sedikit pula temen-temen saya menghabiskan waktu dan berfikir cukup keras untuk sekedar membeli jilbab yang cocok dengan baju yang dimiliki. Nah, tentu saja setiap perempuan juga memiliki rasa yang berbeda-beda dalam urusan menentukan pilihan ini. Ada yang supercepat dan sedikit cuek dengan pilihannya, ada juga yang hati-hati dan teliti dalam menentukan pilihan warnanya. Pun, ketika dicocokkan di rumah ternyata kurang matching dengan warna bajunya, mereka akan mencoba mencocokkan dengan baju yang lain dengan harapan siapa tahu cocok. Kalau memang sudah mentok tidak ada baju dengan warna yang cocok, mereka akan menyimpan sementara sambil menunggu datangnya rejeki untuk membeli baju yang pantas dengan jilbab itu, atau bahkan memberikannya ke orang lain.
Entahlah, benar atau tidak, itu hanya sebatas tebakan saya saja. Yang jelas, setiap kita di lingkungan yang baru, akan menempatkan warna diri atau karakter kita dengan warna orang-orang di lingkungan kita yang baru dengan se-matching mungkin. Dan tentu warna diri yang tidak sesuai dengan seseorang tidak mutlak untuk dihilangkan karena akan cocok jika disandingkan dengan orang yang berbeda. Memilih warna diri yang sesuai dengan warna lingkungan pun membutuhkan waktu dan energi dan setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam pemilihan warna tersebut.
Nah, apakah seorang perempuan pernah salah dalam memilih warna untuk pakaiannya? Tentu saja. Dan apakah setiap kita juga pernah salah dalam menempatkan warna diri? Retoris.
Ketika seorang perempuan salah dalam memasangkan warna pakaian yang dikenakan, saya yakin perempuan itu akan segera memilihkan pasangan warna lain yang lebih sesuai atau menambahkan asesori sehingga pasangan itu tetap seperti semula tapi dengan pernik lain yang membuatnya lebih pantas. Mungkin sama buat kita, ketika mengalami kesalahan dalam menempatkan warna diri kita, pasti akan buru-buru kita perbaiki dengan cara yang mungkin berbeda-beda. Ada yang mencoba untuk menutupi, ada yang menghiasinya, ada pula yang langsung menggantinya. Masing-masing memiliki seninya. Tentu saja, tingkat kepantasanpun akan bervariasi pula.
Penyesuaian di sisi kita tentu saja akan lebih mudah untuk dilakukan. Nah, bagaimana penyesuaian di sisi orang lain? Apakah ketika orang lain membawa warna yang salah kepada kita, terus langsung kita bilang, “Pulang sajalah, warnamu tidak cocok. Ganti dulu “. Ataukah kita sedikit menahan dengan mengatakan, “Oh, nggak apa-apa, biasa kok, bukan hal yang serius. Tapi sepertinya kalau dipasangkan dengan warna yang itu lebih cocok kayaknya”.
Manakah yang lebih melegakan? Tentu kawan kita akan lebih lega dengan pernyataan yang kedua, meskipun bisa jadi tidak menyelesaikan masalah pada saat itu.
Saat ini saya hanyalah bicara masalah kepantasan dalam menyandingkan warna kita dengan warna orang lain dan tidak sedang berbicara tentang kebenaran dan kesalahan. Kalau bicara tentang kebenaran dan kesalahan yang dilakukan seseorang pastilah tidak cocok dengan cerita tersebut.
Saat membolak-balik buku yang beberapa pekan lalu saya beli di Islamic Book Fair di Senayan, saya menemukan sebuah puisi yang ada di dalam buku DDU-nya Mas Salim A Fillah yang mungkin lebih manis dalam menggambarkan keseharian interaksi kita dengan sahabat kita. Saya comot sebagian, moga-moga jadi pernikan pantas :
Karena tiap orang beriman tetaplah rembulan
Memiliki sisi kelam,
Yang tak pernah ingin ditampakkannya pada siapapun
Maka cukuplah bagiku
Memandang sang bulan
Pada sisi cantik yang menghadap ke bumi
Tentu, tanpa kehilangan semangat
Untuk selalu berbagi dan sesekali merasai
Gelapnya sesal dan hangatnya nasehat
Sebagaimana sang rembulan
Yang kadang harus menggerhanai matahari

Jakarta, 12 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar