Sabtu, 05 Februari 2011

Tidak ada Kekaguman Saya pada Mereka

Pada awalnya saya tidak merasakan suatu hal spesial dalam penggalan perjalanan saya di tempat itu. Akan tetapi kondisi yang saya alami saat ini memaksa saya untuk menuliskannya di note pendek ini. Tidak ada kekaguman saya pada mereka. Tidak ada sesuatu yang membuat saya mengidolakan mereka karena mereka awalnya memang biasa saja, berasal dari keluarga biasa, dan melakukan hal-hal yang sepatutnya dilakukan orang pada umumnya.
Akan tetapi yang membuat saya terinspirasi adalah beberapa moment perjalanan saya bersama mereka. Kenapa tidak dari dulu saya menuliskannya?Karena baru saat ini saya merasakan. Memang
bisa dibilang tidak cukup lama saya tinggal bersama mereka, hanya satu tahun. Terhitung Februari tahun silam saya menghabiskan kontrak kerja saya di tempat itu bersama mereka. Posisi saya saat itu sebagai pendamping mereka yang memang dikontrak untuk mendampingi semua aktivitas yang mereka lakukan dari bangun sampai tidur kembali sehingga mau tidak mau saya harus berperan sebagai “orang tua” yang harus memberikan warna yang cerah bagi mereka. Sekali lagi, itu memang tuntutan tugas. Secara formal, mereka mungkin menganggap bahwa saya adalah tempat belajar bagi mereka, akan tetapi secara nyata justru saya yang mesti banyak belajar dari mereka. Saya memang tidak mampu untuk menuliskan satu persatu, tapi setidaknya note singkat ini mengingatkan saya untuk terus menerus belajar dalam bingkai yang sederhana.
Tidak ada kekaguman saya pada mereka. Seingat saya dua tahun yang lalu saya ikut menyeleksi siswa-siswi SMA yang akan masuk ke tempat ini. Ada satu tahapan administrasi yang harus mereka lampirkan di formulir aplikasi yaitu menuliskan secara singkat siapa mereka. Ada satu kertas yang memang cukup menarik untuk saya simak sampai habis. Salah satu kalimat yang saya ingat dari secarik kertas itu adalah, “Saya berusaha sekuat tenaga agar tidak diajak bapak untuk pergi ke gereja karena memang saya muslim. Tapi saya bingung caranya gimana. Akhirnya saya minum es sebanyak-banyaknya agar saya demam sehingga sakit dan tidak diajak ke gereja. Tapi sepertinya bapak tahu apa yang saya lakukan”. Entahlah redaksinya benar atau salah. Tapi yang jelas setahu saya dia adalah satu-satunya muslim dalam keluarganya.
Tidak ada kekaguman saya pada mereka. Awal-awal anak ini masuk ke tempat ini dia selalu melakukan hal yang sama. Setiap ba’da shubuh, di dekat jendela di atas kamar saya selalu ada orang yang teriak-teriak. Setelah saya cermati ternyata tidak sekedar teriakan, tapi puisi dan anak ini yang melakukannya. Karena memang tidak biasa dan saya berpikir itu akan mengganggu tetangga yang memang jarak rumahnya cukup dekat saya menyuruh dia untuk menghentikan kebiasaannya. Hari berikutnya memang tidak ada suara itu lagi, tapi begitu saya lihat FB nya ternyata suara itu berubah menjadi statusnya. Suatu malam karena saking marahnya saya tidak membukakan pintu untuk dia masuk ke rumah karena memang saya buat aturan bahwa yang pulang lewat jam 11 malam tidak akan dibukakan pintu. Biasanya saya tetap iba, tapi kali ini tidak. Akhirnya dia tidur di teras rumah dengan beralas mantel yang menghiasi tubuh kecilnya kala mengendarai sepedanya. Akhirnya baru shubuh saya membuka pintu. Bukan marah, wajah yang muram, atau wajah dendam yang saya dapati. Justru dia cerita dengan wajah cerianya dan sambil tertawa bahwa anjing-anjing tetangga tadi malam mengganggu tidurnya. Entahlah, saya bingung dengan sikap anak ini.
Tidak ada kekaguman saya pada mereka. Seingat saya menjelang akhir tahun 2009 malam saya dipanggil ke asrama akhwat untuk memperbaiki kran yang rusak. Maklum, selain jadi pendamping saya merangkap jadi tukang yang mesti memperbaiki peralatan asrama yang rusak. Sebenarnya saat itu saya sudah cukup capek sehingga saya minta untuk menundanya besok paginya saja. Akhirnya dengan dibujuk dan diantar dengan sepeda motor oleh salah satu ikhwan akhirnya saya datang juga. Subhanallah, bukan kran rusak yang saya mesti saya perbaiki. Justru kran hati saya yang harus dibuka lebar-lebar sehingga air kesyukuran itu mengalir terus. Justru mereka yang mengingat momen penting dalam hidup saya dimana saya sendiri tidak ingat. Entah dari mana mereka dapatkan uang untuk membelikan sebuah arloji itu. Setahu saya mereka tidak punya uang banyak, wong buat mencukupi diri sendiri saja masih kurang.
Tidak ada kekaguman saya pada mereka. Di awal-awal masa kuliahnya, setiap pagi anak ini selalu berangkat lebih awal dengan sepeda onthelnya. Saya berfikir, ngapain anak ini berangkat kuliah sebelum jam 6 pagi? Emang kuliah dimulai jam berapa? Suatu pagi saya berpapasan dengan anak ini. Lho, kayaknya tadi berangkat pagi-pagi? Kok baru sampai jalan dekat asrama jam segini? Dengan cerianya dia membawa sekotak kue-kue yang baru saja dibelinya dari pasar. Dipangkunya kotak kue itu di atas sepeda onthelnya dan dengan cerianya dia sapa saya, “Mas, duluan ya..”. Setelah saya telusuri ternyata anak ini memang kuliah sambil jualan kue. Katanya, biasanya pegawai perpus yang banyak memborong kue-kuenya.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari mereka. Akan tetapi, bisa jadi justru beberapa sikap sederhana mereka yang membuat saya berfikir untuk menyisihkan ruang di hati untuk menikmati sebuah kebahagiaan dalam kesederhanaan sikap.

Paiton, 5 Februari 2011

3 komentar:

  1. Tulisannya membuat rindu pada saat-saat indah itu...

    BalasHapus
  2. Hasan, jadi ingat perbincangan di mobil, sepulang kami dari rumah antum, rapat kerja manajemen daerah. kami berempat di dalam mobil berbincang panjang tentang para calon mutiara2 itu. saat itu terbersit, ingin sekali menuliskan pengalaman2 kita membersamai mereka dan kemudian dibukukan. itu perbincangan sesaat di dalam mobil, namun semoga suatu saat, bisa diwujudkan. Mari menulis...
    Note : nulis yang banyak tentang ini ya San. nanti kita kumpulkan. ga di upload juga gpp. ini jadi proyek karya kita. okey?! semoga dimudahkan.

    BalasHapus
  3. ditunggu tulisan berikutnya ya San. ttg anak2 itu.. oke!

    BalasHapus