Rabu, 22 Desember 2010

Financial Planning Bujangan. Perlu Nggak ya?

Sekali waktu saya begitu sangat tertarik dengan tulisan dari Safir Senduk dan Ligwina Hananto tentang perencanaan keuangan pribadi dan keluarga. Sampai-sampai saya tiap hari saya selalu menyempatkan membaca tulisan yang ditulis oleh mereka. Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan hal-hal seperti ini, karena toh saya make uang-uang saya sendiri, nggak make uang orang lain. Tapi setelah dicermati, perencanaan keuangan itu sangat diperlukan untuk merencanakan kehidupan dan masa depan pribadi kita. Kalau saya fikir, perencanaan keuangan sudah harus mulai diajarkan pada anak sejak dini sehingga ketika menginjak dewasa mereka tahu apa yang harus dilakukan dengan uangnya. Perencanaan keuangan bukan berarti menjadi orang yang pelit karena apapun sudah direncanakan termasuk harta yang akan digunakan untuk infaq, wakaf, sodaqoh, ataupun zakat sehingga tidak ada alasan bagi pribadi untuk mengapologi kesalahan kita memberikan uang yang kita miliki pada jalur yang sebenarnya "berat di hati". Dengan perencanaan keuangan pun justru tidak akan menghalangi keinginan kita karena keinginan kita justru menjadi salah satu nomor dalam perencanaan keuangan kita. Nah, saya coba bercerita saja tentang pengalaman saya pasca lulus kuliah. Awalnya saya tidak terlalu perhatian dengan masalah keuangan kita. Anggap saja saya punya uang saku awal jadi pegawai sebesar 5 juta rupiah. Oke, saya pergunakan uang itu untuk makan, untuk ngekos, untuk jalan-jalan, untuk infaq, untuk ngasih orang tua, dll. Beberapa hari berselang, eh, ternyata ada kebutuhan mendadak bahwa ternyata saya membutuhkan sebuah buku yang memang harus segera saya beli. Tapi ada daya, di dompet ternyata sudah tidak bersisa uang sebesar 5 juta itu :). Pusing di pikiran, soalnya gajian masih harus menunggu berhari-hari. Itu kejadian kecil yang saya alami untuk saya pribadi, belum kalau nanti saya sudah mempunyai istri dan anak. Bisa jadi urusan kesehatan dan pendidikan anak akan terbengkelai gara-gara saya nggak bisa ngatur keuangan saya sendiri. Saya pun dulunya orang yang sangat "tidak mengaggap" uang receh (ratusan rupiah). Tapi setelah saya coba untuk membuat celengan kecil dari botol bekas dan menaruh uang yang "tidak saya anggap" tersebut ke dalamnya. Setelah berbelanja di supermarket saya coba menaruh uang receh tersebut ke dalamnya. Pernah dalam seminggu saya cek, ternyata uang receh itu sudah berjumlah lima ribu rupiah. Hah? saya cukup kaget dan terkejut. Ternyata sampai lima ribu rupiah. Besar juga ya? Itu cukup untuk sarapan pagi dengan menu pecel. Kalau sebulan sudah 20 ribu saya kumpulkan dari uang receh. Nah, mulai saat ini saya coba atur keuangan saya dengan mulai memisahkan antara tabungan dan kebutuhan sehari-hari. Saya memang baru sampai pada tahap menyisihkan uang untuk tabungan. Saya membuat rekening tersendiri pada tabungan saya (tanpa ATM) sehingga apapun alasannya saya susah untuk mengambil uang itu. Tentu saja saya memang mesti disiplin dengan pengeluaran lain yang memang tidak menjadi prioritas dalam kehidupan saya. Apalagi masih muda dan bujang. Obsesi sih ingin dapat investasi reksadana dari sebagian tabungan yang saya sisihkan setiap kali gajian.

Paiton, 23 Desember 2010
~Masih di sela-sela istirahat kantor~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar