Minggu, 02 Maret 2014

Memotong POLA



Hampir setahun saya menempati tempat tinggal baru di Bantul yang artinya hampir setahun juga saya harus melewati sepanjang Jalan Parangtritis, Jalan Brigjen Katamso, dan Jalan Mataram menuju tempat kerja di Jalan Mangkubumi. Dalam kurun waktu itu, ada satu hal menarik yang saya sebut sebagai ‘POLA’. Dari pengamatan saya menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempertahankan POLA yang sama dalam beraktivitas, dan mungkin saya salah satunya. Seseorang akan melakukan aktivitas yang serupa dari waktu ke waktu dikarenakan tuntutan pekerjaan ataupun karena sengaja membiasakan sesuatu. Seringkali, tanpa sadar kita melakukan seluruh aktivitas itu tanpa sadar yang berarti ‘memory otot’ bekerja mendahului memory otak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap paginya – setidaknya di hari kerja – di Perempatan Lampu Merah Jogokariyan (Swalayan Superindo), saya selalu menjumpai gadis penjual koran berjilbab dengan slayer yang menutupi sebagian wajahnya. Rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana wajahnya harus saya simpan sampai detik ini karena selama setahun ini belum pernah sekalipun saya temui gadis itu membuka penutup wajahnya. Nah, hal yang menarik adalah kontrasnya pemandangan sore hari yang kerap saya temui ketika perjalanan pulang. Di awal perjalanan pulang, biasanya saya beriringan dengan beberapa tukang becak yang saya perkirakan usianya di atas Bapak saya sedang menggenjot becaknya ke arah selatan meninggalkan Jalan Mataram menuju Jalan Brigjen Katamso. Sampai di perempatan Ringroad Jalan Parangtritis saya jumpai sekelompok remaja memainkan peralatan musik seadanya, meminta simpatik kepada pengguna jalan agar memberikan sebagian recehan yang dimilikinya. Ah, sulit bagi saya memahami ketimpangan besar ini. Di satu sisi, saya menilai wajar ketika ada orang yang usianya di atas Bapak saya sedikit beristirahat (baca : tidak bekerja keras) dan menikmati hasil jerih payah yang selama ini diusahakan. Saya memang tidak tahu persis kondisi riil bapak-bapak tukang becak itu, apakah kerja keras mereka yang masih ditunjukkan sampai saat ini didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat atau wujud pengabdian kepada Allah. Sebagian bapak-bapak itu mungkin sudah berada dalam kondisi yang layak, anak-anak sudah mentas sehingga kerja keras itu masih mereka tunjukkan sebagai wujud syukur dan pengabdian terhadap semua kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka. Di sisi lain, nalar saya masih belum menerima dengan profesi pengamen yang dijalankan oleh remaja yang acap saya temui setiap sore di perempatan Ringroad Jalan Parangtritis. Saya menganggap bahwa profesi yang mereka jalankan itu masih jauh dari wujud mengemban tanggung jawab sebagai pribadi yang dikaruniai akal dan badan yang sehat. Saya semakin tidak simpatik setelah melihat kebiasaan mereka menghias mulutnya dengan gulungan kertas berisi tembakau. Sekarang mari kita nilai bersama, apakah alasan kita memberikan uang receh itu lebih karena iba, takut, atau memang menikmati lagu yang dibawakan? Seandainya alasan kita memberikan recehan itu karena rasa iba ataupun takut maka dapat kita simpulkan bahwa profesi ‘menjual kemiskinan’ ini cukup menjanjikan. Mungkin menjalani profesi sebagai pengamen jalanan ini lebih menjanjikan dibandingkan menjadi tukang becak ataupun tukang koran. Menjadi tantangan tersendiri merubah POLA pikir yang sudah dibentuk sekian lama. Seperti pembahasan di awal tadi, POLA yang sudah tertanam di otak adalah “mengamen, mengamen, dan mengamen”. Dengan tertanamnya POLA itu seseorang akan sulit berpindah menjalani profesi lain. Mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu gaji yang akan diterima dengan pendapatan yang diperolehnya ketika mengamen.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat ini, sepertinya uang menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan identitas. Banyak dari kita yang menjalankan pekerjaan hanya sekedar untuk mendapatkan uang dan sengaja menutup manfaat lain dari pekerjaan itu sendiri. Kita baru akan menghayati manfaat itu ketika pekerjaan itu sudah lepas dari kita. Banyak orang merasakan bahwa rasa sakit di-PHK itu bukan karena bayang-bayang kehilangan sumber uang untuk penghidupan. Mereka lebih sakit merasakan rusaknya harga diri dikarenakan status PENGANGGURAN. Dengan bekerja kita memiliki identitas. Dengan bekerja kita dapat menjelaskan kepada diri kita sendiri siapa kita sebenarnya dan seberapa pentingnya kita bagi orang lain.
Di sini tentu kita tidak berbicara tentang kompleksnya menyelesaikan permasalahan pengemis dan pengamen. Bukan kapasitas saya untuk membahas itu. Saya hanya ingin mengembalikan diri kita masing-masing sebagai manusia yang seutuhnya. Manusia yang mampu mengemban tanggung jawab sebagai pribadi, menjaga identitas dan harga diri dan bahkan melampauinya. Untuk mengembalikan itu semua diperlukan upaya memotong POLA salah yang sudah lama tertanam dan mengakar di otak. Dan alat untuk memotong POLA itu adalah SYUKUR.

Bantul, 2 Maret 2014            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar