Selasa, 04 Maret 2014

Kenyataan Itu Kadang Paradoks



Sebuah hipotesis akan divonis saat kenyataan berbicara. Dalam ilmu statistik, yang disebut dengan hipotesis adalah pernyataan tentatif (sementara) yang merupakan dugaan mengenai apa saja yang sedang diamati. Beberapa tahun yang lalu saya memiliki sejumlah hipotesis tentang apa yang pernah saya amati atau dialami oleh orang-orang di sekitar saya. Sejumlah hipotesis bernada optimis akan tetapi tidak sedikit pula yang bernada minor (baca : kekhawatiran). Dan akhir-akhir ini, saya mencoba membuktikan hipotesis itu hanya dengan modal sense yang saya miliki. Hasilnya? Tidak semua hipotesis optimisme menjadi hal yang membahagiakan, dan tidak  semua hal yang dikhawatirkan berakhir dengan kesedihan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa-masa SMP, saya beranggapan bahwa masa depan akan lebih cerah ketika nanti melanjutkan sekolah ke SMK dan bukan SMA karena setelah lulus SMK dipastikan dapat pekerjaan, bahkan siswa yang pintar akan dicari oleh perusahaan. Nyatanya? Tidak semua lulusan SMK langsung diterima kerja di tempat yang diinginkan. Ada yang masih harus melanjutkan kuliah, ada yang berwirausaha, dan ada pula yang luntang-luntung dalam waktu yang lama. Kesimpulannya, apakah masuk SMA lebih menjanjikan? Tidak juga.
Awal-awal masuk SMA, saya beranggapan bahwa setiap siswa yang menjadi juara umum untuk setiap angkatan di sekolah ini akan masuk ke jurusan Pendidikan Dokter. Buktinya? Tidak semua siswa yang menjadi juara umum di setiap angkatan masuk ke jurusan Pendidikan Dokter. Tetap ada sang juara yang memilih untuk jadi dokternya mesin.
Masa-masa itu saya juga beranggapan bahwa untuk menjadi ‘orang’ (baca : Pegawai Negeri) selain modal pintar, seseorang harus punya ‘modal lain’ berupa uang. Tapi ternyata saya dan kakak saya tidak mengalaminya.
Meskipun tinggi badan saya kurang memadai untuk menjadi seorang tentara, saya sangat tertarik dengan dunia militer dan saya menganggap menjadi seorang tentara itu sebuah profesi yang ‘WOW’. Akhirnya saya beranggapan bahwa laki-laki yang punya tubuh tinggi dan badan sehat kok rasanya sayang sekali bila tak mencoba mendaftar sebagai tentara. Tapi kenyataan berbicara bahwa tidak semua orang dengan tubuh tinggi dan badan sehat berminat jadi tentara. Ada yang jadi dokter, tukang sirkus, pelukis, atau bahkan tukang kayu.

Masa-masa mahasiswa saya sempat beranggapan, bahwa mahasiswa paling pandai pasti nasibnya jadi dosen. Dia akan kuliah S2 di luar negeri dan pulangnya akan langsung diangkat menjadi dosen di universitas yang sama. Apakah generally seperti itu? Tidak semua. Banyak lulusan cumlaude yang memilih untuk bekerja di perusahaan ataupun berwirausaha.
“IPK di atas 3,50 itu nanti nasibnya jadi dosen, IPK 2,75 – 3,50 itu akan bekerja di perusahaan atau menjadi pegawai negeri, dan IPK di bawah 2,75 itulah yang akan berhasil jadi pengusaha”. Ada yang pernah dengar kalimat tersebut? Kalimat itu pun dulu sempat membayangi saya. Apakah semua terbukti? Tidak semua. Banyak wirausaha dengan IPK di atas 3,50. Ada juga dosen dengan IPK kurang dari 3,50.  
Saya sempat beranggapan bahwa cowok cakep pasti ceweknya cantik. Apa yang dikatakan kenyataan? Tidak semua. Ada yang masih ingat dengan Reynaldi (artis cilik sejaman dengan Giovanni, Maissy, dkk.)? Menurut saya dia cakep (catat : common sense, saya masih normal sebagai lelaki), tapi apakah ceweknya cantik? Tidak, justru dia yang sekarang jadi cantik. Makanya sekarang timbul istilah kalau cewek cantik rata-rata pacarnya cowok gendut karena cowok atletis pacarnya ganteng.
Saat aktif di organisasi ROHIS, saya menganggap bahwa semua aktivis ROHIS nikahnya pasti cepet (di bawah usia 26 tahun) dan dapat pasangan sesama aktivis. Ternyata tidak semuanya, banyak juga yang masih bujangan sampai bilangan umur di atas 27. Saya salah satunya.
Dulu saya sempat menganggap bahwa harusnya seseorang itu menikah dulu baru menikahkan. Ibaratnya, yang menjodohkan hendaknya sudah memiliki jodoh terlebih dahulu. Tabu jika hanya ‘omong thok’. Tapi kenyataannya Allah menakdirkan saya untuk menjadi wali bagi kakak perempuan saya yang akan menikah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jadi, mengulang paragraf pertama, ternyata tidak semua optimisme akan berbuah kebahagiaan dan tidak semua kekhawatiran berakhir menyedihkan. Hidup itu penuh dengan warna, tidak hanya merah, biru, dan kuning. Ada banyak warna lain yang tercipta dari perpaduan warna-warna itu. Ada banyak grafik selain grafik linear. Sesuatu kadang terjadi tak terduga layaknya grafik eksponensial. Sesuatu pun kadang berulang seperti grafik parabola. Berbicara tentang minat, kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk menyukai tenangnya sawah yang menghijau. Di luar sana, ada banyak orang yang justru menyukai lautan dengan deburan ombaknya yang berlapis.
Kenyataan kadang paradoks. Dulu Cina kita kenal sebagai negara yang menganut paham komunisme, tapi ternyata perekonomiannya menganut sistem pasar (kapitalisme). Kejayaan puncak tidak jarang menjadi pertanda akan berakhirnya sebuah kekuasaan. Kerajaan Mataram Kuno berakhir di Airlangga (1016 - 1049) yang merupakan raja termasyhur karena berhasil meluaskan kekuasaannya di Nusantara.
Hikmahnya, tidak semua kesenangan yang didapatkan sekarang akan menjadi hal yang dibanggakan terus menerus dan tidak semua kesedihan yang didapatkan sekarang akan diratapi terus menerus. Yang terpenting hanya perlu berjalan pada koridor Tuhan.

~ Cara terbaik mengatasi kekhawatiran adalah menutup mulut yang yang menularkan kecemasan ~

Bantul, 4 Maret 2014

1 komentar:

  1. Bahasane abot...*setidaknya ketika bacanya pas sirahe mumet"
    Jarene kancaku "saya dan kamu beda, maka bahagia kita beda"

    BalasHapus