Kamis, 20 Februari 2014

Pemimpin dan Rakyat, Tanpa Penyekat


Salah satu bab pada Buku “Takhta Untuk Rakyat” yang disusun oleh Mohamad Roem menceritakan salah satu kesan Rakyat Yogyakarta terhadap Rajanya saat itu, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bab ini menceritakan kejadian yang dialami oleh S.K. Trimurti (penulis bab) pada masa Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia (tahun 1946). Pada suatu hari beliau mengalami suatu kejadian yang “lucu”. Waktu itu beliau naik andong dari Jalan Malioboro ke utara menuju rumah  yang terletak di Jalan Pakuningratan (utara Tugu Jogja). Baru sampai perempatan Tugu, beliau melihat banyak orang berkerumun di pasar Kranggan. Saking penasarannya, beliau turun dari andong dan berjalan menuju kerumunan itu. Salah seorang dari kerumunan itu memberitahu bahwa baru saja ada seorang wanita pedagang yang pingsan di depan pasar. Beliau berfikir, kalau hanya orang pingsan saja bukan hal yang aneh karena dan bila perlu dibawa ke Rumah Sakit. Akan tetapi yang menarik bukan pingsannya wanita pedagang itu, akan tetapi penyebabnya. Kutipan lengkapnya sebagai berikut :

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Wanita pedagang beras ini datang dari daerah Kaliurang. Waktu ia menunggu kendaraan di tepi jalan, dari kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke selatan. Wanita ini memberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke Pasar Kranggan. Ia memang biasa nunut-nunut kendaraan yang datang dari utara menuju ke selatan, dan pulangnya juga nunut kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui, berapa rupiah rata-rata untuk satu kali menumpang.
Jip itu berhenti di depan wanita tersebut. Seperti biasanya, dia menyuruh sopir kendaraan untuk mengangkat bawaannya, beras entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam Jip. Sopir itu pun mengikuti perintahnya.
Setiba di pasar Kranggan sopir itu pun turun dan menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam Jip. Setelah selesai, wanita pedagang itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagai imbalan kepada sopir. Namun, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang itu dan mengembalikannya kepada wanita tersebut. Wanita itu marah-marah karena mengira bahwa ia menuntut upah yang lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya ia mengatakan, mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang “sekian”, padahal biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan Jipnya dan terus menuju ke arah selatan.
Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang kebetulan berada di sana menghampiri wanita tersebut dan bertanya, “Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?”
Masih dalam nada marah, wanita pedagang itu menjawab, “Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir satu ini agak aneh”. Polisi itu berkata lagi,”Kalau mbakyu belum tahu, saya akan kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini”. Seketika itu juga wanita pedagang tadi jatuh pingsan, terjerembab ke tanah. Ia sangat menyesali sikap dan perbuatannya dan merasa sangat kurang ajar terhadap rajanya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Barangkali cerita di atas sedikit mengobati kerinduan kita terhadap pemimpin yang rendah hati, sederhana, dan humanis. Pemimpin yang tidak segan berada di dalam satu ruang rakyatnya, tanpa penyekat. Yang kita butuhkan saat ini bukanlah dorongan untuk menjadi lebih baik ataupun tarikan menuju ke puncak dari seorang pemimpin. Saat ini mata kita dapat melihat lebih tajam, otak dapat mengolah lebih cepat, dan hati dapat merasa lebih peka terhadap sebuah keteladanan. Karena keteladanan adalah penyeimbang dari dorongan dan tarikan itu.

“Tapi, seorang pemimpin kan tidak hanya berkutat dengan tiga aspek itu saja? Pemimpin kan fungsinya tidak hanya mendorong, menarik, ataupun menjadi penyeimbang saja?”
Ya, kita semua  mafhum dengan hal itu. Persoalan banjir tidak akan selesai dengan blusukan saja. Persoalan korupsi pun tidak akan selesai dengan hanya melakukan pola hidup sederhana. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa semua sistem yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan hanya akan menjadi sebuah monumen tanpa adanya satu keteladanan.

Bantul, 20 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar