Minggu, 24 November 2013

Beyond Physical



Hal yang paling tidak saya sukai ketika berada di China beberapa waktu lalu adalah saat makan malam. Selain menghabiskan waktu yang lama, kebiasaan penduduk China adalah menyertai jamuan makanannya dengan arak. Menurut mereka, ini adalah cara yang dilakukan untuk menghormati tamunya. Untuk tamu biasa, mereka sertakan arak merah sedangkan untuk tamu spesial atau dihormati, mereka akan menyuguhkan arak putih. Untung saja rombongan kami dari Indonesia mengatakan sejak awal bahwa kami adalah muslim sehingga tidak meminum arak ataupun makan babi.

Mereka akan menghidangkan makanan dengan mengeluarkan satu persatu (tidak dalam satu waktu) makanan di meja putar, mulai dari makanan yang tergolong ‘ringan’ sampai menu makan ‘berat’ dan ditutup dengan nasi atau mie.

Mereka merayakan setiap moment yang patut disyukuri dengan tradisi menjetikkan antar ujung gelas  atau biasanya kita kenal dengan ‘toast’. Saya hitung tidak kurang dari sepuluh kali kami diajak ‘toast’ dalam satu jamuan makan malam. Yang membuat saya terbengong adalah mereka mengucapkan ‘Selamat Idul Adha’ kepada rombongan kami dengan cara itu juga (kebetulan saat itu bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha). Bisa dibayangkan anehnya. Setiap saat pelayan akan memperhatikan gelas-gelas kami dan selalu siap menuangkan arak (atau teh hijau bagi rombongan kami dari Indonesia) di gelas yang kosong. Perjamuan akan diakhiri ketika kami sudah berhenti makan dan makanan di atas meja masih tersisa. Apabila habis, makanan yang baru akan dihidangkan lagi sampai makanan di atas meja tidak habis. Filosofi tentang hal ini  berkebalikan dengan budaya kita. Dalam budaya China, mereka akan merasa malu apabila makanan yang dihidangkan habis, karena mengindikasikan makanan yang disuguhkan kurang banyak sehingga tamunya belum puas.

Memang, ketidaknyamanan yang saya rasakan ini muncul karena perbedaan budaya dan keyakinan sehingga rasa ini tidak bisa di-gebyah uyah menjadi sebuah keumuman perasaan ketika orang lain menghadapi hal yang serupa. Bisa jadi orang lain justru akan merasakan kenyamanan dengan pelayanan yang telah mereka lakukan.  

Terlepas dari cerita tentang ketidaknyamanan dan konteks gratifikasi, saya mengapresiasi cara mereka untuk menghormati tamu. Saling bertoast dan meminum arak seraya mengucapkan ‘Selamat Idul Adha’ adalah cara mereka berempati kepada rombongan kami. Dalam hidangan yang mereka suguhkan pun tidak saya temukan pork (babi), padahal mereka sudah terbiasa menghidangkan dan memakannya. Dan kalau mereka mau, bisa saja mereka hanya sekedar memberikan kami makanan dan minuman tanpa memperhatikan keyakinan kami sebagai seorang muslim. Toh tugas mereka hanya mendampingi kami sampai selesai, bukan untuk melayani kami.

Inilah yang sering disebut sebagai beyond physical menurut Arvan Pradiansyah (2012). Tugas mereka bukan sekedar memberikan kami makanan, melainkan melayani kami sebagai pelanggan.

Menurut Arvan Pradiansyah (2012), apabila kita mengatakan bahwa tugas kita adalah melayani, sesungguhnya kita sudah sampai pada sebuah tataran spiritualitas, sebuah kesadaran bahwa yang kita lakukan dalam pekerjaan kita sesungguhnya adalah sesuatu yang beyond physical. Jadi jika kita masih melihat pekerjaan semata-mata dari aspek fisiknya, kita telah kehilangan sebagian besar esensi pekerjaan kita. Orang-orang yang masih melihat pekerjaan secara fisik sesungguhnya telah menurunkan derajat kemanusiaan menjadi robot-robot yang berjalan dan bernapas.

Dalam konsep pemasaran, Kelvin Lancester (1966) mengatakan bahwa konsumen tidak sekedar memperhatikan produk yang mereka hasilkan, akan tetapi lebih kepada ‘atribut’ barang yang bersangkutan. Yang dimaksud atribut suatu barang adalah semua jasa yang dihasilkan oleh penggunaan dan atau pemilikan barang tersebut.

Entahlah, saya juga masih menduga bahwa apa yang mereka lakukan itu pantas disebut sebagai ‘atribut’ menurut konsep Kelvin Lancester ataukah tidak. Yang jelas, apa yang telah mereka lakukan itu menginspirasi kita bahwa setiap pekerjaan membutuhkan sisi kemanusiaan dan pelayanan yang lebih dibandingkan sisi fisik pekerjaan itu sendiri.

~Bantul, 24 November 2013~       

1 komentar:

  1. tetap saja ya budaya yang paling indah adalah budaya islami
    dimulakan dengan doa dan diakhiri dengan doa...trus tidak disisakan juga makananya...
    ad hadist yg mengatakan makann yang baik adalah makann yang banyak tanganya diatasnya?iy g ya...

    BalasHapus