Rabu, 20 November 2013

Air Itu Telah Membakar



Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika teman saya ini akan menjadi musisi dan pemilik beberapa studio musik yang sukses – setidaknya menurut ukuran saya- di Jogja. Apa pasal? Karena backgorund pendidikannya adalah engineering, sama seperti saya. Sebelumnya, saya termasuk orang yang punya pemikiran mainstream tentang pekerjaan dan kehidupan. Lulusan Pendidikan Dokter pastilah akan menjadi seorang dokter, lulusan Farmasi tentu akan menjadi apoteker, dan lulusan Fakultas Teknik, pantasnya menjadi seorang engineer. Jadi, jika seseorang ingin jadi musisi, harusnya dia mengambil jurusan seni musik.

Tapi, keyakinan saya seperti ini perlahan mulai tergerus dengan melihat sekian fakta empirik yang sama sekali berbeda. Tidak semua lulusan Pendidikan Dokter Gigi akan menjadi dokter. Tidak terhitung banyaknya lulusan Fakultas Pertanian yang menjadi Bankir. Bahkan ada juga wartawan yang akhirnya menjadi CEO Perusahaan Listrik Negara. Tentu kita masih ingat Tina Talisa, seorang news anchor di sebuah televisi swasta yang ternyata lulusan Kedokteran Gigi atau Pak Dahlan Iskan yang memiliki latar belakang sebagai wartawan dipercaya memimpin Perusahaan Listrik Negara dan selanjutnya ditunjuk sebagai Menteri BUMN.

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan orang-orang tadi sangat yakin menjalani profesi yang sangat berbeda dari latar belakang pendidikan yang ditempuh ataupun pekerjaan sebelumnya?

Saya yakin, mayoritas yang membaca tulisan ini akan berfikir jawaban seperti ini :
“Pasti Tina Talisa itu memang sudah punya bakat jadi news anchor, dan kuliah di Kedokteran Gigi itu adalah cita-citanya yang lain”
“Pak Dahlan juga punya beberapa pembangkit listrik di Kalimantan sebelum jadi CEO PLN, jadi sudah tahu garis besar proses bisnis di PLN”

Memang benar bahwa bakat ataupun pengalaman adalah salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terjun ke dalam ‘dunia lain’ yang berbeda sama sekali dari latar belakang pendidikan, akan tetapi ada faktor lain yang tidak kalah penting yaitu belief dan confidence.

Rhenald Kasali dalam bukunya Marketing in Crisis mengatakan bahwa belief adalah suatu kepercayaan yang bersifat fundamental dan general serta menyangkut apa yang dipercayai oleh seseorang dalam hidup ini sedangkan confidence adalah kepercayaan pada diri sehingga sering disatukan menjadi kata self confidence. Sebaliknya, kalau tidak yakin dengan kemampuan diri  maka kita dikatakan kehilangan confidence.

Belief merupakan modal untuk menyetel ekspektasi hidup seseorang. Kepuasan diri (self satisfaction) sangat tergantung pada seberapa tinggi kita menaruh harapan pada sesuatu yang ingin dicapai.  Kepuasan diri inilah yang membentuk kepercayaan diri dan berpengaruh pada keberhasilan pembentukan harga diri (self esteem).

Meskipun orang-orang yang saya ceritakan di atas tidak pernah bercerita secara blak-blakan, saya yakin teman saya, Tina Talisa, dan Pak Dahlan  sudah memiliki modal core belief untuk menjadi musisi, news anchor, ataupun  pemimpin perusahaan dan mereka menaruh harapan yang begitu besar pada keyakinannya itu.

Buktinya beberapa lagu yang dimainkan teman saya ini bersama grupnya, ia unggah di Youtube dan sejumlah pesan singkat tentang studio musik dan proyek pembangunan studio musik di beberapa daerah seringkali mampir di HP saya.  Inilah yang saya nilai sebagai wujud penghargaan kepada diri (self esteem) atas kepuasan terhadap apa yang dia percaya mampu dilakukan selama ini.

Meminjam istilah Pak Iwan Agung (saat ini General Manager PLN Unit Pembangkitan Jawa Bali) dalam bukunya Positive Power, air itu mempunyai dua sisi berlawanan yang sama-sama powerful. Di satu sisi, air itu bersifat menyejukkan, menghidupi makhluk bumi, dan memadamkan api. Di sisi lain, kalau kita pernah jalan-jalan di PLTA Cirata, PLTA Saguling atau PLTA Sutami, air dimanfaatkan energi potensialnya sehingga dapat menghasilkan listrik yang menerangi dan bahkan acap disalahkan apabila terjadi kebakaran dengan sebab hubung singkat. Air yang awalnya dingin dan menyejukkan itu dapat menjadi api yang menyala-nyala.

Kalau air saja mampu seperti itu, manusia pasti bisa lebih dengan kekuatan core belief..

~Bantul, 20 November 2013~

1 komentar:

  1. Berarti sebenarnya manusia itu juga memiliki lebih dari dia sisi u tuk aktualisasi diri ngunu?
    Nek perumpamaan air nya aku rodo paham ning nek karo Tina dan pak Dahlan ijih bingung. Haahaa

    BalasHapus