Kamis, 18 April 2013

Sudah Seharusnya Makna Itu Diciptakan

Beliau adalah seorang Insinyur perminyakan yang bekerja di salah satu perusahaan minyak swasta, Chevron (dulunya kita kenal dengan Caltex). Beberapa tahun silam beliau ditugaskan untuk bekerja di Amerika Serikat. Sudah menjadi hal yang mafhum bahwa karyawan yang bekerja di perusahaan itu akan dirotasi dengan lingkup yang luas. Tidak hanya nasional, akan tetapi rotasi dengan panjang sumbu yang melintasi batas negara. Insinyur perminyakan dari ITB ini membawa serta istri dan anaknya yang masih berusia Sekolah Dasar. Mau tidak mau, anaknya pun harus meneruskan sekolah di negeri ini karena waktu empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Beliau berfikir bahwa akan ada banyak kesempatan yang hilang untuk anaknya apabila selama kurun waktu itu tidak melanjutkan sekolah.

Namun setiap anak memiliki tingkat adaptasi yang berbeda-beda
terhadap lingkungan barunya. Ada yang sangat cepat beradaptasi, dan ada pula yang resisten terhadap lingkungan baru. Celakanya, anaknya Beliau ini termasuk kategori yang kedua. Mungkin perbedaaan budaya yang mencolok membuat sang anak takut untuk berbaur dengan lingkungan barunya. Terbayang di benak sang anak wajah-wajah asing dengan bahasa yang asing di telinga.
 
“Pasti mereka nakal-nakal”, pikir anak ini.

Sedikit cerita, bahwa anak-anak di sini diajari untuk lebih mandiri. Mereka tidak boleh diantar – jemput oleh keluarganya ketika sekolah dan diharuskan untuk naik Bis Sekolah. Keharusan ini menambah ketakutan sang anak.

“Mungkin anak ini hanya sehari dua hari saja betah di rumah. Lama-lama juga akan bosan tidak punya teman yang sebaya”, pikir Beliau.

Megejutkan, berminggu-minggu anak ini sangat betah di rumah dan betah ‘ngambek’ tidak mau masuk sekolah sekolah. Inilah yang membuat pusing Beliau. Sampai suatu saat Beliau harus mendatangani Kepala Sekolah. Beliau ceritakan kondisi anaknya dan sekaligus memohon izin agar bisa mengantarkan anaknya masuk sekolah. Kepala Sekolah mengizinkan Beliau mengantar anaknya masuk sekolah dengan masa percobaan satu bulan.

Dengan sedikit paksaan, akhirnya anak ini mau masuk sekolah dengan diantar oleh ayahnya. Hari pertama, anak ini dibawa keliling sekolah dan berakhir ke ruang kelas untuk bertemu dengan teman-teman di kelasnya.
Sekelebat anak ini memandang kondisi sekolah yang berbeda dengan sekolahnya dulu di Indonesia. Melihat ruang kelas yang mirip dengan tempat bermain membuatnya merasa ‘aneh’.


Dikenalkanlah anak ini dengan teman-teman baru oleh gurunya. Rupanya guru ini sudah mendapatkan banyak informasi tentang anak ini.

Dengan Bahasa Inggris yang pelan – agar mudah dipahami oleh anak Indonesia ini– guru ini berkata di depan kelas, “Anak-anaku sekalian, pada hari ini, kita mendapatkan satu sahabat lagi”.

“Sahabat kita yang satu ini sangat luar biasa”, lanjutnya.
“Anak-anaku semua, Ibu mau bertanya, siapa di antara kalian yang pernah terbang selama lebih dari 28 jam melintasi Khatulistiwa dan melintasi berbagai negara?”

Hening seluruh kelas. Tidak ada jawaban, karena memang belum pernah ada anak yang bepergian ke luar negeri di kelas itu.

“Tidak ada?”, sahut guru itu memecah hening, “Luar biasa, sahabat kalian yang di depan ini sudah terbang lebih dari 28 jam, melintasi Khatulistiwa dan melintasi banyak negara!”, lanjutnya.

Perlahan, mulai muncul rasa percaya diri anak Indonesia ini.

“Siapa di kelas ini, siapa yang pernah ke luar negeri lebih dari satu tahun?”, lanjut guru itu dengan pertanyaan kedua.

Hening kembali.

“Tidak ada?”, sahutnya kembali, “Sahabat kalian yang di depan ini luar biasa. Dia akan tinggal di luar negeri selama empat tahun”, lanjutnya.

Kembali riuhlah kelas itu dengan tepuk tangan dan mulai menjalarlah rasa percaya ini anak Indonesia ini.

“Satu lagi”, lanjut guru itu dengan pertanyaan ketiiga, “Siapa di kelas ini yang bisa berbahasa asing selain Bahasa Inggris?”

Tidak ada jawaban.

“Tidak ada?”, sahutnya sambil menyapu pandangan ke seluruh kelas, “Sahabat kalian ini sangat lancar berbahasa asing – Bahasa Indonesia – “, pungkasnya.

Membekaslah  rasa percaya diri yang mengalirkan kebermaknaan. Ya, guru itu telah membuat anak Indonesia ini sadar akan kehebatan dan kebermaknaan dirinya. Guru itu mengajarkan bahwa setiap orang dibekali dengan kelebihan untuk membuat setiap orang merasa bermakna untuk diri dan lingkungannya. Guru itu juga menanamkan tentang membership, pengakuan sebagai bagian dari sebuah keluarga. Pengakuan bahwa anak Indonesia ini adalah bagian dari keluarga di kelas.

                                                                                      ***

Kasus lain, mungkin kita pernah merasa jengkel karena pesawat yang kita tumpangi mengalami delay lama akibat pilotnya terlambat. Pertanyaanya, siapa yang paling berperan dalam keterlambatan pilot ini? Apakah ini kesalahan pilot semata?

Usut punya usut, ternyata sopir yang mengantar pilot ini ke bandara telat bangun sehingga terlambatlah sang pilot. Berarti sopir pilot yang salah?

Sopir pilot bilang, keterlambatannya karena istrinya lupa membangunkan.

Jadi, pernahkah kita berfikir bahwa istri seorang sopir sangat berperan dalam ketepatan waktu take off pesawat?


                                                                                        ***

Meaning, Membership, and Mastery.

Demikian kredo yang diungkapkan oleh Rosabeth Moss Kanter (2011), seorang professor Bidang Manajemen di Harvard Business School  dalam bukunya yang berjudul “Evolved”.  Meaning adalah kemampuan untuk menciptakan makna dari setiap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang. Ya, bukan sekedar memaknai, akan tetapi menciptakan makna sepanjang detak aktivitas itu masih berdenyut. Penciptaan makna ini lahir bersama dengan lahirnya niat, berjalan beriringan dengan proses dan melarut dalam cangkir muhasabah.

Pada akhirnya, kebermaknaan  adalah buncahan perasaan yang tidak bisa dibeli dengan harga berapapun dan anehnya, perasaan ini tidak akan pernah didapatkan apabila kita hanya melayani diri kita sendiri. Karena melayani adalah fitrah manusia. Viktor Frankl mengatakan bahwa kecukupan seseorang itu didapat ketika dia sudah mencecap sebuah makna.


Hal ini pernah ditanamkan pada karyawan di Rumah Sakit Delnor - Amerika Serikat. Setiap karyawan diajari satu pertanyaan yang menyirat makna betapa berharganya seorang karyawan untuk pasien. Setiap selesai melayani pasien, satu pertanyaan yang selalu diajukan, “Is there anything else that I can do for you?”

Tokoh kita dari Indonesia, Prabu Siliwangi adalah seorang panglima yang menanamkan kredo Asah, Asih dan Asuh. Inilah yang digunakan oleh Prabu Siliwangi dalam menanamkan rasa kepemilikan (membership) prajuritnya sehingga menjadi prajurit-prajurit yang loyal dan setia.


Yogyakarta, 18 April 2013
~Nuwun untuk Prof. Ancok atas inspirasinya, semoga bisa segera membuktikan cerita itu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar