Minggu, 18 November 2012

Spirit Downshifting



“Holiday is Over”, begitu salah satu kicauan yang saya baca di timeline Twitter ataupun status di wall Facebook di Minggu malam. Hal senada juga saya temui di perbincangan melalui BBM ataupun Yahoo Messenger. Setelah empat hari dipenuhi dengan segudang aktivitas berlibur membuat hari Senin serasa begitu menyeramkan bagi sebagian orang. Untuk yang bekerja di luar daerah, Minggu sore adalah saat yang berat ketika harus meninggalkan tempat liburan ataupun kampung halaman menuju stasiun, terminal atau bandara untuk menempuh perjalanan sekian jam sampai ke tempat kerja. Membayangkan lamanya perjalanan saja sudah terasa malas, apalagi teringat disposisi yang belum sempat terbaca dan masih menumpuk di meja. Dan saya juga yakin bahwa sebagian dari kita sempat memasukkan beberapa kertas kerja untuk jadi oleh-oleh pulang kampung. Niat awalnya sih ingin membaca dan mengerjakan PR yang sempat tertunda pekan lalu. Tapi saya yakin, tersentuh pun tidak, hehehe. Yang malam ini tersisa hanya harapan agar besok  pagi bosnya datang agak siang sehingga masih ada waktu untuk menyelesaikan PR sebelum dilaporkan, atau malah berdoa agar bos tidak datang sehingga bisa mengerjakannya dengan tenang.
                Sebagian karyawan mempunyai pikiran-pikiran seperti saya tadi,
dari level staff sampai level manajer. Bahkan pelajar dan mahasiswa juga sudah terkena syndrome “Rainy Days and Mondays” ini. Terkecuali buat karyawan yang sudah terbiasa menikmati suasana hati di Minggu malam. Inilah orang-orang yang sudah memaknai bahwa tujuan bekerja adalah mengikuti panggilan jiwanya. Mereka mencintai pekerjaan dan berbahagia dengan pekerjaannya. Mereka datang ke kantor dengan penuh semangat dan gairah yang besar. Mereka sadar bahwa tujuan mereka bekerja bukanlah karena uang. Mendapatkan uang dalam jumlah yang besar sekalipun tak akan menggoyahkan mereka. Siapa mereka? Saya juga belum menemukan contoh orangnya, hehehe.
                Sedikit mengingat ketika pertama kali diterima di tempat kita bekerja sekarang ini. Pasti kebanggaan dan kebahagiaan di situ. Bangga kalau ternyata kita nggak bodoh-bodoh amat, bisa diterima di perusahaan ini dan bahagia karena bisa berikrar, “Mulai detik ini, aku berhenti disuapin Bapak dan Ibu”. Kebanggaan dan kebahagiaan itu tersirat jelas dengan semangat kerja yang menggebu saat-saat awal bekerja, bahkan tak jarang tangan gatal untuk membuat status di facebook, membuncahkan rasa itu. Akan tetapi berselang tahun, gatal di tangan sudah sembuh, alhasil tak nampak status-status senada. Ketika gatal kambuh, eh, nada statusnya sudah berubah jadi minor, menyiratkan tekanan kerja yang perlahan meningkat.
Nah, yang pernah saya pelajari, sebuah barang itu mengalami siklus yang disebut dengan “Product Life Cycle”. Siklus ini dimulai dari perkenalan produk di pasaran (introduction), kemudian perlahan produk mulai dikenal dan tumbuh (growth), sampai suatu saat produk itu menjadi market leader dan mencapai titik kematangannya (maturity). Kalau diteruskan tanpa ada perubahan dan inovasi, produk itu akan mengalami kemunduran. Grafik akan menurun terus sampai tenggelam di pasaran. Titik puncak sebelum produk mengalami penurunan inilah yang disebut titik decline.   Melihat ciri-ciri yang sama antara semangat kerja dan siklus produk, saya kok jadi menganggap, jangan-jangan semangat juga memiliki siklus yang sama. Ada saatnya semangat itu naik sampai ke titik didih (koyok banyu ae) dan ada saatnya semangat itu menurun dan dingin. Kalau inferensi antara siklus produk dengan siklus semangat ini benar berarti yang jadi masalah hanya satu, sebelum semangat itu menurun harus sudah mulai melakukan diversifikasi semangat. Entah itu memperbaharui tujuan hidup, memperbaharui cara kerja atau malah minum Extra Joss, hehehe. Yang jelas setiap kita tahu detik-detik puncak sebuah semangat dan detik-detik sebelum mengalami penurunan (kaya Proklamasi, hehe). Sebelum sampai ke detik itu, langkah-langkah diversifikasi sudah mulai dirumuskan.
Selain dengan diversifikasi semangat menjelang keruntuhan, berpegang pada grafik Product Life Cycle, cara lain untuk tetap bertahan pada semangat awal adalah dengan memperlambat laju siklus semangat sebelum mencapai titik decline. Perlambatan siklus ini diinferensikan dengan teori downshifting. Kalau kita buka kamus, definisi downshifting adalah A person who reduces his or her level of consumption. Jadi downshifter adalah orang-orang yang mengurangi jumlah atau tingkat konsumsinya. Perubahan ini meliputi beberapa dimensi yaitu jumlah (kuantitas atau frekuensi), kualitas (kandungan fisik, fungsi, kelengkapan fitur) atau harga (lebih murah).
Ceritanya, orang-orang pada umumnya pasti akan menikmati konsumsi yang besar pada saat perekonomian sedang membaik. Mereka membeli mobil dan perabot-perabot rumah tangga baru serta mengambil kredit untuk segala hal. Kredit sebenarnya tidak lain dari sebuah bentuk konsumsi hari ini yang dibiayai dari penghasilan hari esok. Mereka dengan berani mengambil macam-macam bentuk kredit konsumsi, mulai dari leasing, KPR, kredit mobil, arisan, sampai kredit-kredit kecil yang dicicil dari kartu kredit.
Mengapa mereka begitu berani mengambil kredit? Karena mereka yakin terhadap hari esok. Pada saat itu, hidup dan perekonomian seakan-akan tidak ada masalah sama sekali. Gaji dan bonus selalu naik, proyek-proyek mudah didapat.  Begitu perekonomian mencapai puncaknya,hampir semua orang tampak sibuk mengejar peluang ekonomi yang memberi penghasilan besar. Pekerjaan tidak habis-habisnya dan waktu terasa kurang. Tanpa disadari, tekanan materialisme ini membutuhkan pengorbanan seperti sosial, penundaan perkawinan dan memiliki keturunan, pertengkaran dan bahkan perceraian. Kalau dihitung-hitung ternyata pengorbanan ini jauh lebih menyakitkan daripada bahagia yang didapatkan dari kesibukan tadi.
Nah, untuk menekan pola tidak sehat di atas, dikembangkanlah konsep downshifting untuk menghadapi masa krisis yang suatu saat akan terjadi. Pola konsumsi kredit dikurangi untuk cadangan ketika suatu saat masa krisis itu terjadi. Hal ini bertujuan agar ketika krisis, penurunan pola hidup itu tidak terlalu terasa dibandingkan saat perekonomian pada puncaknya dan hidup masih terus berjalan.
Kalau diinferensikan dengan  perlambatan siklus semangat, ada baiknya pada saat semangat itu sedang bertumbuh untuk dapat disimpan sebagai cadangan semangat pada masa-masa krisis dalam pekerjaan (misalnya saat pekerjaan sedang mencapai puncaknya, bos sedang pada masa-masa tempramennya, atau kondisi hati sedang galau-galaunya, hehe). Intinya semangat itu dikeluarkan biasa-biasa saja tapi stabil. Tapi apakah penerapannya mudah? Wallahua’lam deh, ini cuman inferensi.  Kalaupun sudah terlanjur terpuruk  (tidak sempat diversifikasi ataupun downshifting) tinggal memulai episode baru lagi, hehe.
Banyak orang berkata bahwa kegagalan itu adalah akhir. Menurut saya memang benar, kegagalan adalah akhir dari satu episode. Kalau nggak mau mulai mengarang cerita lagi di episode berikutnya, berarti memang benar-benar sudah akhir.
                                                                                                                 


                                                                                                               Jogja, 18 November 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar