Minggu, 30 Oktober 2011

Menikmati Itu Mensyukuri


Malamnya saya sempat berdiskusi panjang dengan seorang sahabat saya yang kebetulan bekerja di perusahaan yang sama dan punya pengalaman yang serupa pula, yaitu pernah bekerja di tempat yang lain sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah di perusahaan yang sekarang. Sepertinya sudah sering kami membahas hal ini dan sudah berkali-kali pula kami berdebat. Apalagi kalau bukan tentang perbandingan gaji antar perusahaan.
“Di Pelindo itu gajinya besar lho San dibandingkan PLN”, demikian katanya, “Bonusnya juga cukup besar”, lanjutnya.
“Temanku yang kerja di sana sudah ditawari juga kuliah di Belanda”
“Ah, nggak lah kalau pindah ke Pelindo”, tukas saya, “Mendingan kalau mau pindah
, ke Bank Indonesia atau di BPK Yu”
Spontan dua jempol saya angkat
“Lebih keren”
Pembicaraan kami berlanjut sampai hitung-hitungan bonus dan perkiraaan total pendapatan dalam satu tahun. Dan dapat dipastikan, seperti yang sudah–sudah, kami selesaikan pembicaraan itu dengan memejamkan mata dan masing-masing membayangkan betapa indahnya hidup dengan gaji besar dan kesejahteraan yang pasti.

***
Ahad pagi, seperti kebiasaan saya di sebelumnya, ke Masjid Agung Al Azhar.
Sebenarnya, saya tidak terlalu semangat untuk mengikuti kajian. Ada satu pekerjaan yang musti saya selesaikan di kantor. Tapi paling nggak “nongkrong” dulu lah di sana, meski sebenarnya pikiran melayang.
Pagi ini yang memberikan ceramah masih sangat muda, lulusan S1, belum menikah, dan belum pernah saya kenal sebelumnya.
“Ah, seumuran”, keluh dalam hati saya.
Karena tidak begitu tertarik, awal-awal ustad ini berbicara saya masih sibuk BBM-an dengan beberapa teman lama. Bahkan tema yang akan disampaikan pun saya tidak tahu. Akan tetapi, di pertengahan ceramah, saya begitu terhenyak dengan kisah yang dituturkan ustad itu.
“Dia sahabat saya”, kata ustad itu, “Dia tinggal dengan istri dan anaknya di Bekasi. Terakhir saya ngobrol dengannya ketika i’tikaf Ramadhan silam”.
Ustad itu menuturkan bahwa orang dalam kisahnya itu adalah seorang ayah dengan empat orang anak yang masih kecil-kecil. Sehari-harinya orang itu berjualan madu yang dikelilingkan dengan sepeda motor lawasnya di seputaran Bekasi.
Penghasilannya tidak banyak untuk mencukupi kebutuhan istri dan empat orang anaknya. Ya, memang tidak banyak untuk ukuran sekitar kota Jakarta. Hanya 800 ribu rata-rata setiap bulannya. Itupun kadang-kadang pulang dengan membawa dagangannya utuh.
“Saya harus banyak bersyukur ustad”, katanya seperti diceritakan ustad itu pada pertemuannya saat i’tikaf bulan Ramadhan silam.
Ustad itu memandangnya dengan heran. Bersyukur?
“Bukannya yang tepat dalam kondisi saat ini adalah bersabar?”, dalam hati Ustad itu
“Bagaimana saya tidak bersyukur ustad, setiap pagi saya mengeluarkan sepeda motor itu, menata botol madu dalam keranjang dan setiap pagi pula saya mengharapkan sepenuh hati agar dagangan hari ini laris”, katanya
“Alhamdulillah, dengan rezeki dari Allah, istri dan anak saya tetap bisa makan dan hidup wajar seperti  yang lainnya”
“Sangat bersyukur ustad, hanya dengan sepeda motor saya ini, saya bisa kesana kemari menjajakan madu saya. Alhamdulillah sampai sekarang sepeda motor itu masih cespleng”, tertawanya dengan nada yang khas
“Seandainya saja motor ini rusak. Pasti kacaulah dagangan saya.  Bersyukur sekali tidak rusak. Paling hanya ganti oli rutin saja”
“Oya, putra-putrimu bagaimana?”, tanya ustad itu.
“Anak-anak saya ustad”, jawabnya, ”Semuanya sehat. Alhamdulillah, Allah ngasih rejeki kesehatan buat anak saya. Saya nggak mampu membayangkan biayanya seandainya anak saya sakit dan musti ke rumah sakit. Saya selalu berdoa ustad agar anak-anak saya diberikan kesehatan selalu, dan Alhamdulillah, Allah mengabulkannya”
Spontan saya membayangkan diri saya. Berangkat kerja jam tujuh pagi, pulang jam lima sore dan akhir bulan dapat gaji. Pas Idul Fitri dapat THR, dan setiap tahun dapat bonus. Bak siklus yang terus berputar tanpa campur tangan siapapun.
Sangat berbeda dengan orang yang diceritakan ustad itu. Betapa dia sangat menyadari bahwa rezekinya itu memang datang dari Allah. Sangat menyadari bahwa tanpa campur tangan-Nya dia tidak bisa membiayai istri dan keempat anaknya. Nampak sekali rona pengharapan dan kesyukuran di setiap harinya.

***
“Kata teman-teman SMA saya, orang yang tidak bisa naik sepeda itu lebih berat bila diboncengkan”, demikian disampaikan Dahlan Iskan ketika menceritakan masa-masa SMA-nya.
“Ayah saya seorang petani yang mengerjakan sawah orang lain dan sering jadi tukang kayu”, lanjutnya , “Saya nggak boleh belajar sepeda. Soalnya kalau meminjam sepeda teman, kalau rusak nggak mampu memperbaiki”
Sampai pada akhirnya diceritakan oleh beliau bahwa cita-citanya yang paling besar adalah memiliki sepeda. Beliau menceritakan bahwa setiap harinya harus berjalan kaki sejauh 12 kilometer untuk sampai di sekolahnya. Bahkan hingga lulus SMA, beliau tetap belum memiliki sepeda.
“Menikmati saat ini itu menyenangkan”, paparnya
“Jangan berpikir ingin cepat besar. Nikmati proses yang sekarang ini, sekecil apapun itu dan tekuni. Itulah yang akan membawa keberhasilan kita”
Ya. Barangkali memang benar bahwa pikiran besar tanpa dimulai dari langkah pertama itu sama saja dengan bermimpi. Pikiran besar tanpa dimulai menekuni hal-hal kecil kita itu pun sama dengan melamun.
Entahlah. Yang jelas saya dapat satu poin hari Ahad ini tentang bagaimana campur tangan-Nya dalam setiap nikmat terasa. Salah satu cara mensyukuri itu adalah menikmati.
 Maybe something is important in our life, but the most important thing is life itself. It’s how to enjoy our life now.
Jakarta, 30 Oktober 2011
Hasan Basri

1 komentar:

  1. Betul. Dengan mensyukuri otomatis kita akan kaya. Kaya yang tidak melulu diukur dengan harta, pangkat, dan jabatan.
    Memang ada baiknya kita berhenti sesaat, dari rutinitas, untuk selanjutnya refleksi. Sampai kemudian kita temukan sebuah kunci
    "Bangsiapa mengejar akhirat, dunia otomatis ada dalam genggaman kita."

    BalasHapus