Malam
yang terasa lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya.
Jumat
malam. Dengan terburu-buru saya lajukan motor menuju kampus. Tidak seperti biasanya,
sore itu lalu lintas kendaraan begitu padat sehingga terasa sedikit kemacetan
di sepanjang Jalan Wates menuju Gamping. Mungkin karena memang akhir pekan
sekaligus hari kerja terakhir di penghujung tahun 2012, banyak yang memutuskan
untuk menikmati liburan akhir tahun di Jogja. Selain itu lalu-lintas terasa semakin
semrawut dengan rintik hujan yang seharian mengguyur kota Jogja. Alhasil,
terlambatlah saya mengikuti ujian hari ketiga semester ini. Baju yang basah, perasaan
yang grogi bercampur kurangnya persiapan materi membuat saya cukup lama
terbengong memandangi lembaran soal di atas meja sambil mencoba mengorek
kembali memori yang sempat saya simpan, tetapi nihil hasilnya. Di menit
terakhir saya kumpulkan lembar jawaban yang tertoreh beberapa kalimat sambil
berharap ada sebentuk upah dari torehan tadi.
Ya,
hanya sekedar berharap ada upah menulis yang saya dapatkan.
Sepulangnya,
saya lihat kesemrawutan lalu lintas Jalan Wates sudah mereda meski rintik hujan
masih mengguyur. Akan tetapi ternyata hal
itu ternyata belum cukup menghibur karena rasa masih tercampur penyesalan akibat
kurangnya persiapan menghadapi ujian tadi.
“Tapi
sudahlah, yang penting sekarang cari makanan yang enak dan bersegera
merentangkan badan di kasur”, batin saya.
Motor
saya lajukan sedikit kencang agar segera sampai di tempat makan favorit saya. Saat
itu terbayanglah mie kuah yang panas dan nikmat.
Belum
hilang bayangan mie kuah itu, bagian belakang motor mendadak oleng. Alhamdulillah,
laju bisa saya kendalikan sampai berhenti. Ternyata ban belakang bocor. Masih
belum percaya dengan kondisi itu, saya coba memencetnya dan ternyata memang benar-benar
bocor.
“Aduh,
mana ada bengkel yang masih buka semalem ini?”, batin saya.
Hampir
dipastikan tidak ada bengkel yang masih buka malam itu karena hampir setiap
hari saya melewati jalan itu. Perlahan saya tuntun motor di sepanjang Jalan
Wates.
Saya
lirik jam tangan. Sudah dua puluh menit berlalu tanpa ada tanda-tanda bengkel yang
masih buka. Perkiraan saya, mungkin butuh dua jam untuk menuntun motor sampai
di kos. Hilanglah harapan mie kuah yang panas dan kasur yang empuk. Harapan satu-satunya
adalah bengkel yang masih buka dan mau menambal ban saya.
“Kalaupun
harus membayar 200 ribu, akan saya bayar”, geram saya.
Saya
rela berkorban 200 ribu untuk upah menambal ban dari yang biasanya hanya 5 ribu.
Sepuluh
menit berlalu, dari kejauhan saya lihat ada compressor
yang biasanya digunakan di bengkel masih terletak di luar. Saya tuntun motor dengan sedikit berlari,
memastikan bahwa di tempat itu dapat menambal ban.
Setelah
sampai di depannya, ternyata hanya toko kelontong yang nyambi jadi tukang
tambal ban. Terlihat bapak-bapak setengah baya yang mulai membereskan
dagangannya. Sepertinya sudah akan tutup. Buru-buru saya dekati bapak itu.
“Pak,
ten mriki saged nambal ban?”, tanya saya, “Bocor pak”, lanjut saya sambil
menunjuk ke arah ban belakang.
Sekilas
Bapak itu memandangi saya dan motor saya
bergantian sebelum akhirnya menjawab.
“Saged
Mas”, jawabnya,”Sekedap nggih mas, kulo mberesi dagangan rumiyin”, lanjutnya.
Memang
bukan bengkel, hanya toko kelontong yang nyambi jadi tukang tambal ban. Saya
naikkan motor sampai di halaman tokonya sementara Bapak itu mengambil peralatan
tambal ban.
Hanya
butuh waktu 15 menit untuk menambal ban
motor saya.
“Sampun
mas”, katanya setelah selesai menambal.
“Matur
nuwun sanget Pak”, jawab saya,”Pinten pak?”, lanjut saya menanyakan biaya
tambal ban itu.
“Gangsal
ewu (lima ribu) Mas”, jawabnya.
Terkejut,
ternyata Bapak itu tidak menaikkan biaya tambal ban. Buru-buru saya keluarkan
uang 20 ribuan dan saya serahkan ke Bapak itu.
“Susuke
(kembaliannya) tinggal mawon pak”, kata saya.
“Wah,
matur nuwun sanget Mas”, kata Bapak itu sambil menyunggingkan sebentuk senyum.
Apa
yang saya rasakan? Luar biasa puas.
***
Barangkali
itulah definisi kepuasan menurut saya. Ya, kepuasan adalah selisih antara
kemampuan berkorban dengan realitas pengorbanan. Semakin kita memperbesar
kemampuan berkorban, kepuasan yang dirasakan akan semakin besar. Saat itu, kondisi
lelah, malam hari dan hujan adalah kondisi yang memaksa saya untuk memperbesar
kemampuan berkorban karena terbayang satu hasil, yaitu motor saya yang kembali
normal.
Pada
kondisi-kondisi tertentu kita pasti sering mengalami kejadian serupa. Kondisi yang
menantang kita untuk siap mengeluarkan pengorbanan yang lebih besar demi sebuah
hasil. Ada kalanya hasil itu kita capai dengan realitas pengorbanan yang lebih
kecil dibandingkan kesiapan kita. Akan tetapi, sangat dimungkinan kemampuan
berkorban yang sudah kita siapkan ternyata tidak cukup untuk mendapatkan hasil
itu.
Apa yang
terjadi dalam kondisi biasa? Saya yakin bahwa kemampuan berkorban tidak akan
sebesar itu.
Jadi
apakah semata-mata karena ada paksaan kemampuan berkorban menjadi lebih besar? Mungkin
diri kita sendiri yang harus memaksa kita masuk ke dalam kondisi yang
mengharuskan kita belajar dan terus menerus memperbesar kemampuan berkorban. Kondisi
aman sering membuat kita malas untuk belajar.
Yogyakarta,
29 Desember 2012
wow,,, like it,,,,
BalasHapuspengorbanan..
hahay...menemukanmu :D
BalasHapus