“Eh, San”, Muncul BBM dari rekan kerja
saya,”Define me in one word”, lanjutnya.
Mau nggak mau saya harus berhenti sejenak menikmati kuah bakso malam ini. Saya membalas BBM-nya asal,
“Lucu”. Sejujurnya saya nggak terlalu memikirkan balasan yang baru saja saya
kirimkan, justru yang sedang menari di pikiran saya adalah pertanyaannya itu. Apa
yang mendasari munculnya survey penilaian spontan tersebut.
“Apa tujuanmu ngumpulin pendapat orang
tentang dirimu?”, telisik saya,”Aneh”.
“Gak ada tujuan apa-apa”, jawabnya,
“Cuman pengen ngumpulin kata-kata dari banyak orang.
“Trus buat apa?”
“Kagak, iseng aja. Siapa tahu ada yang
jelek, ntar dirubah”, lanjutnya.
Entahlah, jawaban itu iseng atau serius.
Bisa jadi dia berniat untuk mendapatkan data yang akurat terkait dengan
keberadaan dirinya di antara teman-temannya. Tentu saja akan melegakan hati
ketika hasil surveynya cenderung mengatakan bahwa teman saya ini baik dan hanya
sebagian kecil saja yang menjawab buruk. Tapi bagaimana bila hasil surveynya
mengatakan sebaliknya?
Apakah hasil survey yang buruk justru akan membuat sikap
teman saya berikutnya menjadi orang yang semakin berhati-hati dengan ucapan dan
tindakannya (kalau tidak boleh dibilang terlalu mengungkung dirinya) ataukah tetap
bersikap sebagaimana biasanya?
Kemudian saya jadi berfikir, mungkin
ada saatnya kita tidak terlalu memikirkan apa yang sudah kita lakukan. Bolehlah
kita berkontemplasi dengan yang sudah kita lakukan dalam rangka evaluasi diri, akan tetapi
kadang-kadang kita butuh untuk berfikir dan bertindak cepat pada saat krisis. Pada
saat kondisi normal, yang dilakukan oleh kebanyakan dari kita adalah berfikir
secara “formal logic” yang sangat mengandalkan data dan analisis. Prosesnya pun
lama. Kalau data belum lengkap, keputusan belum bisa diambil. Namun ketika data
yang diperoleh sudah lengkap, ada kecenderungan untuk menunda dan menghindari risiko karena
takut berspekulasi. Memang sudah menjadi kecenderungan kita bahwa untuk
mengambil keputusan yang “melegakan” butuh banyak suara yang mengatakan ke kita
untuk mengambil keputusan “melegakan” itu. Semakin banyak suara, semakin
kolektif, dan semakin “governance” maka keputusan yang diambil akan semakin terasa “lega” meskipun bisa jadi salah
atau sudah kadaluwarsa.
Pola ini yang disebut dengan “Endless
Loop of Speculation” (Siklus spekulasi yang tidak berakhir). Dalam siklus yang
normal ketika menghadapi sebuah masalah, kita mencoba untuk mengumpulkan data
kemudian menganalisis masalah dan kemudian menyimpulkan untuk diambil sebuah
keputusan. Nah, kalau dalam “Endless Loop of Speculation” hal itu terjadi
secara berulang-ulang. Ketika data yang diperoleh untuk membuat justifikasi
belum dirasa belum meyakinkan, maka dilakukan pengambilan data lagi, dianalisis
lagi dan seterusnya. Tanpa sadar ternyata masalah sudah bertumpuk dengan
masalah yang baru atau masalah yang sebenarnya kian membesar karena keputusan
tak kunjung diambil. Seperti yang sudah saya kemukakan di awal, bisa jadi
keputusan itu berhasil kita ambil dengan memotong siklus “Endless Loop of
Speculation”, tapi ternyata pemotongan siklus tadi terlambat alias keputusan
yang diambil sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan yang aktual terjadi.
Tak dapat dipungkiri bahwa kita pun
sering mengalami hal serupa. Pada saat kondisi yang kita hadapi “gawat darurat”,
ternyata kita sendiri justru belum merasakannya karena kita merasa bahwa data yang
kita kumpulkan belum cukup untuk mengambil keputusan.
Ada saatnya kita mencontoh keputusan
intuitif yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN, ketika melihat
kemacetan di pintu tol yang dikelola oleh BUMN Jasa Marga. Saat itu dengan
spontan ia membuka pintu tol dan kemudian mempersilakan kendaraan untuk melaju
tanpa harus menunggu antrian yang panjang. Mungkin memang bukan porsi seorang
menteri untuk melakukan hal seperti itu, akan tetapi perlu kita catat bahwa hal
ini memberikan “shock therapy” untuk pengelolaan Jalan Tol agar menjadi lebih
baik. Contoh lain adalah keputusan
Jokowi untuk memberikan Kartu Pintar dan Kartu Sehat untuk warga Jakarta. Hal ini
pun juga sangat disukai oleh publik karena saat ini Indonesia masih jarang
pemimpin dengan style “Down to Earth”.
Kondisi krisis yang membutuhkan
pengambilan keputusan yang cepat adalah saat yang tepat untuk percaya dengan
keputusan intuitif. Intuisi menjadi sangat penting ketika orang lain masih
sibuk untuk mengumpulkan data dan memilih tindakan-tindakan yang tidak beresiko. Padahal saat krisis itulah justru
peluang-peluang itu sering muncul dan kadang tidak begitu dikenal.
Terakhir, apakah setiap saat kita
harus menjadi “risk taker” dengan selalu mengambil risiko dari setiap keputusan
yang kita ambil?
Tentu saja data dan analisis itu sangat
dibutuhkan, akan tetapi ada saatnya kita harus percaya diri untuk memotong
siklus “Endless Loop of Speculation”.
Yogyakarta, 2 Desember 2012
~Thanks to Ainul Fitri atas
inspirasinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar