“Posisiku kan sangat tidak strategis”,
keluhnya,”Cuman bisa menikmati dan terdzolimi”.
Demikian sepenggal kutipan BBM dari
seorang sahabat yang bekerja di salah satu Kementerian. Saya tidak tahu persis
posisi di tempat kerjanya. Sepanjang yang saya tahu, dia bukan berstatus
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) meskipun rutinitas pekerjaannya dilakukan di
Kementerian.
“Sepertinya kejenuhan ini sudah sampai
titik nadir”, lanjutnya.
Sahabat saya ini menceritakan keinginannya
untuk resign dari tempat kerjanya. Belum
diketahui pasti alasannya mundur dari pekerjaan yang telah dijalani dua tahun
terakhir ini, entah tekanan kerja yang tinggi, pekerjaan yang tidak sesuai passion atau mungkin ketidakcocokan
dengan atasan. Sepertinya alasan-alasan itu menimbulkan kejenuhan beraktivitas.
Menurut saya, dua tahun adalah rentang waktu yang cukup lama untuk membuat
seseorang jenuh dengan aktivitas yang dilakukannya. Kejenuhan itu dapat muncul kapan
saja, bahkan dalam waktu yang sangat singkat. Titik jenuh sangat dipengaruhi
oleh kenyamanan setiap orang dalam menjalankan aktivitasnya. Dan yang pasti, setiap
orang memiliki parameter yang berbeda dalam mengukur tingkat kejenuhan terhadap
aktivitas yang tengah dilakukannya.
Celakanya, kejenuhan itu seringkali
harus dipadukan dengan keharusan. Di satu sisi, kita harus melaksanakan tugas
yang sudah menjadi tanggung jawab kita, entah itu pekerjaan atau amanah yang
lain. Di sisi lain, kita sudah merasa jenuh dengan aktivitas untuk memenuhi
tanggung jawab itu. Paduan dua sisi inilah yang menimbulkan keterpaksaan. Saya
yakin masing-masing kita punya pengalaman melakukan sesuatu dengan terpaksa dan
dapat membayangkan hasil yang diperoleh dari keterpaksaan itu. Adakah kepuasan
dan kenyamanan dalam kondisi terpaksa?
Seseorang dapat menjadikan suatu
aktivitas menjadi kebiasaan dengan melakukan aktivitas itu berulang-ulang. Akan
tetapi seringkali kecepatan kita membiasakan sebuah aktivitas tidak diimbangi
dengan pembentukan makna dari aktivitas itu. Kebiasaan dijalankan dengan rutin
tanpa mencoba memaknai aktivitas itu. Kehadiran kuliah adalah contoh yang tepat
buat saya. Beberapa kali saya merasakan bahwa kuliah yang saya hadiri sangat
membosankan. Sekedar duduk, mendengarkan dan mengantuk. Akan tetapi, ketika dengan
sengaja saya tidak menghadiri perkuliahan, rasa bersalah itu tiba-tiba menggelayut.
Boleh jadi, itu adalah salah satu ciri
hilangnya makna. Kehilangan makna menandakan kerapuhan fondasi jembatan yang setiap
saat dilalui dalam pencapaian tujuan. Di sinilah kejenuhan itu muncul. Bersusah
payah kita bangun jembatan penghubung antara tujuan dengan kewajiban. Mungkin karena
terlalu asyik melintasi jembatan itu setiap hari, kita tidak sadar bahwa
fondasinya telah rapuh. Kita lupa untuk memperbaiki fondasi jembatan itu sedangkan
kita yakin bahwa kekuatan fondasi itulah yang menciptakan kepercayaan diri
setiap kali melintas tanpa harus takut dengan robohnya jembatan.
Sedikitnya ada tiga pilihan terlintas.
Pertama, berhenti sejenak dari
rutinitas dan mencoba memperbaiki fondasi jembatan yang setiap saat kita lalui.
Setelah yakin dengan kekuatannya, barulah kita melanjutkan perjalanan. Di sinilah
waktu kita untuk mengatur ulang strategi dan memastikan bahwa kita selamat di
sisa-sisa perjalanan mencapai tujuan.
Kedua, kita membangun jembatan lain. Konsekuensi
pilihan ini adalah pemenuhan energi yang lebih besar dan kepastian kita tidak
terlambat dari target awal yang sudah dirancang.
Ketiga, mencari jembatan lain. Pilihan
ini tidak kalah berisiko dibandingkan pilihan pertama dan kedua. Kita harus
memastikan bahwa jembatan lain yang kita lalui memiliki fondasi yang cukup kuat
untuk melanjutkan sisa perjalanan. Selain itu harus dipastikan juga bahwa
jembatan ini tidak cukup padat. Jangan-jangan banyak orang yang memilih
jembatan ini sehingga hambatan di sisa perjalanan akan lebih besar karena
ramainya orang melintas jembatan itu.
Nah, sekarang tinggal menentukan
keputusan untuk melangkah. Di sini tidak ada pilihan terbaik yang diakui secara
objektif. Yang terbaik adalah pilihan yang sudah kita ambil.
Cengkareng, 19 Desember 2012
~Delay
itu berarti menikmati beragam perilaku sepuasnya
menyimak, pak...
BalasHapusHehe, trus komentare opo? Tapi pembahasan ngene ki rodho angel, soale berhubungan dengan kemantaban hati :)
Hapus