Perjalanan dinas yang melelahkan di
Surabaya. Setidaknya stigma kelelahan itu yang sering saya rasakan ketika harus
meninggalkan kota Jogja, sekalipun untuk waktu yang singkat. Berbeda ketika saya
masih bekerja di Jakarta, ada rasa bahagia ketika saya harus meninggalkan kota
Jakarta untuk perjalanan dinas yang panjang. Sedikit rasa penat itu luruh
ketika pesawat yang saya tumpangi mulai meninggalkan Cengkareng. Apalagi jika
tujuan perjalanan dinasnya ke Jogja, hehe.
Di tengah lelah dan penat yang saya
rasakan di Surabaya, terngiang satu pertanyaan menarik yang dilontarkan teman
saya di tengah obrolan pengantar tidur. Kebetulan saya dan teman saya menginap
di tempat yang sama.
“Piye kerjaannya?”
”Dirimu seneng gak kerjaan ngene ki?”,
lanjutnya.
Pertanyaan simple, akan tetapi ada
beberapa alternatif jawaban yang muncul dari dalam diri kita, misalnya :
“Kerja dimanapun, jadi apapun nggak
ada yang mudah. Bersyukur masih bisa bekerja”; atau
“Kerja itu ya ada susahnya sekaligus
ada mudahnya. Masak mau makan tapi nyendok nasi saja nggak mau”, atau
“Demi anak dan istri, meskipun nggak
senang yo harus dibetah-betahkan. Tapi kalau melihat bos seperti itu pengennya
cepet-cepet resign”, dan masih banyak alternatif jawaban lain yang akan muncul.
Pertanyaan selanjutnya adalah dari
mana kita mendapatkan informasi untuk menjawab pertanyaan itu?
Jangan-jangan jawaban itu kita adopsi
dari sumber eksternal tanpa mempertimbangkan saran dari diri kita sendiri. Atau
jangan-jangan kita sudah melakukan stigmatisasi diri terhadap klausul tentang
susahnya bekerja sampai-sampai kita lupa terhadap tujuan bekerja itu sendiri. Kita
terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk hidup dan lupa untuk menjalani hidup itu
sendiri.
Berarti ada hal penting yang masih
belum ditemukan untuk mendasari jawaban dari pertanyaan simple di atas.
Untuk menemukan hal penting tersebut,
ada satu pertanyaan yang harus sering kita tanyakan pada diri kita dan harus
kita jawab dengan jujur.
Ketika bertemu sahabat, kita sering
mengucapkan, “Gimana kabarnya?”
Dan jawaban yang sering kita dapatkan
adalah , “Alhamdulillah”, “OK”, atau bahkan “Luar Biasa”.
Pertanyaan inilah yang justru penting
apabila ditanyakan untuk diri kita. Kira-kira jawaban apa yang akan kita
berikan?
Sekarang, apakah sudah ditemukan hal
penting untuk mendasari jawaban dari pertanyaan simple, “Senang nggak dengan
pekerjaan saat ini?”
Ya, jawabannya adalah menikmati
pekerjaan yang dilakukan. Tapi bagaimana bisa menikmatinya kalau kenyataanya suasana
kerja nggak nyaman, gaji nggak mencukupi atau bos yang semena-mena?
Mungkin ada baiknya kita menempatkan
porsi yang cukup untuk suara hati kita. Setidaknya, ketika kita memilih sebuah pekerjaan,
intervensi terbesar adalah diri kita. Dengan pilihan jujur berarti kita sudah
membuat satu kantong kebahagiaan yang akan menjadi penyumbang sekian persen
supply kebahagiaan diri kita, tergantung seberapa besar kantong yang kita buat.
Ketidakjujuran dalam memilih akan menjadi jarum yang setiap saat akan siap
menusuk kantong kebahagiaan yang kita buat.
Satu contoh. Kadangkala ketika kita
akan memasang foto kita di dunia maya, entah itu di BBM, facebook, twitter atau
media sosial yang lain kita melakukan foto berulang-ulang. Kita mencari foto
yang benar-benar pas dan memuaskan ketika dilihat oleh teman-teman kita di
dunia maya. Bahkan tak jarang kita edit foto kita dengan photoshop sehingga
terlihat lebih cantik, langsing, gagah dan berwibawa.
Apa pasal?
Karena kita tidak yakin dengan foto
kita sendiri. Kita takut tidak terlihat cantik dan fresh di dunia maya. Padahal
sejujurnya, sejelek apapun diri kita terlihat di foto, itu adalah foto kita
sendiri. Pernahkah dalam hati kecil, kita mengakui bahwa foto yang menurut kita
jelek itu bukan kita? Nah, disinilah pentingnya kejujuran hati itu.
Your
heart knows long before your head does [Rene’ Suhardono]
Yogyakarta, 7 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar