Suatu saat teman saya bercerita bahwa
dia baru saja diberikan kepercayaan baru oleh atasannya di kantor untuk menjadi
leader dalam sebuah project yang
bernilai cukup besar. Ada rasa kekhawatiran yang saya tangkap dari mimik wajah
teman saya itu. Berulang kali dia bilang, “Sepertinya saya nggak bisa. Berat
sekali tugasnya”. Saya membayangkan betapa hebatnya dia, pemuda yang usianya masih
sepantaran dengan saya sudah diberikan tugas untuk memimpin project di salah
satu BUMN besar di Indonesia. Saat itu, perusahaannya menang tender di BUMN
tersebut.
“Taruhannya masa depan San”, lanjutnya
lagi, “ Kalau saya gagal, mendingan resign
deh
daripada harus diganti karena project gak selesai”. Saya tahu bahwa dia sudah tertanam mental juara sejak kecil. Di sekolah, dia tidak akan lepas dari rangking pertama. Di bangku kuliah, dia lulus kuliah tepat waktu dengan IPK Cumlaude. Jadi setidaknya saya faham dengan sikap perfectionist teman saya ini. Dan sedikit banyak saya tahu bahwa kegagalan sebuah perusahaan dalam menjalankan sebuah project, apalagi di BUMN besar, akan berdampak pada kepercayaan klien. Setidaknya, rekanan BUMN akan mendapatkan denda ketika project tidak dapat diselesaikan tepat waktu dan yang paling parah adalah black list sehingga perusahaan tidak dapat mengikuti tender dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja perusahaan teman saya ini tidak akan mengambil risiko tersebut. Jadi memang tak dapat dipungkiri kekhawatirannya itu.
daripada harus diganti karena project gak selesai”. Saya tahu bahwa dia sudah tertanam mental juara sejak kecil. Di sekolah, dia tidak akan lepas dari rangking pertama. Di bangku kuliah, dia lulus kuliah tepat waktu dengan IPK Cumlaude. Jadi setidaknya saya faham dengan sikap perfectionist teman saya ini. Dan sedikit banyak saya tahu bahwa kegagalan sebuah perusahaan dalam menjalankan sebuah project, apalagi di BUMN besar, akan berdampak pada kepercayaan klien. Setidaknya, rekanan BUMN akan mendapatkan denda ketika project tidak dapat diselesaikan tepat waktu dan yang paling parah adalah black list sehingga perusahaan tidak dapat mengikuti tender dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja perusahaan teman saya ini tidak akan mengambil risiko tersebut. Jadi memang tak dapat dipungkiri kekhawatirannya itu.
Setelah saya telisik, ternyata sebelum
dia terpilih menjadi leader di
project besar tersebut, dia sudah pernah sukses menjadi leader di project
sebelumnya yang nilainya lebih kecil.
“Awalnya saya khawatir, kalau saya
bisa menyelesaikan tugas ini (di project yang kecil-pen), jangan-jangan saya
dikasih tugas yang lebih besar”, katanya, “Bos saya itu orangnya nggak mau
tahu, padahal ngerjainnya sambil ngos-ngosan. Dikiranya ntar mampu nanganin
semuanya”, lanjutnya. Dan terjadilah. Atasan
teman saya ini menilai bahwa project kecil ini berjalan sukses sehingga
berujung pada pengangkatan teman saya menjadi leader untuk project besar yang
dia khawatirkan.
Saya kemudian berfikir. Ternyata tidak
selamanya seseorang itu takut dengan kegagalan. Ada kalanya seseorang takut
dengan keberhasilan yang dia capai akan berdampak pada tuntutan yang lebih
besar pada dirinya. Klop dengan yang dikemukakan oleh Anna Rowley (2007),
seorang corporate therapist yang pernah bekerja untuk Microsoft. Dia memperkenalkan
yang disebut dengan jerat keyakinan (Confidence Trap). Ada enam bentuk
kekhawatiran itu yang dua di antaranya adalah Khawatir Gagal dan Khawatir
Berhasil. Kalau khawatir gagal sangat sering kita temui bahkan kita rasakan. Karena
khawatir akan gagal, kita takut untuk mencoba. Padahal kalau dicoba, belum
tentu juga akan gagal. Anna mengungkapkan bahwa orang-orang yang mempunyai cara
berfikir ini biasanya mewarisi rekaman sejarah masa kecil yang pernah ditekan
orang tua agar menjadi anak pintar dan setiap kali gagal ia selalu dihukum. Sementara
ketika sukses, orang tua bersikap diam saja. Saya yakin, bahwa di antara kita
pasti mengalami ketakutan ini. Kita merasa rendah diri karena menurut kita
orang-orang di sekitar kita hebat-hebat, tapi kita tidak sehebat mereka. Jadi supaya
kita tidak menerima hukuman, kita memilih menghindar. Ini seperti kekhawatiran
teman saya ketika diberikan tugas menjadi leader pada project besar di BUMN.
Yang kedua adalah Khawatir Sukses. Nah, kalau yang ini seperti
yang dialami teman saya ketika menjadi leader di project kecil. Dia khawatir
kalau sukses akan diberikan tugas yang lebih besar lagi. Padahal dia
menyelesaikan projectnya dengan usaha yang tidak mudah. Untuk kekhawatiran ini
kadangkala kita juga memilih diam supaya tidak dituntut lebih. Sepertinya kita
khawatir bahwa sukses sekarang tidak akan bisa diulangi lagi. Beruntung teman saya
ini sukses di project kecil sebelumnya sehingga tinggal membuang rasa Khawatir
Gagal untuk mengulang sukses sebelumnya.
Apakah dengan membuang rasa Khawatir
Gagal ini otomatis yang kita jalankan akan berhasil? Ya belum tentu juga. Tapi yang
lebih penting, kata Sandiaga S Uno, “Kegagalan adalah akhir dari sebuah chapter
dalam kehidupan kita. Tinggal kita mau melanjutkan ke chapter baru atau memilih
untuk menutup buku”.
Yogyakarta, 30 November 2012
so... konklusinya bgamana?... apakah akhirnya diambil atau tidak oleh ybs?...
BalasHapushm, selain mpteimbangkn pengalaman keberhasilan project masa lalu dan keyakinan bhwa bisa mengambil pilihan itu.. ptimbangan apa lagi yg dia pikirkan? atau sepintas dipikirianmu?
wew.. bnr2 mnemui realita di usia sgini... ini pas banget dengan pertanyaan bbrp hari lalu.. saat itu muncul pertanyaan, bgmana kalo stlh lulus Sp.KMB, kamu ditawari jadi direktur sebuah rumah sakit baru skala internasional? bukan tidak mungkin ini tdk terjadi dalam hidupmuu...