Beliau adalah seorang Insinyur perminyakan yang bekerja di salah satu
perusahaan minyak swasta, Chevron (dulunya kita kenal dengan Caltex).
Beberapa tahun silam beliau ditugaskan untuk bekerja di Amerika Serikat.
Sudah menjadi hal yang mafhum bahwa karyawan yang bekerja di perusahaan
itu akan dirotasi dengan lingkup yang luas. Tidak hanya nasional, akan
tetapi rotasi dengan panjang sumbu yang melintasi batas negara. Insinyur
perminyakan dari ITB ini membawa serta istri dan anaknya yang masih
berusia Sekolah Dasar. Mau tidak mau, anaknya pun harus meneruskan
sekolah di negeri ini karena waktu empat tahun bukanlah waktu yang
singkat. Beliau berfikir bahwa akan ada banyak kesempatan yang hilang
untuk anaknya apabila selama kurun waktu itu tidak melanjutkan sekolah.
Namun
setiap anak memiliki tingkat adaptasi yang berbeda-beda
terhadap
lingkungan barunya. Ada yang sangat cepat beradaptasi, dan ada pula yang
resisten terhadap lingkungan baru. Celakanya, anaknya Beliau ini
termasuk kategori yang kedua. Mungkin perbedaaan budaya yang mencolok
membuat sang anak takut untuk berbaur dengan lingkungan barunya.
Terbayang di benak sang anak wajah-wajah asing dengan bahasa yang asing
di telinga.
“Pasti mereka nakal-nakal”, pikir anak ini.
Sedikit
cerita, bahwa anak-anak di sini diajari untuk lebih mandiri. Mereka
tidak boleh diantar – jemput oleh keluarganya ketika sekolah dan
diharuskan untuk naik Bis Sekolah. Keharusan ini menambah ketakutan sang
anak.
“Mungkin anak ini hanya sehari dua hari saja
betah di rumah. Lama-lama juga akan bosan tidak punya teman yang
sebaya”, pikir Beliau.
Megejutkan, berminggu-minggu
anak ini sangat betah di rumah dan betah ‘ngambek’ tidak mau masuk
sekolah sekolah. Inilah yang membuat pusing Beliau. Sampai suatu saat
Beliau harus mendatangani Kepala Sekolah. Beliau ceritakan kondisi
anaknya dan sekaligus memohon izin agar bisa mengantarkan anaknya masuk
sekolah. Kepala Sekolah mengizinkan Beliau mengantar anaknya masuk
sekolah dengan masa percobaan satu bulan.
Dengan
sedikit paksaan, akhirnya anak ini mau masuk sekolah dengan diantar oleh
ayahnya. Hari pertama, anak ini dibawa keliling sekolah dan berakhir ke
ruang kelas untuk bertemu dengan teman-teman di kelasnya.
Sekelebat
anak ini memandang kondisi sekolah yang berbeda dengan sekolahnya dulu
di Indonesia. Melihat ruang kelas yang mirip dengan tempat bermain
membuatnya merasa ‘aneh’.
Dikenalkanlah anak ini
dengan teman-teman baru oleh gurunya. Rupanya guru ini sudah mendapatkan
banyak informasi tentang anak ini.
Dengan Bahasa Inggris yang pelan – agar mudah dipahami oleh anak Indonesia ini– guru ini berkata di depan kelas, “Anak-anaku sekalian, pada hari ini, kita mendapatkan satu sahabat lagi”.
“Sahabat kita yang satu ini sangat luar biasa”, lanjutnya.
“Anak-anaku
semua, Ibu mau bertanya, siapa di antara kalian yang pernah terbang
selama lebih dari 28 jam melintasi Khatulistiwa dan melintasi berbagai
negara?”
Hening seluruh kelas. Tidak ada jawaban, karena memang belum pernah ada anak yang bepergian ke luar negeri di kelas itu.
“Tidak
ada?”, sahut guru itu memecah hening, “Luar biasa, sahabat kalian yang
di depan ini sudah terbang lebih dari 28 jam, melintasi Khatulistiwa dan
melintasi banyak negara!”, lanjutnya.
Perlahan, mulai muncul rasa percaya diri anak Indonesia ini.
“Siapa di kelas ini, siapa yang pernah ke luar negeri lebih dari satu tahun?”, lanjut guru itu dengan pertanyaan kedua.
Hening kembali.
“Tidak
ada?”, sahutnya kembali, “Sahabat kalian yang di depan ini luar biasa.
Dia akan tinggal di luar negeri selama empat tahun”, lanjutnya.
Kembali riuhlah kelas itu dengan tepuk tangan dan mulai menjalarlah rasa percaya ini anak Indonesia ini.
“Satu lagi”, lanjut guru itu dengan pertanyaan ketiiga, “Siapa di kelas ini yang bisa berbahasa asing selain Bahasa Inggris?”
Tidak ada jawaban.
“Tidak
ada?”, sahutnya sambil menyapu pandangan ke seluruh kelas, “Sahabat
kalian ini sangat lancar berbahasa asing – Bahasa Indonesia – “,
pungkasnya.
Membekaslah rasa percaya diri yang
mengalirkan kebermaknaan. Ya, guru itu telah membuat anak Indonesia ini
sadar akan kehebatan dan kebermaknaan dirinya. Guru itu mengajarkan
bahwa setiap orang dibekali dengan kelebihan untuk membuat setiap orang
merasa bermakna untuk diri dan lingkungannya. Guru itu juga menanamkan
tentang membership, pengakuan sebagai bagian dari sebuah keluarga. Pengakuan bahwa anak Indonesia ini adalah bagian dari keluarga di kelas.
***
Kasus lain, mungkin kita pernah merasa jengkel karena pesawat yang kita tumpangi mengalami delay lama
akibat pilotnya terlambat. Pertanyaanya, siapa yang paling berperan
dalam keterlambatan pilot ini? Apakah ini kesalahan pilot semata?
Usut
punya usut, ternyata sopir yang mengantar pilot ini ke bandara telat
bangun sehingga terlambatlah sang pilot. Berarti sopir pilot yang salah?
Sopir pilot bilang, keterlambatannya karena istrinya lupa membangunkan.
Jadi, pernahkah kita berfikir bahwa istri seorang sopir sangat berperan dalam ketepatan waktu take off pesawat?
***
Meaning, Membership, and Mastery.
Demikian
kredo yang diungkapkan oleh Rosabeth Moss Kanter (2011), seorang
professor Bidang Manajemen di Harvard Business School dalam bukunya
yang berjudul “Evolved”. Meaning adalah kemampuan untuk
menciptakan makna dari setiap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang.
Ya, bukan sekedar memaknai, akan tetapi menciptakan makna sepanjang
detak aktivitas itu masih berdenyut. Penciptaan makna ini lahir bersama
dengan lahirnya niat, berjalan beriringan dengan proses dan melarut
dalam cangkir muhasabah.
Pada akhirnya,
kebermaknaan adalah buncahan perasaan yang tidak bisa dibeli dengan
harga berapapun dan anehnya, perasaan ini tidak akan pernah didapatkan
apabila kita hanya melayani diri kita sendiri. Karena melayani adalah
fitrah manusia. Viktor Frankl mengatakan bahwa kecukupan seseorang itu
didapat ketika dia sudah mencecap sebuah makna.
Hal
ini pernah ditanamkan pada karyawan di Rumah Sakit Delnor - Amerika
Serikat. Setiap karyawan diajari satu pertanyaan yang menyirat makna
betapa berharganya seorang karyawan untuk pasien. Setiap selesai
melayani pasien, satu pertanyaan yang selalu diajukan, “Is there anything else that I can do for you?”
Tokoh kita dari Indonesia, Prabu Siliwangi adalah seorang panglima yang menanamkan kredo Asah, Asih dan Asuh. Inilah yang digunakan oleh Prabu Siliwangi dalam menanamkan rasa kepemilikan (membership) prajuritnya sehingga menjadi prajurit-prajurit yang loyal dan setia.
Yogyakarta, 18 April 2013
~Nuwun untuk Prof. Ancok atas inspirasinya, semoga bisa segera membuktikan cerita itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar