“Holiday is Over”,
begitu salah satu kicauan yang saya baca di timeline
Twitter ataupun status di wall
Facebook di Minggu malam. Hal senada juga saya temui di perbincangan melalui
BBM ataupun Yahoo Messenger. Setelah empat hari dipenuhi dengan
segudang aktivitas berlibur membuat hari Senin serasa begitu menyeramkan bagi
sebagian orang. Untuk yang bekerja di luar daerah, Minggu sore adalah saat
yang berat ketika harus meninggalkan tempat liburan ataupun kampung halaman
menuju stasiun, terminal atau bandara untuk menempuh perjalanan sekian jam
sampai ke tempat kerja. Membayangkan lamanya perjalanan saja sudah terasa
malas, apalagi teringat disposisi yang belum sempat terbaca dan masih menumpuk
di meja. Dan saya juga yakin bahwa sebagian dari kita sempat memasukkan
beberapa kertas kerja untuk jadi oleh-oleh pulang kampung. Niat awalnya sih ingin
membaca dan mengerjakan PR yang sempat tertunda pekan lalu. Tapi saya yakin,
tersentuh pun tidak, hehehe. Yang malam ini tersisa hanya harapan agar besok pagi bosnya datang agak siang sehingga masih
ada waktu untuk menyelesaikan PR sebelum dilaporkan, atau malah berdoa agar bos
tidak datang sehingga bisa mengerjakannya dengan tenang.
Sebagian karyawan mempunyai
pikiran-pikiran seperti saya tadi,
dari level staff sampai level manajer. Bahkan pelajar dan mahasiswa juga sudah terkena syndrome “Rainy Days and Mondays” ini. Terkecuali buat karyawan yang sudah terbiasa menikmati suasana hati di Minggu malam. Inilah orang-orang yang sudah memaknai bahwa tujuan bekerja adalah mengikuti panggilan jiwanya. Mereka mencintai pekerjaan dan berbahagia dengan pekerjaannya. Mereka datang ke kantor dengan penuh semangat dan gairah yang besar. Mereka sadar bahwa tujuan mereka bekerja bukanlah karena uang. Mendapatkan uang dalam jumlah yang besar sekalipun tak akan menggoyahkan mereka. Siapa mereka? Saya juga belum menemukan contoh orangnya, hehehe.
dari level staff sampai level manajer. Bahkan pelajar dan mahasiswa juga sudah terkena syndrome “Rainy Days and Mondays” ini. Terkecuali buat karyawan yang sudah terbiasa menikmati suasana hati di Minggu malam. Inilah orang-orang yang sudah memaknai bahwa tujuan bekerja adalah mengikuti panggilan jiwanya. Mereka mencintai pekerjaan dan berbahagia dengan pekerjaannya. Mereka datang ke kantor dengan penuh semangat dan gairah yang besar. Mereka sadar bahwa tujuan mereka bekerja bukanlah karena uang. Mendapatkan uang dalam jumlah yang besar sekalipun tak akan menggoyahkan mereka. Siapa mereka? Saya juga belum menemukan contoh orangnya, hehehe.
Sedikit mengingat ketika pertama kali diterima di
tempat kita bekerja sekarang ini. Pasti kebanggaan dan kebahagiaan di situ. Bangga
kalau ternyata kita nggak bodoh-bodoh amat, bisa diterima di perusahaan ini dan bahagia karena
bisa berikrar, “Mulai detik ini, aku berhenti disuapin Bapak dan Ibu”. Kebanggaan
dan kebahagiaan itu tersirat jelas dengan semangat kerja yang menggebu
saat-saat awal bekerja, bahkan tak jarang tangan gatal untuk membuat status di facebook,
membuncahkan rasa itu. Akan tetapi berselang tahun, gatal di tangan sudah
sembuh, alhasil tak nampak status-status senada. Ketika gatal kambuh, eh, nada
statusnya sudah berubah jadi minor, menyiratkan tekanan kerja yang perlahan
meningkat.
Nah, yang pernah
saya pelajari, sebuah barang itu mengalami siklus yang disebut dengan “Product
Life Cycle”. Siklus ini dimulai dari perkenalan produk di pasaran (introduction),
kemudian perlahan produk mulai dikenal dan tumbuh (growth), sampai suatu saat
produk itu menjadi market leader dan mencapai titik kematangannya (maturity). Kalau
diteruskan tanpa ada perubahan dan inovasi, produk itu akan mengalami
kemunduran. Grafik akan menurun terus sampai tenggelam di pasaran. Titik
puncak sebelum produk mengalami penurunan inilah yang disebut titik decline. Melihat
ciri-ciri yang sama antara semangat kerja dan siklus produk, saya kok jadi
menganggap, jangan-jangan semangat juga memiliki siklus yang sama. Ada saatnya semangat
itu naik sampai ke titik didih (koyok banyu ae) dan ada saatnya semangat itu
menurun dan dingin. Kalau inferensi antara siklus produk dengan siklus semangat
ini benar berarti yang jadi masalah hanya satu, sebelum semangat itu menurun
harus sudah mulai melakukan diversifikasi semangat. Entah itu memperbaharui
tujuan hidup, memperbaharui cara kerja atau malah minum Extra Joss, hehehe. Yang
jelas setiap kita tahu detik-detik puncak sebuah semangat dan detik-detik
sebelum mengalami penurunan (kaya Proklamasi, hehe). Sebelum sampai ke
detik itu, langkah-langkah diversifikasi sudah mulai dirumuskan.
Selain dengan
diversifikasi semangat menjelang keruntuhan, berpegang pada grafik Product Life
Cycle, cara lain untuk tetap bertahan pada semangat awal adalah dengan
memperlambat laju siklus semangat sebelum mencapai titik decline. Perlambatan siklus
ini diinferensikan dengan teori downshifting.
Kalau kita buka kamus, definisi downshifting adalah A person who reduces his or her level of consumption. Jadi downshifter
adalah orang-orang yang mengurangi jumlah atau tingkat konsumsinya. Perubahan ini
meliputi beberapa dimensi yaitu jumlah (kuantitas atau frekuensi), kualitas
(kandungan fisik, fungsi, kelengkapan fitur) atau harga (lebih murah).
Ceritanya,
orang-orang pada umumnya pasti akan menikmati konsumsi yang besar pada saat
perekonomian sedang membaik. Mereka membeli mobil dan perabot-perabot rumah
tangga baru serta mengambil kredit untuk segala hal. Kredit sebenarnya tidak
lain dari sebuah bentuk konsumsi hari ini yang dibiayai dari penghasilan hari
esok. Mereka dengan berani mengambil macam-macam bentuk kredit konsumsi, mulai
dari leasing, KPR, kredit mobil, arisan, sampai kredit-kredit kecil yang
dicicil dari kartu kredit.
Mengapa mereka
begitu berani mengambil kredit? Karena mereka yakin terhadap hari esok. Pada saat
itu, hidup dan perekonomian seakan-akan tidak ada masalah sama sekali. Gaji dan
bonus selalu naik, proyek-proyek mudah didapat.
Begitu perekonomian mencapai puncaknya,hampir semua orang tampak sibuk
mengejar peluang ekonomi yang memberi penghasilan besar. Pekerjaan tidak
habis-habisnya dan waktu terasa kurang. Tanpa disadari, tekanan materialisme
ini membutuhkan pengorbanan seperti sosial, penundaan perkawinan dan memiliki
keturunan, pertengkaran dan bahkan perceraian. Kalau dihitung-hitung ternyata
pengorbanan ini jauh lebih menyakitkan daripada bahagia yang didapatkan dari kesibukan
tadi.
Nah, untuk menekan
pola tidak sehat di atas, dikembangkanlah konsep downshifting untuk menghadapi
masa krisis yang suatu saat akan terjadi. Pola konsumsi kredit dikurangi untuk
cadangan ketika suatu saat masa krisis itu terjadi. Hal ini bertujuan agar ketika
krisis, penurunan pola hidup itu tidak terlalu terasa dibandingkan saat
perekonomian pada puncaknya dan hidup masih terus berjalan.
Kalau diinferensikan
dengan perlambatan siklus semangat, ada
baiknya pada saat semangat itu sedang bertumbuh untuk dapat disimpan sebagai
cadangan semangat pada masa-masa krisis dalam pekerjaan (misalnya saat pekerjaan
sedang mencapai puncaknya, bos sedang pada masa-masa tempramennya, atau kondisi
hati sedang galau-galaunya, hehe). Intinya semangat itu dikeluarkan biasa-biasa
saja tapi stabil. Tapi apakah penerapannya mudah? Wallahua’lam deh, ini cuman inferensi. Kalaupun sudah terlanjur terpuruk (tidak sempat diversifikasi ataupun downshifting)
tinggal memulai episode baru lagi, hehe.
Banyak orang
berkata bahwa kegagalan itu adalah akhir. Menurut saya memang benar, kegagalan
adalah akhir dari satu episode. Kalau nggak mau mulai mengarang cerita lagi di
episode berikutnya, berarti memang benar-benar sudah akhir.
Jogja, 18 November
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar