Hampir
setahun saya menempati tempat tinggal baru di Bantul yang artinya hampir
setahun juga saya harus melewati sepanjang Jalan Parangtritis, Jalan Brigjen
Katamso, dan Jalan Mataram menuju tempat kerja di Jalan Mangkubumi. Dalam kurun
waktu itu, ada satu hal menarik yang saya sebut sebagai ‘POLA’. Dari pengamatan
saya menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempertahankan POLA yang sama dalam
beraktivitas, dan mungkin saya salah satunya. Seseorang akan melakukan
aktivitas yang serupa dari waktu ke waktu dikarenakan tuntutan pekerjaan
ataupun karena sengaja membiasakan sesuatu. Seringkali, tanpa sadar kita
melakukan seluruh aktivitas itu tanpa sadar yang berarti ‘memory otot’ bekerja
mendahului memory otak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap
paginya – setidaknya di hari kerja – di Perempatan Lampu Merah Jogokariyan (Swalayan
Superindo), saya selalu menjumpai gadis penjual koran berjilbab dengan slayer
yang menutupi sebagian wajahnya. Rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana
wajahnya harus saya simpan sampai detik ini karena selama setahun ini belum
pernah sekalipun saya temui gadis itu membuka penutup wajahnya. Nah, hal yang
menarik adalah kontrasnya pemandangan sore hari yang kerap saya temui ketika
perjalanan pulang. Di awal perjalanan pulang, biasanya saya beriringan dengan
beberapa tukang becak yang saya perkirakan usianya di atas Bapak saya sedang menggenjot becaknya ke arah selatan meninggalkan
Jalan Mataram menuju Jalan Brigjen Katamso. Sampai di perempatan Ringroad Jalan
Parangtritis saya jumpai sekelompok remaja memainkan peralatan musik seadanya, meminta
simpatik kepada pengguna jalan agar memberikan sebagian recehan yang
dimilikinya. Ah, sulit bagi saya memahami ketimpangan besar ini. Di satu sisi,
saya menilai wajar ketika ada orang yang usianya di atas Bapak saya sedikit beristirahat
(baca : tidak bekerja keras) dan menikmati hasil jerih payah yang selama ini diusahakan.
Saya memang tidak tahu persis kondisi riil
bapak-bapak tukang becak itu, apakah kerja keras mereka yang masih ditunjukkan sampai
saat ini didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat atau wujud pengabdian
kepada Allah. Sebagian bapak-bapak itu mungkin sudah berada dalam kondisi yang
layak, anak-anak sudah mentas sehingga
kerja keras itu masih mereka tunjukkan sebagai wujud syukur dan pengabdian terhadap
semua kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka. Di sisi lain, nalar
saya masih belum menerima dengan profesi pengamen yang dijalankan oleh remaja
yang acap saya temui setiap sore di perempatan Ringroad Jalan Parangtritis. Saya
menganggap bahwa profesi yang mereka jalankan itu masih jauh dari wujud
mengemban tanggung jawab sebagai pribadi yang dikaruniai akal dan badan yang
sehat. Saya semakin tidak simpatik setelah melihat kebiasaan mereka menghias
mulutnya dengan gulungan kertas berisi tembakau. Sekarang mari kita nilai
bersama, apakah alasan kita memberikan uang receh itu lebih karena iba, takut,
atau memang menikmati lagu yang dibawakan? Seandainya alasan kita memberikan
recehan itu karena rasa iba ataupun takut maka dapat kita simpulkan bahwa
profesi ‘menjual kemiskinan’ ini cukup menjanjikan. Mungkin menjalani profesi
sebagai pengamen jalanan ini lebih menjanjikan dibandingkan menjadi tukang
becak ataupun tukang koran. Menjadi tantangan tersendiri merubah POLA pikir yang
sudah dibentuk sekian lama. Seperti pembahasan di awal tadi, POLA yang sudah tertanam
di otak adalah “mengamen, mengamen, dan mengamen”. Dengan tertanamnya POLA itu
seseorang akan sulit berpindah menjalani profesi lain. Mereka akan
mempertimbangkan terlebih dahulu gaji yang akan diterima dengan pendapatan yang
diperolehnya ketika mengamen.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat
ini, sepertinya uang menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan
identitas. Banyak dari kita yang menjalankan pekerjaan hanya sekedar untuk
mendapatkan uang dan sengaja menutup manfaat lain dari pekerjaan itu sendiri. Kita
baru akan menghayati manfaat itu ketika pekerjaan itu sudah lepas dari kita. Banyak
orang merasakan bahwa rasa sakit di-PHK itu bukan karena bayang-bayang
kehilangan sumber uang untuk penghidupan. Mereka lebih sakit merasakan rusaknya
harga diri dikarenakan status PENGANGGURAN. Dengan bekerja kita memiliki
identitas. Dengan bekerja kita dapat menjelaskan kepada diri kita sendiri siapa
kita sebenarnya dan seberapa pentingnya kita bagi orang lain.
Di
sini tentu kita tidak berbicara tentang kompleksnya menyelesaikan permasalahan pengemis
dan pengamen. Bukan kapasitas saya untuk membahas itu. Saya hanya ingin mengembalikan
diri kita masing-masing sebagai manusia yang seutuhnya. Manusia yang mampu mengemban
tanggung jawab sebagai pribadi, menjaga identitas dan harga diri dan bahkan
melampauinya. Untuk mengembalikan itu semua diperlukan upaya memotong POLA
salah yang sudah lama tertanam dan mengakar di otak. Dan alat untuk memotong POLA
itu adalah SYUKUR.
Bantul,
2 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar