Sebuah
hipotesis akan divonis saat kenyataan berbicara. Dalam ilmu statistik, yang
disebut dengan hipotesis adalah pernyataan tentatif
(sementara) yang merupakan dugaan mengenai apa saja yang sedang diamati. Beberapa
tahun yang lalu saya memiliki sejumlah hipotesis tentang apa yang pernah saya
amati atau dialami oleh orang-orang di sekitar saya. Sejumlah hipotesis bernada
optimis akan tetapi tidak sedikit pula yang bernada minor (baca : kekhawatiran). Dan akhir-akhir ini, saya mencoba
membuktikan hipotesis itu hanya dengan modal sense yang saya miliki. Hasilnya? Tidak semua hipotesis optimisme
menjadi hal yang membahagiakan, dan tidak semua hal yang dikhawatirkan berakhir dengan
kesedihan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa-masa
SMP, saya beranggapan bahwa masa depan akan lebih cerah ketika nanti
melanjutkan sekolah ke SMK dan bukan SMA karena setelah lulus SMK dipastikan
dapat pekerjaan, bahkan siswa yang pintar akan dicari oleh perusahaan. Nyatanya?
Tidak semua lulusan SMK langsung diterima kerja di tempat yang diinginkan. Ada yang
masih harus melanjutkan kuliah, ada yang berwirausaha, dan ada pula yang luntang-luntung dalam waktu yang lama. Kesimpulannya,
apakah masuk SMA lebih menjanjikan? Tidak juga.
Awal-awal
masuk SMA, saya beranggapan bahwa setiap siswa yang menjadi juara umum untuk
setiap angkatan di sekolah ini akan masuk ke jurusan Pendidikan Dokter. Buktinya?
Tidak semua siswa yang menjadi juara umum di setiap angkatan masuk ke jurusan
Pendidikan Dokter. Tetap ada sang juara yang memilih untuk jadi dokternya mesin.
Masa-masa
itu saya juga beranggapan bahwa untuk menjadi ‘orang’ (baca : Pegawai Negeri) selain modal pintar, seseorang harus
punya ‘modal lain’ berupa uang. Tapi ternyata saya dan kakak saya tidak
mengalaminya.
Meskipun
tinggi badan saya kurang memadai untuk menjadi seorang tentara, saya sangat
tertarik dengan dunia militer dan saya menganggap menjadi seorang tentara itu
sebuah profesi yang ‘WOW’. Akhirnya saya beranggapan bahwa laki-laki yang punya
tubuh tinggi dan badan sehat kok rasanya sayang sekali bila tak mencoba
mendaftar sebagai tentara. Tapi kenyataan berbicara bahwa tidak semua orang
dengan tubuh tinggi dan badan sehat berminat jadi tentara. Ada yang jadi
dokter, tukang sirkus, pelukis, atau bahkan tukang kayu.
Masa-masa
mahasiswa saya sempat beranggapan, bahwa mahasiswa paling pandai pasti nasibnya
jadi dosen. Dia akan kuliah S2 di luar negeri dan pulangnya akan langsung
diangkat menjadi dosen di universitas yang sama. Apakah generally seperti itu? Tidak semua. Banyak lulusan cumlaude yang memilih untuk bekerja di
perusahaan ataupun berwirausaha.
“IPK
di atas 3,50 itu nanti nasibnya jadi dosen, IPK 2,75 – 3,50 itu akan bekerja di
perusahaan atau menjadi pegawai negeri, dan IPK di bawah 2,75 itulah yang akan
berhasil jadi pengusaha”. Ada yang pernah dengar kalimat tersebut? Kalimat itu pun
dulu sempat membayangi saya. Apakah semua terbukti? Tidak semua. Banyak wirausaha
dengan IPK di atas 3,50. Ada juga dosen dengan IPK kurang dari 3,50.
Saya
sempat beranggapan bahwa cowok cakep pasti ceweknya cantik. Apa yang dikatakan
kenyataan? Tidak semua. Ada yang masih ingat dengan Reynaldi (artis cilik sejaman
dengan Giovanni, Maissy, dkk.)? Menurut saya dia cakep (catat : common sense, saya masih normal sebagai
lelaki), tapi apakah ceweknya cantik? Tidak, justru dia yang sekarang jadi cantik.
Makanya sekarang timbul istilah kalau cewek cantik rata-rata pacarnya cowok
gendut karena cowok atletis pacarnya ganteng.
Saat
aktif di organisasi ROHIS, saya menganggap bahwa semua aktivis ROHIS nikahnya
pasti cepet (di bawah usia 26 tahun) dan dapat pasangan sesama aktivis. Ternyata
tidak semuanya, banyak juga yang masih bujangan sampai bilangan umur di atas 27.
Saya salah satunya.
Dulu
saya sempat menganggap bahwa harusnya seseorang itu menikah dulu baru
menikahkan. Ibaratnya, yang menjodohkan hendaknya sudah memiliki jodoh terlebih
dahulu. Tabu jika hanya ‘omong thok’.
Tapi kenyataannya Allah menakdirkan saya untuk menjadi wali bagi kakak
perempuan saya yang akan menikah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jadi,
mengulang paragraf pertama, ternyata tidak semua optimisme akan berbuah
kebahagiaan dan tidak semua kekhawatiran berakhir menyedihkan. Hidup itu penuh
dengan warna, tidak hanya merah, biru, dan kuning. Ada banyak warna lain yang
tercipta dari perpaduan warna-warna itu. Ada banyak grafik selain grafik
linear. Sesuatu kadang terjadi tak terduga layaknya grafik eksponensial. Sesuatu
pun kadang berulang seperti grafik parabola. Berbicara tentang minat, kita
tidak dapat memaksakan seseorang untuk menyukai tenangnya sawah yang menghijau.
Di luar sana, ada banyak orang yang justru menyukai lautan dengan deburan
ombaknya yang berlapis.
Kenyataan
kadang paradoks. Dulu Cina kita kenal sebagai negara yang menganut paham
komunisme, tapi ternyata perekonomiannya menganut sistem pasar (kapitalisme). Kejayaan
puncak tidak jarang menjadi pertanda akan berakhirnya sebuah kekuasaan. Kerajaan
Mataram Kuno berakhir di Airlangga (1016 - 1049) yang merupakan raja termasyhur
karena berhasil meluaskan kekuasaannya di Nusantara.
Hikmahnya,
tidak semua kesenangan yang didapatkan sekarang akan menjadi hal yang
dibanggakan terus menerus dan tidak semua kesedihan yang didapatkan sekarang akan
diratapi terus menerus. Yang terpenting hanya perlu berjalan pada koridor
Tuhan.
~
Cara terbaik mengatasi kekhawatiran
adalah menutup mulut yang yang menularkan kecemasan ~
Bahasane abot...*setidaknya ketika bacanya pas sirahe mumet"
BalasHapusJarene kancaku "saya dan kamu beda, maka bahagia kita beda"