Menurut definisi, menggunjing adalah membicarakan
kekurangan orang lain. Nah, tidak jarang gunjingan ini disertai dengan
prasangka dan tuduhan. Istilah singkatnya adalah gosip. Saya jadi berfikir, jangan-jangan
saya termasuk salah satu penikmat gunjingan yang tersaji setiap detiknya
melalui smartphone ataupun televisi. Ketika saya menikmati informasi tentang
orang yang saya benci, kebetulan informasinya tentang kejelekan dia, ternyata nikmatnya
terasa luar biasa. Dulu, saat pertukaran informasi belum secepat saat ini, spot
untuk menikmati gosip sangat terbatas, palingan kalau ibu-ibu tetangga lagi
datang ke rumah atau pas arisan. Dan secara tidak sadar saya telah
mengakumulasi serta memilah gosip-gosip yang masuk ke otak ke dalam tema-tema dimana
masing-masing tema memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri. Semakin banyak
gosipnya, kekuatannya semakin besar. Akumulasi informasi itulah yang dapat
menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Kalau sudah meledak, bisa
memakan korban.
Saat ini, smartphone dan televisi
telah menggantikan peran ibu-ibu yang saya ceritakan di atas (tidak semua
ibu-ibu seperti ini lho – pen). Setiap
detik, kantong-kantong informasi di otak saya terisi. Temanya pun macam-macam. Tentang
caleg, tentang partai, tentang perempuan, tentang bos di kantor, bahkan tentang
capres pun ada. Komplit. Dan spot gosip di smartphone jumlahnya sangat banyak,
mulai dari media yang mengatasnamakan media nasionalis, pluralis, akademis, dan
bahkan agama ternyata tidak bisa lepas dari membicarakan orang. Isi wall
facebook pun sama. Sialnya, saya menikmatinya.
Apa yang lagi hot saat ini? Menurut
saya yang tentang CAPRES. Kira-kira dialognya seperti ini:
“Lu tau gak? Ternyata ada salah satu
capres yang diduga beraliran syiah, dapet dukungan dari orang-orang Yahudi pula.
Dia tuh, belum lama jadi gubernur aja udah meninggalkan amanahnya dan mau jadi
presiden. Gimana jadi presiden nanti?”
“Eeeh, jangan salah brur, capres ente kan juga belum selesaikan amanah jadi Gubernur, tapi
mau nyapres juga. Trus apa bedanya sama capres ente?
Nah, dialog di atas adalah efek
samping sebagai konsekuensi logis menjadi penikmat gunjingan. Secara tidak
sadar pula saya mulai mencintai dan membenci yang diceritakan media. Tapi yang
membingungkan, grafik benci dan suka itu tidak selalu linear. Suatu saat saya
menyukai tokoh A yang digosipin, tapi di saat yang lain saya jadi benci tokoh A
karena menurut gosip, tokoh A tadi melakukan hal yang saya benci juga. Tapi
apakah informasi-informasi yang saya terima tentang tokoh A semua valid? Belum tentu,
boleh jadi pemberitaan tokoh A itu lebih banyak bumbu sedapnya dan terlanjur
menikmati cerita tentang tokoh A.
Terus, apakah saya harus mengecek
kebenaran informasi tentang tokoh A yang akhirnya saya benci? Males ah, nanti
gak nikmat lagi. Jadi mulai detik kebencian itu muncul saya beralih hobi. Dulu,
saya hobi nyari kebaikan-kebaikan si A dan diekspos, sekarang saya mencari
informasi tentang kejelekan-kejelekan tokoh A. Toh toolsnya banyak, bisa pake search engine google atau ngeliat wall Facebook temen-temen yang sama-sama
benci dengan tokoh A. Semakin banyak info jelek, saya semakin suka.
“Trus buat apa semua itu? Emangnya
kamu dapat apa dari mencari info kejelekannya?”, begitu kata hati kanan saya.
“Dosa lho”, kata hati kanan saya
lagi.
Ini buat masa depan bangsa. Saya tidak
ingin bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang buruknya macam si tokoh A. Ini semua
demi kebaikan. Jika saya lempar bom informasi ini melalui twitter atau wall
facebook, masyarakat akan tercerahkan. Nah, dari sinilah perbaikan itu dimulai.
Ingat, ini semua demi bangsa yang diberkahi Allah.
Padahal hati kiri saya berkata, “Semakin
banyak yang ikut benci tokoh A semakin bagus. Berarti banyak temennya. Yang sakit
hati biarin dah, lama-lama dia juga bakal ikutan benci”.
Ah, tapi mungkin ini hanya saya yang merasakan
hal ini sebagai penikmat gunjingan. Saya yakin temen-teman yang lain tidak
seperti saya.