Sebagian besar manusia
ditakdirkan memiliki sifat mudah bosan. Ketika satu kegiatan dilakukan
berulang-ulang dalam waktu yang lama, pada titik tertentu kita akan merasakan
kejenuhan dan cenderung malas untuk melakukan kembali kegiatan itu. Pada titik
itulah kita menginginkan kegiatan lain yang baru dan berbeda. Di sisi lain, perubahan
lingkungan yang sangat cepat seakan-akan mengiringi kita yang sedang melangkah untuk segera melompat ke
depan, bergeser di lintasan lain atau bahkan mungkin memutar balik dari jalur
yang seharusnya kita lalui pada saat itu. Pada saat itulah kita akan menentukan
pilihan. Pilihan pertama adalah segera berubah mengikuti perubahan lingkungan,
mencapai tujuan dengan lebih cepat atau bahkan mencapai tujuan lain yang lebih
hebat di jalur yang berbeda. Mungkin kita beranggapan bahwa jika saat itu kita
tidak mau berubah, maka justru perubahan itulah yang akan segera menggilas kita.
Pilihan kedua adalah tetap konsisten dengan jalur semula untuk mencapai tujuan
awal yang ditentukan tanpa harus terpengaruh sama sekali dengan perubahan
lingkungan. Dan pilihan yang ketiga adalah tetap konsisten di jalur semula,
meneguhkan fondasi langkah untuk pencapaian tujuan dan melakukan perubahan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan tanpa harus mengalami gejolak yang
tajam.
Saya kemudian
teringat dengan kisah seorang Sunan pembawa ajaran Islam di Jawa. Kisah ini
memang saya dapatkan dari mulut ke mulut
tanpa pernah saya cek kebenarannya, akan tetapi menurut saya sangat menarik dan
relevan dengan hal ini. Saat itu, beliau
yang usianya masih tergolong muda dan sedang dalam puncak semangat untuk
belajar agama datang ke gurunya. Beliau meminta diajari ilmu agama agar segera
dapat mengajarkannya kepada masyarakat.
Pelajaran
pertama yang beliau dapatkan dari gurunya adalah menimba dengan ember yang
bocor. Saat itu beliau pun terheran, “Saya ingin belajar agama, bukan menimba
air. Lagipula mana bisa saya menimba dengan ember yang bocor ini”?
Berhari-hari
beliau mencoba melakukannya dan tidak berhasil. Mungkin kalau saya menjadi
beliau, saat itu sudah frustasi dan
segera mencari guru lain yang lebih hebat. Dan setelah sekian lama akhirnya
beliau diberitahu oleh gurunya, bahwa maksud menimba air dengan ember bocor itu
adalah pelajaran kesabaran. Inilah fondasi utama seorang Da’i yang menyebarkan
agama kepada masyarakat yang beragam dan cepat mengalami perubahan. Yang
dilakukan oleh guru Sunan itu adalah penanaman fondasi yang kuat terlebih
dahulu. Setelah itu barulah guru itu mengajarkan hal lain, termasuk bagaimana
mengubah masyarakat dengan kekentalan budaya yang tinggi agar tertarik kepada
Islam. Dan hasil dari “pelajaran kesabaran” itu adalah diterimanya ajaran Islam
secara luas oleh masyarakat Jawa.
Sekali lagi
konteks ini tentu tidak dikaitkan dengan benar dan salahnya metode penyebaran
Islam yang dilakukan oleh Sunan itu, akan tetapi saya menggarisbawahi tentang
penanaman fondasi yang kuat sebelum memutuskan untuk langkah selanjutnya.
Jumlah perubahan
yang berseliweran di sekeliling kita sangatlah banyak dan cepat. Jika kita
bereaksi terhadap setiap perubahan eksternal, bisa jadi kita akan kelelahan
karena kita terlupa memperdalam fondasi. Sebagian perubahan dunia memang perlu
direspon dengan perubahan diri kita, akan tetapi sebagian yang lain hanyalah
kebisingan saja yang tidak memerlukan perubahan diri kita.
Kita bisa
menganggap bahwa keberadaan kita di lingkungan ini merupakan sebuah
pertandingan. Sebuah pertandingan tidak akan sama dengan latihan karena akan
banyak hal tidak terduga terjadi. Pada pertandingan itulah kita dituntut untuk
berimprovisasi dari latihan yang rutin dilakukan sehingga mencapai
kegemilangan. Akan tetapi perlu diingat bahwa improvisasi tanpa dasar latihan
yang kuat justru akan memporak-porandakan aksi kita.
nice blog mas, pas banget ketika malam - malam aku lagi berfikir tentang improvisasi diri hahaha. Bismillah semoga menjadi yang lebih baik, improvisasi diri dengan pondasi yang kuat, insya Allah result nya juga bagus Aamiin.
BalasHapus