Hal yang paling tidak saya sukai
ketika berada di China beberapa waktu lalu adalah saat makan malam. Selain
menghabiskan waktu yang lama, kebiasaan penduduk China adalah menyertai jamuan
makanannya dengan arak. Menurut mereka, ini adalah cara yang dilakukan untuk
menghormati tamunya. Untuk tamu biasa, mereka sertakan arak merah sedangkan untuk
tamu spesial atau dihormati, mereka akan menyuguhkan arak putih. Untung saja
rombongan kami dari Indonesia mengatakan sejak awal bahwa kami adalah muslim
sehingga tidak meminum arak ataupun makan babi.
Mereka akan menghidangkan makanan
dengan mengeluarkan satu persatu (tidak dalam satu waktu) makanan di meja
putar, mulai dari makanan yang tergolong ‘ringan’ sampai menu makan ‘berat’ dan
ditutup dengan nasi atau mie.
Mereka merayakan setiap moment yang
patut disyukuri dengan tradisi menjetikkan antar ujung gelas atau biasanya kita kenal dengan ‘toast’. Saya hitung
tidak kurang dari sepuluh kali kami diajak ‘toast’ dalam satu jamuan makan
malam. Yang membuat saya terbengong adalah mereka mengucapkan ‘Selamat Idul
Adha’ kepada rombongan kami dengan cara itu juga (kebetulan saat itu bersamaan
dengan Hari Raya Idul Adha). Bisa dibayangkan anehnya. Setiap saat pelayan akan
memperhatikan gelas-gelas kami dan selalu siap menuangkan arak (atau teh hijau
bagi rombongan kami dari Indonesia) di gelas yang kosong. Perjamuan akan
diakhiri ketika kami sudah berhenti makan dan makanan di atas meja masih
tersisa. Apabila habis, makanan yang baru akan dihidangkan lagi sampai makanan
di atas meja tidak habis. Filosofi tentang hal ini berkebalikan dengan budaya kita. Dalam budaya
China, mereka akan merasa malu apabila makanan yang dihidangkan habis, karena
mengindikasikan makanan yang disuguhkan kurang banyak sehingga tamunya belum
puas.
Memang, ketidaknyamanan yang saya
rasakan ini muncul karena perbedaan budaya dan keyakinan sehingga rasa ini
tidak bisa di-gebyah uyah menjadi
sebuah keumuman perasaan ketika orang lain menghadapi hal yang serupa. Bisa jadi
orang lain justru akan merasakan kenyamanan dengan pelayanan yang telah mereka
lakukan.
Terlepas dari cerita tentang ketidaknyamanan
dan konteks gratifikasi, saya mengapresiasi cara mereka untuk menghormati tamu.
Saling bertoast dan meminum arak seraya mengucapkan ‘Selamat Idul Adha’ adalah
cara mereka berempati kepada rombongan kami. Dalam hidangan yang mereka
suguhkan pun tidak saya temukan pork
(babi), padahal mereka sudah terbiasa menghidangkan dan memakannya. Dan kalau
mereka mau, bisa saja mereka hanya sekedar memberikan kami makanan dan minuman
tanpa memperhatikan keyakinan kami sebagai seorang muslim. Toh tugas mereka
hanya mendampingi kami sampai selesai, bukan untuk melayani kami.
Inilah yang sering disebut sebagai beyond physical menurut Arvan
Pradiansyah (2012). Tugas mereka bukan sekedar memberikan kami makanan,
melainkan melayani kami sebagai pelanggan.
Menurut Arvan Pradiansyah (2012),
apabila kita mengatakan bahwa tugas kita adalah melayani, sesungguhnya kita
sudah sampai pada sebuah tataran spiritualitas, sebuah kesadaran bahwa yang
kita lakukan dalam pekerjaan kita sesungguhnya adalah sesuatu yang beyond physical. Jadi jika kita masih
melihat pekerjaan semata-mata dari aspek fisiknya, kita telah kehilangan
sebagian besar esensi pekerjaan kita. Orang-orang yang masih melihat pekerjaan
secara fisik sesungguhnya telah menurunkan derajat kemanusiaan menjadi
robot-robot yang berjalan dan bernapas.
Dalam konsep pemasaran, Kelvin
Lancester (1966) mengatakan bahwa konsumen tidak sekedar memperhatikan produk
yang mereka hasilkan, akan tetapi lebih kepada ‘atribut’ barang yang
bersangkutan. Yang dimaksud atribut suatu barang adalah semua jasa yang
dihasilkan oleh penggunaan dan atau pemilikan barang tersebut.
Entahlah, saya juga masih menduga
bahwa apa yang mereka lakukan itu pantas disebut sebagai ‘atribut’ menurut
konsep Kelvin Lancester ataukah tidak. Yang jelas, apa yang telah mereka
lakukan itu menginspirasi kita bahwa setiap pekerjaan membutuhkan sisi
kemanusiaan dan pelayanan yang lebih dibandingkan sisi fisik pekerjaan itu
sendiri.
~Bantul,
24 November 2013~